189 Tanggapan
By Redaksi KonsultasiSyariah.com - Jan 11, 2010 9395 Pertanyaan: Apakah ada dasar hukum selamatan kehamilan, seperti 3 bulanan atau 7 bulanan (bahasa Jawa: Mitoni). Pada acara tersebut juga disertai dengan pembacaan diba’. Terus terang sata belum pernah membaca riwayat tentang selamatan seperti di atas pada masa Rasulullah. Mohon penjelasannya. Cahyo.Prasongko@XXXX Jawaban: Selamatan kehamilan, seperti 3 bulanan atau 7 bulanan, tidak ada dalam ajaran Islam. Itu termasuk perkara baru dalam agama, dan semua perkara baru dalam agama adalah bid’ah, dan semua bid’ah merupakan kesesatan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ “Jauhilah semua perkara baru (dalam agama), karena semua perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah merupakan kesesatan.” (HR Abu Dawud, no. 4607; Tirmidzi, 2676; Ad Darimi; Ahmad; dan lainnya dari Al ‘Irbadh bin Sariyah) Kemudian, jika selamatan kehamilan tersebut disertai dengan keyakinan akan membawa keselamatan dan kebaikan, dan sebaliknya jika tidak dilakukan akan menyebabkan bencana atau keburukan, maka keyakinan seperti itu merupakan kemusyrikan. Karena sesungguhnya keselamatan dan bencana itu hanya di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. Allah berfirman: قُلْ أَتَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللهِ مَا لاَ يَمْلِكُ لَكُمْ ضَرًّا وَلاَ نَفْعًا واللهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَليِمُ “Katakanlah: “Mengapa kamu menyembah selain daripada Allah, sesuatu yang tidak dapat memberi mudharat kepadamu dan tidak (pula) memberi manfa’at?” Dan Allah-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. Al Maidah: 76) Demikian juga dengan pembacaan diba’ pada saat pereyaan tersebut, ataupun lainnya, tidak ada dasarnya dalam ajaran Islam. Karena pada di zaman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat, diba itu tidak ada. Diba’ yang dimaksudkan ialah Maulid Ad Daiba’ii, buku yang berisi kisah kelahiran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan pujian serta sanjungan kepada Beliau. Banyak pujian tersebut yang ghuluw (berlebihan, melewati batas). Misalnya seperti perkataan: فَجْرِيُّ الْجَبِيْنِ لَيْلِيُّ الذَّوَآئِبِ * اَلْفِيُّ الْأََنْفِ مِيْمِيُّ الْفَمِ نُوْنِيُّ الْحَاجِبِ * سَمْعُهُ يَسْمَعُ صَرِيْرَ الْقَلَمِ بَصَرُهُ إِليَ السَّبْعِ الطِّبَاقِ ثَاقِبٌ * Dahi Beliau (Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) seperti fajar, rambut depan Beliau seperti malam, hidung Beliau berbentuk (huruf) alif, mulut Beliau berbentuk (huruf) mim, alis Beliau berbentuk (huruf) nun, pendengaran Beliau mendengar suara qolam (pena yang menulis taqdir), pandangan Beliau menembus tujuh lapisan (langit atau bumi). (Lihat Majmu’atul Mawalid, hlm. 9, tanpa nama penerbit. Buku ini banyak dijual di toko buku-toko buku agama). Kalimat “pendengaran Beliau mendengar suara qolam (pena yang menulis taqdir)”, jika yang dimaksudkan pada saat mi’raj saja, memang benar, sebagaimana telah disebutkan di dalam hadits-hadits tentang mi’raj. Namun jika setiap saat, maka ini merupakan kalimat yang melewati batas. Padahal nampaknya, demikian inilah yang dimaksudkan, dengan dalil kalimat berikutnya, yaitu kalimat “pandangan Beliau menembus tujuh lapisan (langit atau bumi)”. Dan kalimat kedua ini juga pujian ghuluw (melewati batas). Karena sesungguhnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui perkara ghaib. Yang mengetahui perkara ghaib hanyalah Allah Azza wa Jalla. Allah berfirman: قُل لاَّ يَعْلَمُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ الْغَيْبَ إِلاَّ اللهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ “Katakanlah: “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan.” (Qs. An Naml: 65) ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pernah menerima tuduhan keji pada peristiwa “haditsul ifk”. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui kebenaran tuduhan tersebut, sampai kemudian turun pemberitaan dari Allah dalam surat An Nuur yang membersihkan ‘Aisyah dari tuduhan keji tersebut. Dan buku Maulid Ad Daiba’ii berisi hadits tentang Nur (cahaya) Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang termasuk hadits palsu. Dalam peristiwa Bai’atur Ridhwan, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui hakikat berita kematian Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu, sehingga terjadilah Bai’atur Ridhwan. Namun ternyata, waktu itu Utsman radhiyallahu ‘anhu masih hidup. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan Rasul-Nya untuk mengumumkan: قُل لآأَقُولُ لَكُمْ عِندِى خَزَآئِنُ اللهِ وَلآأَعْلَمُ الْغَيْبَ “Katakanlah: “Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib.” (Qs. Al An’am: 50) Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, bagaimana mungkin seseorang boleh mengatakan “pandangan Beliau menembus tujuh lapisan (langit atau bumi)”? Semoga jawaban ini cukup bagi kita. Kesimpulan yang dapat kita ambil, bahwa selamatan kehamilan dan pembacaan diba’ termasuk perbuatan maksiat, karena termasuk bid’ah. Read more https://konsultasisyariah.com/1222-apa-hukum-mitoni-selamatan-kehamilan.html
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallama bersabda: Artinya: “Sesungguhnya setiap orang di antara kalian dikumpulkan penciptaannya di dalam perut ibunya selama empat puluh hari (berupa sperma), kemudian menjadi segumpal darah dalam waktu empat puluh hari pula, kemudian menjadi segumpal daging dalam waktu empat puluh hari juga. Kemudian diutuslah seorang malaikat meniupkan ruh ke dalamnya dan diperintahkan untuk menuliskan empat hal; rejekinya, ajalnya, amalnya, dan apakah dia menjadi orang yang celaka atau bahagia.” (HR Muslim) Dari hadits di atas dapat dipahami bahwa di antara proses penciptaan manusia ketika masih di dalam kandungan ibunya adalah bahwa pada mulanya ia berupa sperma (nuthfah) yang berproses selama empat puluh hari lamanya, kemudian menjadi segumpal darah (‘alaqah) yang juga berproses selama empat puluh hari lamanya, kemudian menjadi segumpal daging (mudlghah) yang juga berproses selama empat puluh hari lamanya menjadi satu janin dengan bagian-bagian tubuh yang lengkap sebagaimana layaknya rupa seorang manusia. Dari sini dapat dilihat bahwa proses terbentuknya satu janin di dalam rahim seorang ibu hingga sempurna membutuhkan waktu selama tiga kali empat puluh hari yang itu berarti sama dengan seratus dua puluh hari dan dalam hitungan bulan sama dengan empat bulan lamanya. Menurut hadits di atas setelah kurun waktu empat bulan itu barulah Allah memerintahkan satu malaikat untuk melakukan dua hal, pertama meniupkan ruh ke dalam janin tersebut. Dengan ditiupnya ruh maka janin yang pada mulanya hanya seonggok daging kini menjadi hidup, bernyawa. Ia tak lagi hanya sekedar makhluk mati tak ubahnya sebuah tembikar yang terbuat dari tanah liat, tapi kini ia telah menjadi makhluk hidup. Kedua, malaikat tersebut diperintah untuk mencatat empat perkara yang berkaitan dengan rejeki, ajal, amal, dan bahagia atau celakanya si janin ketika ia hidup dan mengakhiri hidupnya di dunia kelak. Pada tahapan ini, berdasarkan hadits di atas, para ulama kita mengajari untuk memanjatkan doa kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala agar janin yang ada di kandungan diberi ruh yang baik dan juga rupa tubuh yang sempurna tak kurang suatu apa sebagaimana layaknya tubuh seorang manusia normal pada umumnya. Juga memohon kepada Allah agar sang janin diberi takdir-takdir yang baik pula. Untuk memanjatkan permohonan-permohonan baik bagi sang janin itu para ulama negeri ini juga menganjurkan untuk meminta bantuan para tetangga dan sanak saudara untuk ikut serta mendoakannya. Maka diundanglah mereka ke rumah pada waktu yang ditentukan guna bersama-sama berdoa kepada Allah.
Tentang tradisi 7 bulanan kehamilan / tingkepan Syaikh Ismail Zain menjelaskan, " Bahwa tradisi tersebut (7 bulanan) tidak termasuk walimah yang disyariatkan, namun boleh dikerjakan selama acaranya tidak bertentangan dengan syari'at (Qurratul ain bi fatawi asy-syaik ismail az-zain/182). Secara khusus tidak ditemukan dasar khusus dalam syariat,hanya saja dalam fikih dijelaskan apabila dalam kegiatan tersebut tidak ada hal hal yang dilarang agama bahkan merupakan hal-hal baik seperti sadhaqah, qiraatul quran,dan shalawat serta tidak diyakini bahwa penentuan waktu (7 bulan, 3 bulan dll) adalah sunnah maka walimatul hamli seperti ini diperbolehkan. [ Qurratul 'ain fatwa ismael zain 158 ].
Saya gak tasyakuran.aslinya mah gak ada aturan 4 bulan atau 7 bulan. Itu cuma tradisi. Saya + suami pas 8 bulan cuma undang anak2x yatim beberapa orang. Bagi2x rezeki/sedekah plus sekalian minta bantu doa demi kelancaran kehamilan sampai melahirkan. Tapi gak ngadain yg kayak pengajian ibu2x yg pake prosesi2x gitu dah.. Saya yakin karena saya juga sudah denger kajian Ustad Abdul Shomad dan Buya Yahya yg basicnya NU.
sbnernya dlakukan 1x aja pas 4 bln gpp bun .. itu kan itungannya doain pas ruhnya dtiup . klo 7 blanan setau saya adat bun .. tpi intinya sama2 mendoakan kandungan dan ibunya .. hanya saja dbarengi dengan ritual2 adat sperti mndi kembang, pecah kelapa dll .. kalo sy pribadi rncana 7 bln ttp ada tp ga ada acara adatnya.. cm skedar doa aja .. kalo bunda mau jalani slah satu jg ga ada slahnya kok ..
Sebenarnya kalo 4bulanan ada haditsnya bahkan saat Siti hawa mengandung nabi Adam as, mengadakan tasyakur dgn pesta tumbuhan. . krna ditiupkan ny ruh ke dlm raga manusia.. itu yg saya dengar dari guru ngaji saya dulu.. klo 7bulanan budaya umat Hindu yg membudaya d Nene moyang kita.. klo saya lbh baik d Simpn buat persiapan bersalin...
usia 120 hari Allah meniupkan roh kpd janin kita bun jd lebih utama sykuran 4bulanan. terus knp kok ada syukuran 7bulanan (mitoni), krn ada kasus bayi lahir dlm usia 7bln bun jd kita berdoa agar ibu dan bayi selamat dan sehat. kmrn 7 blnan sy beli naskot trs sy bagikan ke tetangga dan mnt doa agar lahiran nanti lancar.
Tdk wajib atau sunnah ko bunda, tp jika ada klebihan rizki ga ada salahnya ko tasyakuran sebagai bentuk rasa Syukur kita kpd sang pemberi anugerah dn kenikmatan Allah swt.. ☺.. Karena do'a yg terbaik adalah do'a kita langsung kpd Rabb kita, smg diberikan kelancaran ya bunda sgala sesuatunya.. Aamiin...
Aku nanti pertengahan juni Insya Allah tasyakuran 4 bulanan bun.. ga pake 7 bulanan.. karena 4 bulan yg paling penting bun.. ruh udah ditiupkan ke janin kita, klo 7 bulanan itu lebih ke adat sih menurutku bun.. tanya sm temen2 yg ustadz dan ustadzah jg mereka nyaranin dan emg pakenya yg 4 bulan bun..
Saya mau 4 bulan dan 7 bulan pun engga bun, karna memang ga wajib, ga ada dalil maupun hadistnya Ga perlu adain acara, yg penting berdoa setiap hari, ga perlu dikhususkan harinya Lebih baik uangnya disimpan untuk acara aqiqahan yg memang sudah jelas hukumnya, ada dalil beserta hadistnya
Saya cuma 4 bulanan bun, nanti 7 bulanan gak pake. Yg penting doanya bun. Kalo nurutin adat, lebih baik perhatikan juga kondisi keuangan, kalo berlebih mungkin bagus perbanyak syukuran, tapi kalo gk berlebih mending gak usah, buat persiapan lahiran bayi aja sih kalo menururku.
Silviana