Privacy PolicyCommunity GuidelinesSitemap HTML
Download our free app
—
Sunblock Balita
Yuhuuu.. apakah buibu rutin menggunakan sunblock untuk anak? Kalau boleh coba share pakai merk apa dan kenapa. Rencananya anak akan rutin ikut kelas berenang setiap weekend dan baru kepikiran soal penggunaan sunblock. Padahal harusnya ga hanya saat berenang ya 😅 aku siwer nih cari yg oke di google dan ternyata banyak yaa pilihannya. Ada yg SPF rendah untuk daily, ada yg SPF tinggi untuk outdoor misal ke pantai. Ada yg jenisnya chemical, ada yg physical. Ada yg bahannya tahan air dan keringat, ada yg lembut untuk kulit sensitif. Kebetulan anak aku kulitnya sensitif sekali dan punya eksim jadi takut salah pilih. Dari review yg dibaca banyak yg bilang Mustela bagus untuk kulit sensitif. Tapi penasaran juga dengan merk yg lain seperti Naif, Sebamed, Buds, Aveeno, sampai yg pasaran macem Beach Hut dan Banana Boat 😂
Working Mama
Hi all working mamas out there.. apakah sejak WFH merasakan perubahan terhadap diri sendiri? Aku merasa sejak WFH batinku semakin ga sehat. Jadi mudah anxious dan rasanya ga nyaman di rumah. Mungkin karena yg tadinya ada pemisah antara menjadi pekerja dan menjadi ibu, sejak WFH rasanya pemisah itu hilang. Rumah jadi ga nyaman.. yg harusnya jadi tempat istirahat tapi krn kerja juga di rumah malah jadi terasa stressful. Sulit fokus kerja karena mudah terdistraksi oleh anak. Saat rumah sudah sepi, semua sudah tidur, aku malah mikirin kerjaan bukannya ikut tidur. Tapi ku lihat banyak juga yg justru enjoy saat WFH. How do you all do that? Aku kagum. Aku juga ingin seperti itu. Ingin bisa membagi pikiran dengan tegas kapan kerja dan kapan istirahat. Ingin bisa punya skill juggling between the tasks tanpa stress. Jujur kalau lagi kerja tiba-tiba anak manggil mamanya rasanya sebel, tapi aku juga tau anak belum mengerti mamanya sedang sibuk. Yg dia tau mamanya ada di rumah nemenin dia. Bahkan suami sampai geregetan karena setiap malam aku ga langsung tidur. Aku ga bisa langsung tidur nyenyak, pasti kepikiran kerjaan dan akhirnya jadi cemas. Rasanya ingin selesaikan semuanya. But i know the urge is not healthy. Kerjaan ga akan ada habisnya kan. Aku sampai di tahap cemas kalau ada email atau chat yg masuk, ga mau buka Whatsapp, baca chat dari notification saja sudah langsung cemas. Padahal isinya biasa aja dan puji Tuhan punya kolega dan management yg ga demanding. Problemnya ada di aku dan aku ga tau bagaimana solusinya.
Disiplin Anak
Helooo mak, bun, ibuk sekalian.. boleh sharing ga cara kalian mendisiplinkan anak pakai metode apa? Saya lagi di fase gemes kesel sama anak 😂 setelah fase tantruman berhasil diatasi, sekarang dia masuk ke fase kabur dari tanggung jawab. Usianya baru 2 tahun tapi udah jago cari celah. Akhir-akhir ini dia sering banting barang kalau lagi sebel atau simply kalau lagi iseng aja. Misal habis minum, selesainya dia lempar, padahal dia udah tau kalau selesai minum itu ditaro ke meja. Kebetulan dia juga udah ngerti kalau habis berbuat salah harus say sorry. Ini tumben sekarang ga mau say sorry. Kalau ditegur dia akan: - bertingkah manis “hai mamaaa, i love you mamaaa” - peluk mamanya dengan harapan mamanya luluh - pura-pura tidur - pura-pura ga denger - pura-pura nelpon (iya dia nempelin tangannya sendiri ke kuping terus hola halo ngomong sendiri sok sibuk 😂) Akhirnya aku coba terapkan time-out. 10 menit diam di pojok kamar. Aku kira dia akan nangis atau panik dan ngerti itu bentuk punishment, eh engga dong dia malah nyanyi-nyanyi sendiri. Mama semakin kesaaal 😭😂 tapi kalau aku masuk ke kamar dia akan berhenti nyanyi dan nunduk takut. Satu sisi saya seneng krn ini artinya kemampuan kognitif dia jalan dengan baik; bisa ngadalin mamanya kan pinter artinya hahaha tapi di sisi lain jengkel jugaaa bingung harus kasih punishment apa yg sekiranya ampuh di dia.
Informasi Psikolog/ Psikiater di Jakarta
Hai moms! Adakah referensi psikolog dan atau psikiater yg praktik di Jakarta? Kalau boleh beserta info spesialisasi dan tarifnya juga. I think i need to see one 🙂 Thank you! Ps: konsultasi via chat aplikasi seperti Halodoc kurang efektif
Kulit Sensitif atau Autoimun?
Saya kurang tau apakah kulit anak saya ini hanya sekedar sensitif atau merupakan penyakit autoimun seperti dermatitis atopik dan psoriasis. Belum periksa ke dokter krn kondisi pandemi. Mungkin ada yg memiliki pengalaman sama dan bisa bantu menjawab.. Sekitar 1 tahun yg lalu timbul bercak merah polkadot di betis anak saya. Awalnya hanya bercak merah lalu beberapa hari kemudian menjadi kasar dan setelah 1 minggu kulit yg kasar tersebut akan menjadi luka. Lukanya bukan luka terbuka, hanya seperti luka gores/baret. Sepertinya tidak gatal karena anak tidak ada keinginan untuk menggaruk area tersebut. Tidak perih juga kalau terkena air. Jika lukanya sudah kering maka perlahan akan hilang sendiri lalu kulit kembali mulus. Masalahnya, beberapa minggu kemudian akan muncul lagi ruam yg sama dgn pola yg sama di lokasi yg sama. Sudah berjalan 1 tahun dan skrg ruam tersebut muncul juga di pangkal paha luar, di kaki kanan dan kiri. Lokasinya sama persis jadi kalau sedang berdiri akan terlihat di kaki kanan dan kiri anak ada ruam luka dgn posisi yg sama yaitu di betis dan paha. Awalnya saya pikir krn alergi protein telur dan ikan. Setelah dihentikan konsumsinya ternyata masih timbul ruam tsb. Agak bingung kenapa posisinya di kaki kanan dan kiri bisa sejajar. Saya sudah ganti toiletries nya pakai yg melembabkan. Sudah coba Cetaphil Baby semua varian dan Cussons Sensicare, sejauh ini Cussons Sensicare yg paling manjur. Kalau ruamnya mulai muncul langsung saya oles pakai soothing cream Sensicare kemudian ruamnya reda dan kulitnya ga jadi kasar. Tapi ya ga menyelesaikan masalah karena nantinya pasti muncul ruam lagi. Apakah ada yg punya pengalaman serupa? Ps: bekas luka jadi hitam krn ruam selalu muncul di tempat yg sama.
Menyesal tidak Aborsi
Ada apa dengan aborsi? Ini adalah salah satu keputusan di hidup saya yg mengubah segalanya. ——— - Kata orang: kok usia udah mau kepala 3 belum nikah, kan udah mapan, udah lama pacaran. Nanti dikira zinah lho. Kata saya: saya belum siap dan belum mau berkomitmen. Saya merasa dia bukan orang yg tepat untuk dijadikan suami. Akhirnya menikah karena lelah mendengar orang tua yg mengeluh kupingnya panas diomongin seperti itu oleh lingkungan. - Kata orang: kok belum hamil? Ga subur ya krn udah tua? KB itu harus seijin suami lho. Ga boleh menolak ajakan hb loh dosa! Kata saya: punya anak bukan tujuan hidup saya. Tubuh saya adalah otoritas saya. Faktanya? Suami ga mau KB. Saya kebobolan. Hamil. Melahirkan. Lalu mengalami postpartum depression. - Kata orang: jadi ibu harus sabar, banyak yg pengen punya anak lho! Kata saya: menjadi ibu bukan mau saya. Saya maunya aborsi saat itu. Lalu sekarang saya menjalani kehidupan yg bukan maunya saya, saya juga yg salah kalau akhirnya depresi? Wow. Kalau orang ga suka ikan asin lalu dipaksa makan ikan asin setiap hari, gimana rasanya? Muak. Marah. Merasa dipaksa. Itulah yg saya alami sejak menikah - hamil - melahirkan - sampai sekarang. - Kata orang: jadi istri harus bisa tampil cantik, jangan ngedumel sama suami supaya suami betah di rumah dan ga lari ke perempuan lain. Kata saya: genit itu sifat suami dan bukan kewajiban saya untuk menjaga kesetiaan dia supaya ga lari ke perempuan lain. Setia itu usaha dari diri sendiri! Semua IRT paham bagaimana lelahnya mengurus rumah dan anak sampai lupa mengurus diri sendiri. Ditambah dengan fakta bahwa saya sebenarnya tidak bisa menerima sepenuhnya sifat suami (makanya dari awal ga mau menikah) dan akhirnya jadi stress sendiri. Lalu saya juga yg salah kalau saya tidak bahagia di rumah? - Kata orang: jangan cerai! Apa ga kasian dengan anakmu? Kata saya: apa ga kasian sama saya yg menjalani kisah hidup semuanya serba terpaksa? Dari awal menikah bukan hal yg saya mau, punya anak bukan hal yg saya mau, punya suami sifatnya seperti itu bukan hal yg saya mau. Sekarang saya terjebak di kehidupan yg bukan sesuai kemauan saya. Mau pisah menjadi berat karena ada anak yg butuh kedua orang tuanya. Suami saya ayah yg sangat baik, tapi merupakan suami yg buruk. Saya rasa anak saya berhak mendapatkan ibu yg bahagia dan memiliki jiwa yg utuh dan sehat. Tapi hal tsb gabisa anak saya dapatkan krn batin saya ga sehat menjalani pernikahan ini. Kalau saya mengajukan cerai lagi-lagi beban “kata orang” akan dilemparkan kepada saya. Saya akan dicap sebagai ibu yg egois. Seringkali berpikir andaikan dulu aborsi mungkin hidup saya ga seberat ini dijalani. Mungkin saya masih punya kesempatan untuk mencari pasangan hidup yg satu irama dengan saya. Tapi kan kalau saya aborsi saya akan dicap sebagai manusia egois juga ya. Tanpa mereka peduli bahwa kehamilan ini tidak saya kehendaki. Sebenarnya yg egois itu siapa sih? Saya atau orang-orang yg ringan mulut mengomentari keputusan di hidup saya? Jangan salah paham. Saya sayang anak saya. Sayang sekali. Makanya berat untuk cerai. Berat membayangkan anak berpisah dengan ayahnya. ——— Saya yakin banyak perempuan di luar sana yg mengalami kegundahan serupa bahkan lebih berat. Jadi perempuan di Indonesia itu sulit. Banyak tuntutan dari lingkungan dan kalau tidak dipenuhi akan dicap buruk. Beban di pundak perempuan Indonesia banyak. keputusan menikah, urusan kb dan hamil, urusan bekerja/IRT, keputusan punya anak atau tidak, pola asuh, melek finansial, fisik, skill di dapur, skill di kasur, dan masih banyak lagi. Ingin rasanya saya teriak dan bilang: Yg menikah saya, yg kb saya, yg hamil saya, yg keluar biaya saya, yg capek lahir batin saya, yg dosa juga saya. Yang jalanin semuanya itu SAYA. Kalian ga kena dampak apapun. Jadi kenapa kalian semua yg berisik?? Wahai perempuan-perempuan yg menyempatkan diri untuk membaca thread saya ini.. Terima kasih. Dan semoga kita bisa menjaga tutur kata dan tidak menghakimi keputusan hidup orang lain. Jangan membebani orang lain dengan kalimat ga enak dari kita. Jangan ada Bu Tejo di antara kita.