Kisah : Cintaku Hilang Satu
"Cintaku Hilang Satu" Aku menikah pada usia 17 tahun. Aku akhiri masa gadisku dengan menikah dengan seorang lelaki yang aku sukai. Cita-citaku untuk menjadi dokter dan prestasiku di sekolah tak ku hiraukan lagi. Semua itu antara lain karena ketidakmampuan orang tuaku untuk membiayai sekolah. Awal pernikahan adalah sesuatu yang baru. Mengenal lebih dekat tabiat teman hidupku yang jauh dari yang aku bayangkan. Juga keadaan ekonomi yang seolah-olah kebalikan dari yang sebelumnya. Hidup bersama orang tuaku, aku tak mengenal jajan kecuali 'es kucir' setelah selesai pelajaran olahraga. Kini suamiku memberikan gaji dari kerja bengkelnya untukku. Aku terkesiap setiap kali amplop gajinya kubuka. Namun demikian, itu semua tidak lantas membuatku semaunya belanja dan jajan. Bahkan aku tak berani sembarangan membelanjakannya demi mengingat betapa lelahnya ia bekerja di bengkel. Apalagi kalau kuingat suatu saat aku akan mempunyai anak-anak dan mempunyai kebutuhan yang banyak. Maka demikianlah, kami tetap hidup sederhana dengan mengontrak 1 kamar di kota metropolitan. Suamiku seorang yang pendiam dan tak suka bicara. Jika dirumah, suamiku melewati hari-harinya hanya dengan tidur. Terkadang terselip rasa kesepian dalam diriku. Tak ada perbincangan di antara kami, walau kadang kupancing-pancing. Suasana dingin dan kaku adalah warna dasar kehidupan kami. Bahkan ketika 7 bulan kemudian aku mengandung sampai melahirkan anak pertama, itu pun sepertinya bukan sesuatu yang menggembirakan baginya. Sesuatu yang kubayangkan akan mengubah suasana ternyata hanya angan-angan belaka. Namun demikian, walau kadang kesepian, masih saja terselip rasa cinta padanya. Dan senantiasa kutanamkan bahwa tidak ada tempat bagiku selain di sisinya. Hingga lahirlah anak kami yang ke-3. Saat itu, adik suamiku tinggal bersama kami. Tampaknya ia rajin mengikuti pengajian. Aku mulai tertarik dengan buku-buku dan kaset yang ia bawa. Ku ambil buku-buku, majalah, dan kaset-kaset dakwahnya. Dari pagi hingga sore kusetel dan kubaca-baca hingga ketika ia pulang kukembalikan lagi ke tempatnya semula. Mulailah aku mengenal dakwah ini. Ketika kubuka buku tentang hijab dan cadar serentak hatiku terbuka menerimanya. Segera saja aku memesan baju hijab dan cadar. Sejak itu aku semakin rajin membaca dan mendengar taklim melalui kaset. Itu semua mengisi waktuku sepanjang hari di samping mengurus rumah dan anak-anak tentunya. Suamiku tak menentang, diam saja. Hanya saja ia malu jika berjalan bersamaku di luar. Waktu terus berjalan, roda berputar. Krisis moneter terjadi di negeri ini, suamiku terancam PHK. Akhirnya kami memutuskan pulang kampung. Di samping juga putriku sudah memasuki usia sekolah, aku memikirkan masa depannya. Alhamdulillah, ternyata dekat tempat tinggal kami, di kampung mulai dirintis sebuah TKIP. Namun, tinggal di kampung ternyata membawa gejolak tersendiri untukku. Di kampung mau tak mau suami banyak berhubungan dengan ayah-ibunya yang sejak awal memang tidak suka denganku. Sejak awal mereka keberatan dengan pernikahan kami. Seolah-olah mereka merasa, saya telah merebut putra mereka. Di sinilah mulai timbul gesekan antara aku dan suamiku. Suamiku sering terbawa ayah dan ibunya, membenciku, merendahkanku. Mulai tampak sifat arogannya yang merendahkan seorang wanita. Ia mulai tidak mendengar keluhanku, tidak mau mendengar usulan-usulanku dalam mengatasi permasalahan rumah tangga, anak-anak, dan keseharian kehidupan kami. Perempuan diam!! Demikian jika kuusulkan tentang suatu permasalahan. Kalau tidak suka, pergi! Tinggalkan rumah ini! Begitu kasar sikapnya. Hari-hari ia lewati dengan tidur sambil menunggu waktu salat. Antar jemput anak pun ia tidak mau. Terkadang aku menangis, tapi ku coba untuk bersabar. Akan tetapi yang pasti, saat itu aku masih mencintainya. Ini yang meringankan bebanku. Namun waktu terus berlalu. Hari berganti hari. Anak demi anak terlahir dariku. Dengan segala kesusahan dan kepayahan aku rawat anak-anakku. Suamiku bukan tipe penyayang anak. Tak bisa dan tak biasa bercanda dengan anak-anak. Hingga 9 anak terlahir dariku tak tersentuh hatinya untuk membantu mengurus anak. Bahkan seperti tak tergerak hatinya meskipun ketika mendengar anaknya menangis atau sakit, sementara istrinya sedang sibuk dan kerepotan. Meskipun ketika suatu saat ada anak-anak yang sedang sakit berbarengan dalam satu malam, ia tak pernah ikut terjaga untuk sekedar melihat keadaannya. Seakan-akan ia tidak mendengar kabar bahwa anaknya sakit. Padahal kami satu rumah, satu atap. Kehidupan sehari-hari kami jalani dalam keadaan seolah-olah kami tidak saling mengenal. Jika kucoba untuk berdiam diri, 3 sampai 4 hari pun tidak ada percakapan diantara kami. Ia biasa tidur setelah Isya'. Sementara aku masih menyelesaikan pekerjaan dan mengurus anak-anak. Setelah mereka tidur semua, kugunakan waktuku untuk belajar, membaca buku, majalah, dan mencoba menghafal Al-Quran. Setelah larut malam, aku tertidur bersama anak-anak, sementara suami tidur di kamar lain. Pagi harinya, sambil mengantar anak sekolah, kusempatkan menghadiri majelis taklim di ma'had yang berjarak 4,5 km dari rumah. Waktu itu, dengan sepeda onthel, 2 anak di depan, 2 anak di belakang ku kayuh sepeda setiap hari. Ketika hamil pun, tetap aku yang mengantar anak-anak sekolah. Terkadang jika berpapasan dengan ikhwan yang berboncengan dengan istrinya, terbesit rasa cemburu di hatiku. Kembali berlalu, waktu demi waktu. Kuobati yang bergejolak di hatiku dengan membaca lembar demi lembar "sakinah", mendengarkan radio ahlussunnah atau menghafal dan memuroja'ah al-Qur'an. Kenikmatanku adalah saat duduk membaca, mencatat, atau menghafal. Namun demikian tak bisa kumungkiri sikap suamiku selalu saja menyisakan kegersangan di hatiku. Meskipun memang banyak anak tentu banyak tawa, canda, dan suara mereka yang kudengar. Namun, hatiku merasa kesepian. Keadaan ini sedikit demi sedikit mengikis rasa cintaku pada suami. Kini kudapati dalam hatiku, memandangnya bukan sesuatu yang menyenangkan. Berdekatan dengannya bukanlah sesuatu yang menyejukkanku. Tidur di sisinya adalah sebuah siksaan. Apalagi ketika suami mulai cemburu dengan kegiatanku. Mulai menggangguku jika aku sedang belajar, mencatat, membaca, atau menghafal. Ia mulai mencegahku dengan berbagai cara ketika aku tengah mencoba untuk belajar, membaca, atau menghafal. Terkadang setan membisiki hatiku. "Untuk apa engkau pertahankan ini semua? Bukankah ketika cinta itu telah pergi, tidak akan bisa tumbuh lagi? Suamimu tidak ridha engkau belajar dan menuntut ilmu!" Atau timbul dalam hatiku ucapan-ucapan seperti ini. "Ruh-ruh itu berkelompok-kelompok. Jika mereka saling mengenal akan saling mendekat dan jinak. Berarti ruhku tidak sekelompok dengan ruh suamiku. Buktinya kami seolah tidak saling mendekat. Bagaimana mungkin aku mencintai seorang pemalas, orang yang tidak peduli dengan keluarga? Orang yang kasar? Bagaimana aku bisa mencintai seseorang yang tidak suka jika aku membaca al-Quran? Bahkan ia sendiripun tidak pernah menyentuh Al-Quran selama lebih dari 22 tahun ini!?" Berbagai bisikan menggoda hatiku untuk mengajak meninggalkannya. Namun, aku menangis jika mengingat anak-anakku. Bagaimana nasib mereka jika aku tinggalkan? Bagaimana pendidikan mereka? Ayah mereka bukan orang yang peduli dengan keadaan mereka. Jika aku bawa anak-anakku pergi, sanggupkah aku menafkahi mereka? Ketika masih bersatu saja, ayah mereka tidak memerhatikan mereka, apalagi jika kami berpisah? Pernah kucoba untuk menanyakan persoalanku ini kepada beberapa orang yang lebih berilmu. Namun jawaban mereka berbeda-beda. Ketika ada salah seorang di antara mereka mencoba menasehati suamiku, betapa marahnya ia. Ia merasa aibnya diumbar kemana-mana. Saat itu aku hanya bisa meminta pertolongan Allah. Kurenungi semua perjalanan hidupku ini. Semuanya tentu sudah menjadi kehendak-Nya. Allah Maha Penyayang. Mungkin ini adalah ujian yang diberikan-Nya kepadaku. Aku merasa tidak tulus dengan ujian ini. Aku ternyata tidak bisa bersabar. Bisa jadi ini semua terjadi karena dosa-dosaku. Barangsiapa yang diuji Allah kemudian ridha maka Allah akan ridha. Dan barangsiapa yang marah, Allah pun demikian. Maka kurenungi ternyata aku bersedih, marah, berkeluh kesah, tidak sebagaimana orang yang ridha. Di sisi lain kurenungi pula betapa Allah menyayangiku, menjagaku, hingga walau dalam hati ini terkadang sedih, masih saja Allah jadikan aku mampu melahirkan 9 anakku, merawat mereka, mendidik mereka dan mengenalkan agama yang benar kepada mereka. Hingga saat ini, di antara mereka ada yang telah selesai menghafalkan Al-Quran serta berkeluarga dengan seseorang yang insyaAllah kokoh akidahnya. Dan lahir pula darinya cucuku. Trenyuh hatiku jika melihat anak-anakku. Di antara mereka bahkan ada yang sempat berujar, "Ummi, aku ingin memiliki iman dan hati seperti ummi. Aku ingin ummi hidup seratus tahun lagi. Aku tenteram disisi ummi. Aku tidak ingin ummi mati terlebih dulu dariku. Aku ingin aku saja yang lebih dulu mati." Meski ku tegur ucapannya itu karena bisa menjurus kepada kesyirikan, tapi ketulusan mereka inilah yang menghidupkan hatiku yang gersang. Tekadku kini satu, "Menjaga dan merawat anak-anakku! Menjaga agama mereka!" Berbahagialah orang yang bisa hidup bersama dengan orang yang dicintainya dan mereka pun cinta padanya. Sumber : Majalah Qudwah edisi 34 | vl 03 | tahun 2015 | halaman 13
Dreaming of becoming a parent