Tyas Ika Utami profile icon
SilverSilver

Tyas Ika Utami, Indonesia

Kontributor

About Tyas Ika Utami

sedang menyusui

My Orders
Posts(5)
Replies(1)
Articles(0)
undefined profile icon
Write a reply

Mengambil Pelepah Pisang Berujung Celaka

Kejadian ini mungkin tidak hanya aku saja yang mengingatnya, tapi kakak sepupuku tentunya tidak akan lupa. Teman sebayaku waktu kecil kebanyakan laki-laki. Saat itu tidak ada perbedaan antara kami, laki-laki bermain dengan perempuan. Terkadang kami bermain engklek, kasti, sabut kelapa,kelereng dan masih banyak lagi permainan kala itu. Suatu hari Aku, kakak sepupuku, dan 3 orang teman bermain bersama. Rencananya kami akan membuat mainan dari pelepah pisang. Kebetulan sekali ada pelepah pisang terbengkalai di seberang jalan. Kakak sepupuku memintaku untuk mengambilkan pelepah pisang tersebut. Aku berhasil menyebrang jalan dan kemudian mengambil pelepah itu. Ketika akan menyebrang untuk membawa pelepahp pisang aku lupa menoleh kekanan dan kekiri sehingga aku tidak melihat ada motor yang lewat. Tiba tiba bruk, aku terserempet. Aku ingat kalau aku tergeletak di jalan saat itu. Aku ingat saat teman-temanku berteriak memanggil ibuku. Aku kemudian dibawa ke klinik terdekat. Seingatku orang yang membawaku ke klinik bukanlah orang yang menabrakku. Akan tetapi, semuanya mengatakan kalau orang itulah yang menabrakku. Padahal aku yakin bukan dia. Dia mengendarai motor tepat di belakang orang yang menabrakku. Satu hal yang membuatku menyesal ketika mengingat peristiwa tersebut Kakak sepupuku sudah tidak pernah mengajakku bermain lagi sejak saat itu. Kata ibuku, kakakku mengurung dirinya dikamar saat mengetahui aku terserempet motor. Aku paham. Saat itu kami masih kecil. Mungkin kakakku takut dimarahi dan juga merasa bersalah. Akupun juga merasa bersalah karena hubungan kami sudah tidak seakrab dulu lagi hingga sekarang. Hanya sekedar menyapa basa basi jika bertemu. #MainanFavoritTAP

Read more
Mengambil Pelepah Pisang Berujung Celaka
undefined profile icon
Write a reply

Dilema saat imunisasi #IBUJUARA

Kekhawatiran dan keraguan kerapkali kurasakan ketika akan membawa anak untuk imunisasi pentavalent (DPT-HB-HIB). Sebelumnya anakku, sebut saja Rizki, sudah pernah imunisasi hepatitis 0, polio 1, dan BCG. Nampaknya imunisasi tersebut tidak memberikan dampak yang begitu kentara, seperti demam. Imunisasi selanjutnya yang harus RIzki dapatkan adalah penta 1 dan polio 2. Aku sudah mendaftarkan untuk imunisasi ke bidan. Sebelum pemeriksaan, bidan menanyakan terlebih dahulu tentang bab RIzki. Kala itu Rizki berusia 2 bulan dan jumlah frekuensi bab nya masih 3-4 kali. Menurut bidan frekuensi bayi usia 2 bulan maksimal 3 kali. Akhirnya imunisasi Rizki ditunda karena bidan khawatir jika ternyata RIzki diare. Karena kenaikan BB Rizki normal, Aku diminta untuk mengevaluasi lagi makananku dan memeriksa bab bayi selama seminggu. Hasil yang kudapatkan selama satu minggu tetap sama, bab nya masih 3-4 kali sehari. Tekstur bab nya berampas dan bewarna kuning emas. Aku juga selalu memfoto bab nya, buat berjaga-jaga jika ditanyakan. Aku menghubungi bidan lagi untuk menanyakan apakah tekstur bab nya normal dan kepastian jadwal imunisasi. Akhirnya bidan memintaku untuk menunggu seminggu lagi. Aku dan suami akhirnya memutuskan untuk membawa Rizki ke DSA. Dari hasil konsultasi dengan dsa tersebut, bab Rizki normal dan dapat dilakukan imunisasi. Akhirnya diimunisasikam sekalian oleh dokter tersebut. Selang beberapa jam setelah imunisasi badan Rizki mulai panas dan berlangsung selama 2 hari. Sudah kucoba berbagai cara supaya panasnya segera turun. Kompres air hangat, minum obat dari dokter, hingga skin to skin kulakukan. Akan tetapi suhunya naik turun dan paling tinggi mencapai 38,2°C. Imunisasi penta 2 dan polio 3 dijadwalkan sebulan setelah imunisasi penta 1. Aku dan suami memutuskan untuk imunisasi ke DSA dengan pertimbangan lebih cepat dilakukan imunisasi dan tidak perlu menunggu barengan. Dampak imunisasi penta 2 yang dialami RIzki berbeda dari penta 1. Bekas suntikannya memerah, bengkak, dan keras. Rizki menjadi lebih rewel dari biasanya apalagi saat bekas suntikan tersebut tersenggol. Ketika kukompres bengkaknya dengan air panas, Rizki malah semakin nangis kejer. Dia juga mengalami demam selama 2 hari. Untuk membawa imunisasi penta 3 dan polio 4 ditambah lagi IPV, aku sempat maju mundur. Aku khawatir. Aku belum siap kalau RIzki rewel, demam, dan bekas suntikannya bengkak. Akhirnya aku membawanya imunisasi mundur dua hari dari jadwal seharusnya. Aku mempersiapkan terlebih dahulu alat tempurku. Sebelumnya pekerjaan rumah kuberesi agar bisa fokus mengahadapi Rizki nantinya. Telah kusiapkan juga peralatan minum obat, seperti asi perah, sendok, dan gelas yang sudah kusterilkan. Air hangat dan handuk untuk mengompres juga sudah kusiapkan. Tak lupa juga aku membeli bye bye fever atas saran temanku. Hari dimana sudah siap, aku membawa Rizki imunisasi. Sesampainya rumah langsung ku minumkan obat penurun panasnya dan kukompres bekas suntikannya. Selang beberapa jam Rizki mulai demam, akan tetapi dia tidak rewel. Alhamdulillah Rizki tetap ceria tidak seperti saat imunisasi sebelumnya. Aku benar-benar lega.

Read more
undefined profile icon
Write a reply

Kisah persalinanku #IBUJUARA

Ini adalah kehamilan pertamaku. Pada hari jumat, 7 agustus 2020 usia kehamilanku 38 week 6 day. Hari itu aku belum merasakan tanda-tanda cinta dari si dedek sehingga aku masih santai dan malamnya aku tiba-tiba ingin berfoto dengan suami karena kami memang belum foto maternity. Akhirnya pukul 21.00 kami foto seadanya dirumah.  Kemudian, dini hari pukul 04.15, aku terbangun. Aku merasa seperti ada yang pecah di dalam perutku. Kalau diibaratkan seperti plastik berisi air yang pecah "pyoh". Rasa tersebut diiringi dengan aliran air yang cukup banyak. Aku membangunkan suami dan berkata bahwa ketubanku mungkin pecah. Aku bangun dan berdiri di lantai, rasanya seperti mau bak dan kubiarkan saja di lantai. Kebetulan aku belum jadi beli kertas lakmus sehingga tidak dapat mengecek apakah cairan itu ketuban atau bukan. Awalnya suami mengira kalau aku hanya buang air kecil karena cairan di lantai berwarna kuning dan berbau seperti bak pada umumnya. Aku sedikit tenang, tapi lama kelamaan keluar cairan terus menerus dari jalan lahir. Suami yang mulanya santai jadi ikutan panik. Akhirnya, aku dibawa ke RS. Sesampainya di RS, aku diperiksa dan memang betul ketubanku pecah. Perawat bilang kepala bayinya masih tinggi dan belum ada pembukaan. Akupun juga belum merasakan kontraksi apapun. Dikarenakan adanya pandemi corona, penunggu pasien hanya diperbolehkan satu orang yaitu suamiku saja. Setelah suamiku menyelesaikan administrasi, aku dipindah ke ruang bersalin. Perawat memintaku untuk tidak banyak bergerak karena ketubanku terus rembes. Tiap 2 jam perawat selalu memeriksa pembukaanku dan denyut jantung bayi. Pada pukul 10.00 aku mulai merasakan kontraksi tapi tidak intens. Setelah dicek baru pembukaan satu. Dokter mengunjungiku pada pukul 13.00, setelah dicek pembukaanku juga masih tetap sama. Selang beberapa jam kemudian dokter memeriksa keadaanku lagi, dan pembukaanku tidak bertambah. Akhirnya pada pukul 19.00 dokter menyarankan untuk dilakukan induksi. Suamiku langsung menyetujuinya. Tak lama kemudian perawat datang dan menyuntikan obat ke infusku. Setelah itu aku merasakan tanda cinta datang secara terus menerus. Pukul 21.00, aku merasa ingin buang air besar dan sudah tidak kuat rasanya. Perawat kemudian memeriksaku dan ternyata baru pembukaan 4. Setengah jam kemudian aku meminta suami untuk memanggilkan perawat karena rasa nikmat itu sudah tak dapat lagi kutahan, entah faktor diinduksi atau faktor ketubanku yang lama-lama berkurang. Perawat datang dan setelah dicek ternyata baru bukaan 5. Ia memintaku untuk menunggu bukaan lengkap. Aku merengek kepada suami, kalau aku sudah tidak tahan. Suami kemudian keluar mencari perawat dan kebetulan dokternya juga pas lagi di sana kata suami. Akhirnya perawat datang membawa kursi roda untukku dan memindahkan ke meja bersalin. Aku ditangani satu dokter dan beberapa perawat. Ketika gelombang cinta datang aku diminta untuk mengejan yang ternyata teknik mengejanku salah. Ilmu yang telah kupelajari ketika hamil rontok semua. Setelah berkali-kali mengejan dan sempat berhenti untuk minum akhirnya bayiku lahir pada pukul 22.15 wib. Rasanya lega seketika. Ketika baru lahir, bayiku tidak langsung menangis. Aku sempat bingung dan takut. Untungnya tak lama kemudian bayiku dapat menangis. Aku menangis terharu. Kuabaikan rasa sakit dijahit yang kuyakin banyak sekali robekannya karena aku merasa dokter menambahkan jalan lahir juga. Kupikir perjuanganku sampai disini. Ternyata tidak. Aku sempat melakukan IMD tapi cuma sebentar dan bayiku belum mampu menemukan PD ku. Setelah selesai semuanya, aku dipindahkan ke ruang rawat biasa. Di Ruang rawat ini, penunggu diperbolehkan dua orang. Waktu itu yang menunggu suami dan ibu mertuaku. Sekitar pukul 10.00 wib, perawat datang menyerahkan bayiku untuk disusui. Perawat tersebut ramah sekali. Ia memberiku contoh cara menyusui yang benar akan tetapi bayiku tidak dapat menyusu karena puting datar dan bentuknya seperti terbelah. Akhirnya aku diminta untuk belajar menyusui pelan-pelan dan memintaku untuk menyusui. Aku sudah merasa bersalah karena belum bisa menyusui, asiku juga belum keluar dan bayiku mulai menangis terus. Tak lama kemudian dokter anak mengunjungiku dan menanyakan perihal menyusui. Ketika aku bilang belum dapat menyusui, dokter seolah olah memojokkanku karena tidak menarik narik puting ketika usia kehamilan sekitar 7 bulanan (padahal aku juga sudah usaha menarik nariknya ketika mandi namun tidak setiap hari). Ia menyarankan menggunakan puting sambung. Akhirnya suami membelikannya. Setelah dicoba hasilnya tetap sama, bayiku tetap tidak dapat menyusu. Ibu mertuaku menyarankan untuk menggunakan pompa asi. Pertama kali menggunakannya rasanya sakit. Payudaraku juga lecet. Tapi membuahkan hasil, asiku keluar sedikit yang kemudian diberikan ke bayi dengan media sendok. Malamnya gantian ibuku sendiri dan suamiku yang menjagaku. Alhamdulillah bayiku lama lama dapat menyusu walaupun perlekatannya sangat susah.  Keesokan harinya aku sudah diperbolehkan pulang. Kukira perjuanganku berakhir. Ternyata belum. Dirumah banyak sekali tetangga yang menjenguk. Berbagai macam saran dan komentar aku dapatkan termasuk mitos mitos pasca lahiran. Aku mulai merasa ada yang tidak beres dengan diriku. Aku tiba tiba merasa sedih dengan kehadiran bayiku. Aku takut jika ada yang menjenguk. Aku takut mendengar apa yang akan mereka katakan tentang bayiku. Aku merasa tertekan jika banyak orang menjenguk. Pada hari rabu, 12 agustus 2020, aku merasa bayiku demam. Ibuku juga merasakan hal yang sama. Kemudian kucek suhunya 37,3°. Malamnya bayiku tertidur pulas sekali, padahal malam sebelumnya sering bangun dan menangis. Aku dan suamiku cemas sekali karena ku bangunkan untuk menyusu tetapi tidak bangun juga. Bayiku terlihat lemas. Kulihat denyut jantungnya masih ada. Keesokan harinya, bertepatan dengan jadwal kontrol untuk bayiku. Aku, suami, ibu mertua dan kakak iparku membawa bayiku kontrol ke rumah sakit. Aku merasa takut, aku merasa bayiku kuning. Setelah diperiksa dan diambil darah untuk cek lab ternyata benar, bayiku kuning. Kadar bilirubinnya 18. Bayiku harus dirawat 3 hari 3 malam di ruang intensif untuk fototerapi. Aku hanya terdiam, aku sangat takut, ingin menangis, aku pasrah, aku bahkan mendiamkan ibu mertua ku yang terus terusan bilang kuning karena tidak dijemur, kurang asi dll. Yang tadinya niat kontrol ternyata harus rawat inap. Aku dan suami tidak pulang. Kami standby di rumah sakit. Di Ruang intensif, hanya ibunya, yaitu aku yang diperbolehkan masuk. Suamiku tak dapat masuk, hanya bisa menunggu diluar. Kulihat bayiku hanya memakai diapers, matanya ditutup yang terlihat hanya dahi, lubang hidung, dan bibir. Ia menangis dengan keras saat matanya ditutup. Ku kuatkan mentalku. Kalau aku menangis, aku tau bahwa bayiku akan menjadi semakin rewel. Kususui bayiku untuk meredakan tangisnya. Setelah tenang kuletakkan di box untuk disinar. Kemudian aku keluar ruangan. Kutemui suamiku. Kulihat matanya merah. Aku yakin dia menangis. Tak dapat kubendung air mataku. Aku menangis untuk melegakan hatiku. Tanpa orang lain mengatakan bayiku kuning karena kurang asi, aku sebagai ibunya juga tau, aku juga merasa bersalah, aku juga merasa kecewa, aku marah terhadap diriku sendiri. Untungnya suamiku mendapat izin kerja sehingga bisa menemaniku walaupun hanya menunggu diluar. Keperluanku selama dirumah sakit selalu diantarkan oleh mertuaku dan orang tuaku secara bergantian sehingga aku tidak perlu pulang. Di Sebelah ruang intensif tersedia ruang tunggu untuk ibu-ibu yang bayinya dirawat diruang intensif tersebut. Akan tetapi, ruangannya sudah penuh sehingga aku tidur bersama suami kursi tunggu. Ketika bayiku menangis atau waktunya menyusui tiap 2 jam sekali, perawat akan memanggilku melalui loudspeaker. Ada hikmahnya juga bayiku dirawat, mengganti popok, menenangkan bayiku, menggendongnya, menyusuinya, meletakkan ke tempat tidurnya, semua aku melakukan sendiri sehingga aku menjadi terbiasa. Aku merasa lebih tenang. Aku merasa punya waktu berdua dengan bayiku. Ketika sudah tiga hari tiga malam, bayiku diambil darahnya untuk dicek lab. Aku berkemas kemas untuk pulang, bayiku juga sudah tidak disinar dan sudah siap untuk pulang, tinggal menunggu acc dokter.  Tak lama kemudian, aku dipanggil perawat, mereka menjelaskan bahwa bayiku tidak diizinkan dokter untuk pulang karena kadar bilirubinnya masih 12 yang artinya dalam sehari semalam yang ditargetkan mampu turun 3, tapi bayiku hanya turun 2. Perawat menyarankan agar aku menggunakan dot, sehingga tidak sering membawa bayi keluar dari box sinar dan diharapkan kadar bilirubinnya turun dengan optimal. Aku lagi lagi kecewa. Bayiku yang tadinya sudah dipakaikan baju dan tutup matanya telah dibuka, kini matanya harus ditutup lagi. Barang barang yang tadinya sudah kubereskan, kuletakkan pada tempat semula lagi. Ku beritahu suami jika belum diperbolehkan pulang. Kemudian kupersiapkan dot dan alat pumping. Hasil pumping ternyata sangat sedikit, hanya membasahi botol susu. Aku marah dengan diriku sendiri, aku mendiamkan suamiku, apapun yang dilakukannya selalu salah di mataku saat itu. Kebetulan hari itu ada pasien yang diperbolehkan keluar, sehingga tempat tidur di ruang tunggu khusus ibu dapat aku gunakan. Setelah sempat tidur beberapa saat, ku coba pumping lagi dan hasilnya lumayan. Aku segera masuk dan mencoba nya untuk bayiku. Awalnya ia mau menyusu dengan dot. Untuk yang kedua, ketiga dan seterusnya ia menolak menyusu. Bahkan kucoba menyusu langsung denganku, daya hisapnya sudah tak seperti biasanya Aku langsung menduga bayiku bingung puting. Ya, Allah cobaan apalagi ini.  Aku keluar ruangan. Kuceritakan pada suami. Dia menenangkanku. Ku Tenangkan diriku. Kucoba untuk menguatkan diriku sembari mencari jalan keluar dengan searching di google. Kemudian aku masuk kembali ke ruang intensif. Aku mencoba menyusuinya. Lebih ku telateni dan ku bisikkan kalimat kalimat indah ke telinganya. Alhamdulillah lama kelamaan bayiku mau menyusu kembali. Mulai saat itu, aku tidak memakaikan dot lagi ke bayiku.  Setelah sehari semalam, bayiku di cek darah lagi dan hasil kadar bilirubinnya 10,82. Dokter juga mengizinkan pulang.  Demikian kisah persalinanku. Terimakasih bagi bunda-bunda yang bersedia membaca. 

Read more
Kisah persalinanku #IBUJUARA
undefined profile icon
Write a reply