Tetangga Tapi Menikah-Ujian tahun pertama

Tetangga tapi menikah menjadi salah satu dari sekian banyak cerita tentang pernikahan yang tak pernah terpikir bahwa aku mengalaminya tepat tanggal 11 Januari 2018. Jarak rumahku dengan suami hanya 120 langkah. Rumah kami hanya berjarak 2 rumah dan perempatan saja. Gambaran jelasnya rumahku no.2 dari perempatan (selatan jalan) sedangkan rumah suami no. 2 dari perempatan (utara jalan).Kalau kangen pas sebelum menikah kami tinggal kedepan rumah saja. Jodoh memang tak pernah dapat disangka kehadirannya. Aku dan suami sekolah di SD yang sama, di TPA(taman pendidikan alquran) yang sama tapi kami tak pernah terlibat di situasi yang sama, bahkan kami tak pernah menyadari kalau ternyata kami di TPA yang sama. Saat SD suamiku menjadi orang yang aku kagumi, rasanya senang saat bisa memandangnya dari kejauhan. Saat suami sekolah di SMP dan SMA, aku tak pernah melihat sosok suamiku sekalipun. Hingga kami dipertemukan di stasiun saat suamiku berangkat kuliah ke Malang dan aku kembali ke asrama(aku mengambil peogram beasiswa saat SMA yang mewajibkan penerimanya untuk tinggal di asrama). Suamiku kuliah di Universitas Brawijaya(UB) dan aku pun sempat tinggal di asrama universitas tersebut karena asrama yang seharusnya aku tinggali belum jadi. Namun, sekali lagi tak pernah sekalipun aku bertemu dengan suamiku saat kami sama-sama di UB. Saat itu sesekali kami bersapa di pesan facebook. Tahun 2012 aku lulus dari SMA tersebut dan tepat setelah itu aku kehilangan ayah tercinta. Ekonomi keluarga tentu goyah dan hal itu membuatku memutuskan untuk mengambil program student loan untuk biaya kuliah. Tentunya terhitung sebagai hutang setelah lulus. Saat itu aku optimis bisa mendapat pekerjaan setelah lulus kuliah, tapi nyatanya 2 tahun pencarian tidak mendapatkan hasil. Pada tahun 2013 suamiku menyatakan cintanya dan tentu aku terima. Selama hampir 5 tahun kami menjalani LDR, aku di Yogyakarta, suamiku di Malang dan berlanjut di Surabaya. Pada akhir tahun 2017 suamiku datang menemui ibuku untuk meminta ijin menikahiku tapi saat itu ibuku tidak memberikan jawaban pasti ya atau tidak. Ibuku masih berpikir tentang student loan yang harus kubayarkan. Aku mencoba meyakinkan ibuku, akhirnya ibuku menyerahkan keputusan itu padaku tapi tentu dengan penuh keraguan. Hingga berganti tahun permintaan ijin menikah dari suamiku tak mendapat respon langsung dari ibuku, hingga akhirnya pada 6 Januari 2018, kakekku memutuskan tanggal pernikahan di tanggal 11 Januari, bersamaan dengan tanggal dimana suamiku memulai usaha pembuatan sapu rayung. Kurang dari seminggu kami mengurus persiapan nikah sampai-sampai kai harus mencari surat rekomendasi dari camat karena kami mendaftar nikah di NYA kurang dari seminggu tentu dengan alasan memilih hari baik(seperti kata orang tua di tanah Jawa yang menjudge ada tanggal baik dan tidak). Pernikahan kami langsungkan secara sederhana di masjid dekat KUA tanpa acara resepsi ataupun pesta. Saat itu aku dan suami benar-benar memulai kehidupan pernikahan dari 0. Aku tinggal di rumah mertua dan hanya berbekal baju dan sisa uang di dompet 50ribu. Siang setelah akad aku dan suami langsung memulai usaha pembuatan sapu rayung. Hari-hari kami lalui bersama seperti biasa. Hingga akhirnya aku mendapatkan email tagihan loan yang aku pinjam untuk kuliah. Saat itu aku bingung bagaima bisa aku membayarnya. Hingga akhirnya suamiku menenangkanku denang solusi kami bayar sedikit demi sedikit. Saat itu aku merasa bersalah telah menambah satu beban berat tanggungan yang seharusnya menjadi kewajibanku. Namun, suamiku tak pernah berhenti menengkanku kalau pasti ada jalan untuk segala masalah yang kita hadapi. Akupun memulai usaha pembuatan rajutan di sela-sela menjalankan pembuatan rayung. Alhamdulillah belum genap setahun menikah aku hamil. Namun di usia kandungan 9 bulan, aku mendapatkan SP dari pemberi pinjaman(student loan) karena jumlah yang kubayarkan masih sangat sedikit. Panik dan hanya bisa menangis. Saat itu tabungan kami menipis dan tentu harus tetap membayar tagihan. Saat hari kelahiran anak pertama kami, tabungan yang kami punya tidak cukuo untuk membayar biaya persalinan. Suamiku berpikir keras untuk mendapatkan tambahan biaya hingga akhirnya kami jual hp untuk membayar biaya persalinan. Saat itu rasa bersalah dan penyesalan akan student loan membayangiku. Hanya bisa berandai-andai semisal aku tak ambil student loan mungkin ini tidak akan terjadi. Saat suamiku berangakat untuk menemui calon pembeli hp, aku cuma bisa menangis di kamar sambil memandangi anak kami. Begitu besarnya pengorbanan suamiku untukku dan anak kami. Kami hanya bisa berdoa semoga ada jalan terang untuk segala apa yang kami hadapi. Aku pun berharap semoga kami tetap kuat menjalani berbagai ujian dan bisa melaluinya. I Love you suamiku ;-) #ceritapernikahan

3 Tanggapan
 profile icon
Tulis tanggapan

amin...semangat bun .Insyaallha habis gelap terbitlah terang...

wah keren bun, langgeng terus yaaa

Langgeng ya Bun