aca profile icon
PlatinumPlatinum

aca, Indonesia

Kontributor

About aca

Dreaming of becoming a parent

My Orders
Posts(31)
Replies(295)
Articles(0)
undefined profile icon
Write a reply

KAPAN GILIRANKU?

Kisah Kesabaran Wanita yang Tak Kunjung Hamil, Hingga Allah Mencabut Nyawanya Kisah inspiratif, penantian ibu yang tak juga hamil hingga pada usia tua ia melahirkan anak. KAPAN GILIRANKU? ??|| ﷽ ||?? Semoga menjadi ibrah bagi kita semua. Cerita dari seorang sahabat, seorang teman, seorang ibu, yang sangat tegar. Inspirasi bagi kita untuk selalu menggantungkan harapan kepada Allah, raja' (berharap) serta khauf (takut), dan berserah diri hanya kepada Allah atas seluruh ketetapan-Nya dan takdir dari-Nya. Sedih. Tertekan. Depresi rasanya menikah selama ini belum dikaruniai keturunan. Bingung setiap kali ada pertanyaan "Ummu belum hamilkah?"... Atau saat berkumpul bersama keluarga, ada saja yang usil bercanda... Tapi cukup masuk ke hati. Tidak nyaman dengan keluarga besar suami, terutama ibu mertua, maklum suamiku adalah satu-satunya putra mereka, sekaligus yang diharapkan keluarga. Fashabrun jamiil. Kesabaran adalah jalan yang terbaik. Sesungguhnya akhir dari kesabaran adalah kebaikan. Flashback 25 tahun silam. Saat hari pernikahan kami. Sungguh sangat bahagia, harapan indah serta rasa syukur memenuhi hati kami. Sebagaimana suami istri yang lain, kami sangat ingin segera punya anak. Kami merencanakan untuk tidak membatasi kelahiran, ingin punya anak lebih dari 7. he,he. Hari demi hari telah berlalu, sebulan, dua bulan, bulan demi bulan berlalu, setahun, lima tahun, sepuluh tahun, dua puluh tahun, 24 tahun... Kami selalu menantikan buah hati. Tidak bisa kami ceritakan bagaimana kerasnya kami berusaha. Tidak mampu kami ceritakan bagaimana kami mencoba, mulai dari herbal hingga secara medis. Tidak kami pungkiri bahwa semua itu membutuhkan dana yang tidak sedikit. Waktu dan pikiran serta tenaga terkuras. Beberapa kali mencoba untuk bayi tabung, hingga badan terasa sakit semua karena banyaknya terapi. Qadarullahu wa maa syaafa'ala, Allah belum berkehendak. Alhamdulillah ala kulli hal, manusia hanya berusaha, berikhtiar sekuat tenaga, namun pada akhirnya di saat kami berada pada titik terendah, kami pasrah dengan ketetapan-Nya, kami ridha dengan takdir-Nya. Usia kami telah memasuki usia kepala empat, sudah tidak lagi muda. Masa-masa produktif telah terlampaui, namun sungguh selama 24 tahun ini, doa yang tidak pernah terputus, tiada pernah berhenti. Setiap sepertiga malam terakhir aku selalu berharap agar bertepatan dengan waktu yang mustajab (terkabulnya doa). Allah Subhanahu Wa Ta'ala maha berkuasa atas segala sesuatu. Allah yang Maha memegang urusan seluruh hamba-Nya. Demikian kami hingga mengerti faedah besar yang terselip, yang selama ini tidak kami sadari. Bahwa Allah apabila mencintai seseorang hamba-Nya, maka Dia akan memberikan ujian untuk hamba-Nya tersebut. Sesuatu yang akan mengangkat derajatnya serta menghapus dosa-dosanya selama dia mampu bersabar, bertakwa kepada Allah, serta ridha dengan ketetapan Allah. Seberapapun kami berusaha, jika Allah tidak berkehendak maka kami tidak akan pernah mendapatkannya. Sebaliknya, jika Allah telah berkehendak, maka pasti kami akan dikaruniai keturunan. Meski menurut manusia mustahil. Meski menurut mereka impossible. Meski di luar nalar manusia. Apa yang tidak mungkin bagi Allah? Apabila Allah berkehendak, bisa saja aku dikaruniai seorang anak lelaki atau perempuan, atau lelaki dan perempuan. Setiap datang bulan, menstruasi, selalu menangis sedih. Selalu takut dan despresi menantikan mens. Padahal hal tersebut adalah nikmat Allah yang sangat besar. Kenapa kita tidak pandai bersyukur? Sedih, akan tetapi selalu ku tepis perasaan tersebut. Dan selalu berusaha optimis. Dan yakin kepada Allah, percaya dan husnudzon (berprasangka baik) kepada Allah. Aku yakin Allah telah merencanakan sesuatu yang indah untuk kami. Semua pasti akan indah pada waktunya. Tetapi tetap saja, setiap datang bulan berikutnya aku nelangsa, sedih yang telah sekian puluh tahun kurasakan, menangis di kamar sendirian, sepi rasanya tanpa buah hati. Apa yang mampu kami lakukan saat kami lemah? Hanya satu, saling menguatkan dan saling menasehati diatas kesabaran, ketakwaan, bahwa semua adalah kehendak Allah. Ada satu hal yang selalu menjadi pikiran. Aku takut dipoligami, meski tahu bahwa itu adalah sunnah. Ternyata berat sekali di hati dan ini adalah ujian tersendiri bagiku. Bagaimana aku mampu tegar di saat-saat seperti itu? Betapapun ini kan belum tentu terjadi, cuma di pikiranku doang. Hanya mempersiapkan diri biar tidak frustasi kalau benar terjadi. Kembali kepada takdir Allah, jika Allah menghendaki bagi suamiku untuk ta'adud (poligami), meski aku berusaha menggagalkan pasti deh aku bakalan ditinggal nikah juga. Meski pada akhirnya aku bisa hamil juga, jika suami di takdirkan nikah lagi ya pasti terjadi. Sebaliknya jika Allah tidak berkehendak suami ta'adud, maka juga tidak akan pernah terjadi. Setiap mengingat hal itu aku selalu tenang kembali. Yang bisa aku lakukan adalah berdoa di sepanjang sisa hidupku. Berusaha mengerjakan amalan-amalan saleh untuk bekal akhiratku mengingat tidak ada anak yang akan mendoakanku. Belajar semampuku hingga benar-benar menjadi seorang istri yang fakih, ikhlas menjalani hidup, memanfaatkan waktu jangan sampai terbuang sia-sia, menyibukkan diri dengan sesuatu yang berfaedah bagi dunia ataupun akhiratku. Mengisi dengan hal-hal yang positif, mulai membuka diri, tidak pesimis dan positif thinking. Berusaha memperbaiki hubungan dengan suami agar benar-benar menjadi istri yang menyenangkan suami, serta menikmati hidup meski dalam sepi. Tapi bener banget kalau aku bilang sepi, sepi dihati. Bosan... Dan pada suatu saat, di saat mungkin aku berada pada ambang batas kemampuan, lelah dalam menjalani hidup, lelah saja mungkin karena banyaknya dosa, atau juga pikiran yang terbebani. Suatu malam aku terbangun, tidak ada yang istimewa. Rutinitas bangun malam terus sholat malam, cuma pingin nangis rasanya. Berat sekali ujian ini ya Allah. Kalau bukan karena Engkau, mungkin hamba sudah tidak kuat. Doa demi doa mengalir begitu saja. Aku memang sudah pasrah dengan takdir-Nya. Aku sudah 45 tahun, mau ngapain kalau nggak memperbanyak doa? Mudah-mudahan Allah mengampuni seluruh dosaku, dan sungguh aku ingin bertaubat atas segala dosaku. Air mata mengalir begitu deras, spontan dan sedih yang luar biasa. Namun doa yang selalu aku panjatkan, "Ya Allah yang Maha Memberi, Allah Yang Maha Mengabulkan doa hamba-Nya, Allah yang Maha Pemurah, Allah yang Maha Berkehendak, Allah Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu, Ya Allah hamba ridha atas seluruh ketetapan-Mu. Hamba ikhlas dalam menjalani kehendak-Mu. Engkaulah tempat kami bergantung dan meminta pertolongan. Ampunilah seluruh dosa-dosa kami, hamba mohon berikanlah kami keturunan yang mampu menjadi penyejuk mata dan hati kami. Jika hal tersebut adalah yang lebih baik untuk kami. Serta jauhkanlah kami dari fitnah dunia atau fitnah setelah kematian. Ya Allah jika Engkau melihat bahwa kesabaranku selama 24 tahun menghadapi ujian ini ikhlas semata-mata hanya mengharapkan wajah-Mu, hamba mohon anugerahkanlah kami keturunan yang shaleh. Amin ya mujibassailin." Raja dan Khauf Bukankah Allah selalu turun di langit dunia di setiap malam pada sepertiga malam yang terakhir dan maha kuasa? Sungguh, jikapun ditakdirkan Allah tidak bisa hamil sampai meninggal pun, aku masih berhusnudzan kepada Allah, aku masih bisa berharap bahwa kesabaran dalam menghadapi ujian ini akan aku jadikan satu-satunya hal yang bisa kukatakan kepada Allah di akhirat kelak agar Allah ridha kepadaku dan memasukkanku kedalam jannah (surga) lantaran amalan tersebut. Bulan berganti bulan, berganti tahun, hingga aku sakit selama 3 pekan. Panas tinggi, muntah, dalam keadaan tidak mampu makan, aku dibawa ke rumah sakit. Opname. Dada kiriku seperti ditusuk-tusuk jarum nyeri hebat timbul hilang. Dokter menyampaikan kepada suamiku, "Istri bapak hamil muda, mohon dijaga karena usia rawan, ya pak. Ibu sakit jantung, masih gejala. Jadi nanti dirujuk ke rumah sakit Surabaya, bapak bisa menunggu sebentar,.. bla bla bla.." Aku seperti tiba-tiba tidak mendengar apapun saking kagetnya. AllahuAkbar. Subhanallah. Allahu Akbar. Walhamdulillah . Innalillahi wainna ilaihi rajiun. Demi Allah antara bahagia sampai ke ufuk langit, juga kaget, sedih, dengan diagnosis dokter, antara percaya dan tidak percaya. Antara sadar dan tidak sadar, bingung harus bagaimana. Saat itu aku hanya bisa melihat wajah suamiku yang melongo, yang kemudian menangis tapi juga tertawa. Menangis bahagia atas keajaiban ini, juga menangis sedih dengan penyakitku yang tiba-tiba. Kami berpelukan erat sambil bertahmid. Aku justru hamil saat sudah hampir putus asa, saat sudah benar-benar pasrah, saat tidak pernah terapi lagi. Alhamdulillah. Bulan berganti bulan. Bulan keenam kehamilanku, aku diminta check up rutin, karena plasenta prefia ari-ari menutup jalan lahir, juga ketegangan kali ya. Bikin badanku bengkak, wajah dan tangan serta kakiku bengkak. Dokter bilang, preklamsia. Tekanan darah 170, tinggi sekali. Setiap hari keluar darah dari jalan lahir. Gerak sedikit langsung keluar darah. Jadi praktis bedrest total. Untuk menghibur diri, aku sering kirim email ke adik angkatanku yang sekarang sudah ngaji. Bulan ke-8, aku harus dioperasi. Aku takut tidur di meja operasi dan tidak bangun lagi. Suamiku, aku mohon maaf. Tapi suamiku selalu tersenyum. Menenangkan diriku bahwa semua akan baik-baik saja. "Mudah-mudahan semua ini diterima oleh Allah sebagai amalan kebaikanmu, tidak apa-apa. Baarakallahufiik." Tahun 2015, April Inna lillaahi wa inna ilaihi rajiun.. Semua berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah. Telah datang kabar kepadaku, bahwa sahabat yang kuceritakan diatas telah meninggal dunia, serangan jantung beberapa saat setelah melahirkan tersebut. Sungguh dia adalah ummahat yang shalehah. Mudah-mudahan Allah memasukkannya ke jannah beserta bayinya yang juga meninggal dunia setelah ibunya meninggal. Sungguh dunia ini fana, sungguh dunia ini bukan tempat tinggal kita. Sungguh orang-orang yang aku cintai telah mendahuluiku bertemu dengan Rabbku. Selalu terselip di hati, "Kapankah giliranku?" Email dari sahabat, yang kini telah tiada. Sungguh aku mencintaimu karena Allah, Allah yang menunjukiku manhaj salaf melalui perantaraan engkau. Uhibbukifillah --------- ?turut berbagi https://t.me/suaratauhidfm Sumber : Majalah Qudwah edisi 29 /2015 halaman 24 https://www.atsar.id/2019/02/kisah-kesabaran-ibu-yang-tak-kunjung-hamil.html ?????????????

Read more
undefined profile icon
Write a reply

Kisah : Cintaku Hilang Satu

"Cintaku Hilang Satu"  Aku menikah pada usia 17 tahun. Aku akhiri masa gadisku dengan menikah dengan seorang lelaki yang aku sukai. Cita-citaku untuk menjadi dokter dan prestasiku di sekolah tak ku hiraukan lagi. Semua itu antara lain karena ketidakmampuan orang tuaku untuk membiayai sekolah.  Awal pernikahan adalah sesuatu yang baru. Mengenal lebih dekat tabiat teman hidupku yang jauh dari yang aku bayangkan. Juga keadaan ekonomi yang seolah-olah kebalikan dari yang sebelumnya. Hidup bersama orang tuaku, aku tak mengenal jajan kecuali 'es kucir' setelah selesai pelajaran olahraga. Kini suamiku memberikan gaji dari kerja bengkelnya untukku. Aku terkesiap setiap kali amplop gajinya kubuka.  Namun demikian, itu semua tidak lantas membuatku semaunya belanja dan jajan. Bahkan aku tak berani sembarangan membelanjakannya demi mengingat betapa lelahnya ia bekerja di bengkel. Apalagi kalau kuingat suatu saat aku akan mempunyai anak-anak dan mempunyai kebutuhan yang banyak. Maka demikianlah, kami tetap hidup sederhana dengan mengontrak 1 kamar di kota metropolitan. Suamiku seorang yang pendiam dan tak suka bicara. Jika dirumah, suamiku melewati hari-harinya hanya dengan tidur. Terkadang terselip rasa kesepian dalam diriku. Tak ada perbincangan di antara kami, walau kadang kupancing-pancing. Suasana dingin dan kaku adalah warna dasar kehidupan kami. Bahkan ketika 7 bulan kemudian aku mengandung sampai melahirkan anak pertama, itu pun sepertinya bukan sesuatu yang menggembirakan baginya.  Sesuatu yang kubayangkan akan mengubah suasana ternyata hanya angan-angan belaka. Namun demikian, walau kadang kesepian, masih saja terselip rasa cinta padanya. Dan senantiasa kutanamkan bahwa tidak ada tempat bagiku selain di sisinya. Hingga lahirlah anak kami yang ke-3. Saat itu, adik suamiku tinggal bersama kami. Tampaknya ia rajin mengikuti pengajian. Aku mulai tertarik dengan buku-buku dan kaset yang ia bawa. Ku ambil buku-buku, majalah, dan kaset-kaset dakwahnya. Dari pagi hingga sore kusetel dan kubaca-baca hingga ketika ia pulang kukembalikan lagi ke tempatnya semula. Mulailah aku mengenal dakwah ini. Ketika kubuka buku tentang hijab dan cadar serentak hatiku terbuka menerimanya. Segera saja aku memesan baju hijab dan cadar.  Sejak itu aku semakin rajin membaca dan mendengar taklim melalui kaset. Itu semua mengisi waktuku sepanjang hari di samping mengurus rumah dan anak-anak tentunya. Suamiku tak menentang, diam saja. Hanya saja ia malu jika berjalan bersamaku di luar. Waktu terus berjalan, roda berputar. Krisis moneter terjadi di negeri ini, suamiku terancam PHK. Akhirnya kami memutuskan pulang kampung. Di samping juga putriku sudah memasuki usia sekolah, aku memikirkan masa depannya. Alhamdulillah, ternyata dekat tempat tinggal kami, di kampung mulai dirintis sebuah TKIP.  Namun, tinggal di kampung ternyata membawa gejolak tersendiri untukku. Di kampung mau tak mau suami banyak berhubungan dengan ayah-ibunya yang sejak awal memang tidak suka denganku. Sejak awal mereka keberatan dengan pernikahan kami. Seolah-olah mereka merasa, saya telah merebut putra mereka. Di sinilah mulai timbul gesekan antara aku dan suamiku.  Suamiku sering terbawa ayah dan ibunya, membenciku, merendahkanku. Mulai tampak sifat arogannya yang merendahkan seorang wanita. Ia mulai tidak mendengar keluhanku, tidak mau mendengar usulan-usulanku dalam mengatasi permasalahan rumah tangga, anak-anak, dan keseharian kehidupan kami.  Perempuan diam!! Demikian jika kuusulkan tentang suatu permasalahan. Kalau tidak suka, pergi! Tinggalkan rumah ini! Begitu kasar sikapnya. Hari-hari ia lewati dengan tidur sambil menunggu waktu salat. Antar jemput anak pun ia tidak mau. Terkadang aku menangis, tapi ku coba untuk bersabar. Akan tetapi yang pasti, saat itu aku masih mencintainya. Ini yang meringankan bebanku.  Namun waktu terus berlalu. Hari berganti hari. Anak demi anak terlahir dariku. Dengan segala kesusahan dan kepayahan aku rawat anak-anakku. Suamiku bukan tipe penyayang anak. Tak bisa dan tak biasa bercanda dengan anak-anak. Hingga 9 anak terlahir dariku tak tersentuh hatinya untuk membantu mengurus anak. Bahkan seperti tak tergerak hatinya meskipun ketika mendengar anaknya menangis atau sakit, sementara istrinya sedang sibuk dan kerepotan.  Meskipun ketika suatu saat ada anak-anak yang sedang sakit berbarengan dalam satu malam, ia tak pernah ikut terjaga untuk sekedar melihat keadaannya. Seakan-akan ia tidak mendengar kabar bahwa anaknya sakit. Padahal kami satu rumah, satu atap. Kehidupan sehari-hari kami jalani dalam keadaan seolah-olah kami tidak saling mengenal. Jika kucoba untuk berdiam diri, 3 sampai 4 hari pun tidak ada percakapan diantara kami.  Ia biasa tidur setelah Isya'. Sementara aku masih menyelesaikan pekerjaan dan mengurus anak-anak. Setelah mereka tidur semua, kugunakan waktuku untuk belajar, membaca buku, majalah, dan mencoba menghafal Al-Quran. Setelah  larut malam, aku tertidur bersama anak-anak, sementara suami tidur di kamar lain. Pagi harinya, sambil mengantar anak sekolah, kusempatkan menghadiri majelis taklim di ma'had yang berjarak 4,5 km dari rumah.  Waktu itu, dengan sepeda onthel, 2 anak di depan, 2 anak di belakang ku kayuh sepeda setiap hari. Ketika hamil pun, tetap aku yang mengantar anak-anak sekolah. Terkadang jika berpapasan dengan ikhwan yang berboncengan dengan istrinya, terbesit rasa cemburu di hatiku. Kembali berlalu, waktu demi waktu. Kuobati yang bergejolak di hatiku dengan membaca lembar demi lembar "sakinah", mendengarkan radio ahlussunnah atau menghafal dan memuroja'ah al-Qur'an. Kenikmatanku adalah saat duduk membaca, mencatat, atau menghafal. Namun demikian tak bisa kumungkiri sikap suamiku selalu saja menyisakan kegersangan di hatiku. Meskipun memang banyak anak tentu banyak tawa, canda, dan suara mereka yang kudengar. Namun, hatiku merasa kesepian. Keadaan ini sedikit demi sedikit mengikis rasa cintaku pada suami.  Kini kudapati dalam hatiku, memandangnya bukan sesuatu yang menyenangkan. Berdekatan dengannya bukanlah sesuatu yang menyejukkanku. Tidur di sisinya adalah sebuah siksaan. Apalagi ketika suami mulai cemburu dengan kegiatanku. Mulai menggangguku jika aku sedang belajar, mencatat, membaca, atau menghafal. Ia mulai mencegahku dengan berbagai cara ketika aku tengah mencoba untuk belajar, membaca, atau menghafal. Terkadang setan membisiki hatiku. "Untuk apa engkau pertahankan ini semua? Bukankah ketika cinta itu telah pergi, tidak akan bisa tumbuh lagi? Suamimu tidak ridha engkau belajar dan menuntut ilmu!" Atau timbul dalam hatiku ucapan-ucapan seperti ini. "Ruh-ruh itu berkelompok-kelompok. Jika mereka saling mengenal akan saling mendekat dan jinak. Berarti ruhku tidak sekelompok dengan ruh suamiku. Buktinya kami seolah tidak saling mendekat.  Bagaimana mungkin aku mencintai seorang pemalas, orang yang tidak peduli dengan keluarga? Orang yang kasar? Bagaimana aku bisa mencintai seseorang yang tidak suka jika aku membaca al-Quran? Bahkan ia sendiripun tidak pernah menyentuh Al-Quran selama lebih dari 22 tahun ini!?"  Berbagai bisikan menggoda hatiku untuk mengajak meninggalkannya. Namun, aku menangis jika mengingat anak-anakku. Bagaimana nasib mereka jika aku tinggalkan? Bagaimana pendidikan mereka? Ayah mereka bukan orang yang peduli dengan keadaan mereka. Jika aku bawa anak-anakku pergi, sanggupkah aku menafkahi mereka? Ketika masih bersatu saja, ayah mereka tidak memerhatikan mereka, apalagi jika kami berpisah?  Pernah kucoba untuk menanyakan persoalanku ini kepada beberapa orang yang lebih berilmu. Namun jawaban mereka berbeda-beda. Ketika ada salah seorang di antara mereka mencoba menasehati suamiku, betapa marahnya ia. Ia merasa aibnya diumbar kemana-mana. Saat itu aku hanya bisa meminta pertolongan Allah. Kurenungi semua perjalanan hidupku ini. Semuanya tentu sudah menjadi kehendak-Nya.  Allah Maha Penyayang. Mungkin ini adalah ujian yang diberikan-Nya kepadaku. Aku merasa tidak tulus dengan ujian ini. Aku ternyata tidak bisa bersabar. Bisa jadi ini semua terjadi karena dosa-dosaku. Barangsiapa yang diuji Allah kemudian ridha maka Allah akan ridha. Dan barangsiapa yang marah, Allah pun demikian. Maka kurenungi ternyata aku bersedih, marah, berkeluh kesah, tidak sebagaimana orang yang ridha.  Di sisi lain kurenungi pula betapa Allah menyayangiku, menjagaku, hingga walau dalam hati ini terkadang sedih, masih saja Allah jadikan aku mampu melahirkan 9 anakku, merawat mereka, mendidik mereka dan mengenalkan agama yang benar kepada mereka. Hingga saat ini, di antara mereka ada yang telah selesai menghafalkan Al-Quran serta berkeluarga dengan seseorang yang insyaAllah kokoh akidahnya. Dan lahir pula darinya cucuku.  Trenyuh hatiku jika melihat anak-anakku. Di antara mereka bahkan ada yang sempat berujar, "Ummi, aku ingin memiliki iman dan hati seperti ummi. Aku ingin ummi hidup seratus tahun lagi. Aku tenteram disisi ummi. Aku tidak ingin ummi mati terlebih dulu dariku. Aku ingin aku saja yang lebih dulu mati."  Meski ku tegur ucapannya itu karena bisa menjurus kepada kesyirikan, tapi ketulusan mereka inilah yang menghidupkan hatiku yang gersang. Tekadku kini satu, "Menjaga dan merawat anak-anakku! Menjaga agama mereka!"  Berbahagialah orang yang bisa hidup bersama dengan orang yang dicintainya dan mereka pun cinta padanya. Sumber : Majalah Qudwah edisi 34 | vl 03 | tahun 2015 | halaman 13

Read more
undefined profile icon
Write a reply

??? MEMBANTU TUGAS ISTRI DI RUMAH ADALAH SUNNAH ?? ? قــال العلامة محمـد ابن العثيمين رحمــہ اللــہ تعالــﮯ: ☜ الإنسان إذا ڪان فـﮯ بيتــہ فمن السنة أن يصنــ؏ الشاي مثلا لنفســہ ، ويطبخ إذا كان يعرف ، ويغسل ما يحتاج إلى غسلــہ ، ڪل هذا من السنة، ? Al 'Allaamah Muhammad Ibnul Utsaimin rahimahullahu ta'ala berkata, ? "Diantara perbuatan sunnah ketika seorang suami ada di rumahnya yaitu hendaknya ia membuat teh untuk dirinya sendiri misalkan, memasak apabila ia mengetahui caranya dan mencuci apa yang perlu untuk dicuci. Semua ini termasuk perbuatan sunnah. ? أنت إذا فعلت ذلك تثاب عليــہ ثواب سنة؛ اقتداء بالرسول - عليـہ الصلاة والسلام - وتواضعا للــہ - عز وجل- ؛ ولأن هذا يوجد المحبة بينك وبين أهلك ( زوجتك )، ? Engkau apabila melakukan hal tersebut, maka engkau akan diberi pahala orang yang mengerjakan sunnah karena: 1⃣ Mencontoh dan mengikuti Rasulullah ﷺ. 2⃣ Bertawadhu karena Allah 'azza wajalla. 3⃣ Hal itu akan menumbuhkan rasa cinta antara engkau dan istrimu. ? إذا شعر أهلك أنك تساعدهم فـﮯ مهنتهم أحبوك، وازدادت قيمتك عندهم ، فيڪون فـﮯ هذا مصلحة ڪبيرة. ?? شرح رياض الصالحين: 【 3 /529 】. ? Apabila istrimu merasa bahwasanya engkau telah membantu tugasnya, niscaya ia akan mencintaimu dan akan bertambah nilaimu di sisinya. ? Maka pada hal-hal yang seperti ini terdapat manfaat yang sangat besar." ========== ?? Syarh Riyadhus Shalihin: 3/529. ➠ http://t.me/benotaimin_benbaz ➖➖➖ ? WhatsApp Salafy Cirebon ⏯ Channel Telegram || https://t.me/salafy_cirebon ? Website Salafy Cirebon : www.salafycirebon.com ? Menyajikan artikel dan audio kajian ilmiah ◻◻◻◻◻◻◻◻◻◻

Read more
undefined profile icon
Write a reply