Caraku Menjaga Kewarasan (Part 1): Menangis

Setelah menunggu selama 3 tahun 10 bulan usia pernikahan, aku melahirkan seorang putri. Fase kehidupan yang aku kira akan membahagiakan ternyata membawa sisi lain yang mengejutkan. Banyak kondisi tidak sesuai ekspektasi. Dua hari sesudah melahirkan, harus tinggal di rumah mertua. Sebelum punya anak, aku dan suami tinggal di rumah orang tuaku. Kami memang belum punya rumah sendiri. Mau tidak mau, aku dan anakku diboyong ke kampung halaman suami. Kondisi rumah orang tuaku kurang mendukung untuk tempat tinggal bayi baru lahir. Walaupun dalam hati, aku ingin tinggal bersama orang tuaku. Anakku adalah cucu pertama mereka. Sedangkan mertua sudah punya 2 cucu. Aku merasa ini tidak adil. Kami dijemput mertua dengan mobil taksi online. Di sepanjang perjalanan aku terus menangis. Sampai di rumah mertua, aku masih saja meneteskan air mata ketika saudara-saudara suami dan para tetangga berkerumun, bersuka cita, serta bergantian menggendong bayiku. Mayoritas kerabat dan sanak saudara suamiku tinggal berdekatan dalam satu desa tersebut. Seorang dukun bayi memandikan anakku sampai 40 hari sesuai adat di situ. Pada usia 7 hari anakku sudah puput pusar. Rambutnya digundul oleh si dukun bayi--lagi-lagi sesuai adatnya. Anakku sehat dan aktif tanpa kekurangan sesuatu apa pun. Namun, setiap hari aku menitikkan air mata. Terutama malam hari sebelum tidur. Selain luka jahitan dari persalinan normal terasa nyeri, juga ASI yang baru keluar sesudah 3 hari melahirkan. Itu pun sangat sedikit. Hanya air mata yang deras mengalir. Sering suami menenangkan aku. Dia perhatian dan memenuhi kebutuhanku.  Kadang aku menyembunyikan tangisan dari suami karena khawatir dia ikut sedih melihatku. Sepertinya aku terkena baby blues. Tidak jarang aku pun menangis saat memandang wajah bayiku. Anakku terpaksa dibantu susu formula. Aku bersyukur dia tidak pernah sakit. Begitu pula aku yang tidak perlu mengerjakan pekerjaan rumah apa pun saat luka persalinan belum sembuh. Semua dikerjakan oleh ibu mertua. Tetapi entah apa yang aku tangisi. Aku masih saja menangis saat orang-orang berkomentar soal ASI, putingku datar, juga anakku yang seakan-akan "dikuasai" oleh keluarga suamiku. Padahal aku tahu mereka berniat membantu. Keluarga juga tidak masalah anak minum susu formula, tetapi komentar kerabat tetap selalu ada. Mereka seolah menang dan aku kalah hanya karena jumlah yang lebih banyak. Sedangkan sanak saudaraku tinggal berjauhan. Orang tuaku cuma berdua di rumah. Lingkungan perkotaan di tepi jalan raya hampir tidak ada tetangga. Mereka kerepotan jika harus membantuku mengurus bayi. Aku sering menangis sampai hari ini ketika usia anakku sudah 3 bulan. Masih saja aku merasa sendirian di tempat ini, apalagi saat suami pergi bekerja. Tetapi aku ingin membuktikan bahwa aku kuat. Aku berada di sini demi anakku. Tidak apa-apa jika harus menangis. Ini bukan tanda kelemahan tetapi justru menguatkan. Seorang ibu harus kuat, bukan? Sesudah menangis, aku akan tersenyum lagi. Aku masih waras dan tidak menyalahkan siapa pun. Tuhan sedang menguji kekuatan jiwaku. Yang bisa kulakukan adalah tetap membersamai anakku sampai kapan pun. Aku akan tersenyum bahagia untuknya. Gambar: Pexels #KesehatanMentalTAP #RiskiDiannita

Caraku Menjaga Kewarasan (Part 1): Menangis
23 Tanggapan
 profile icon
Tulis tanggapan

Sumpah 100% sama hanya aja aq sampai 40hr, selama 40hr juga aq nangis terus... Kebetulan aq ada rumah, hanya saja ortu ku ga bisa memungkin kan buat merawat aq dan anak ku karna dya hrus dagang..... Setelah 40hr aq balik ke rmh, dan semua kembali semula... Sumpah anak pertama kaya di kuasain tuh rasanyaaa...

Baca lagi
4y ago

Iya bunda. Banyakin sabar aja ya bun. Suamiku selalu mengingatkan aku buat berpikir positif. Malah suami yang selalu minta maaf kalau aku jengkel sama mertua dan saudaranya. 😞 Walaupun nyebelin atau ada kebiasaan yang gak cocok tapi mertua dan keluarga suami sebenarnya berniat baik buat bantuin aku ngerawat baby. Jadi aku sebisa mungkin bantu-bantu di rumah mertua. Yang penting anakku sehat, harus bersyukur. 😊🙏