tanpa foto
Setelah resepsi pernikahan di rumah suami, masih ada beberapa undangan yang datang. Begitulah adat di desanya. Mungkin agar lebih dekat dan bisa sembari ngobrol dengan pengantin maupun keluarga. Tertawa bahagia, salah satu tamu bertanya pertanyaan umum yang ternyata jawabannya terdengar kurang umum. "Pertama kali ketemu di mana?" Setiap pasangan biasanya mengenang tempat pertama mereka dipertemukan. Ada yang di kampus, tempat kerja, cafe, perpustakaan, atau tempat unik lainnya. Mereka tak menyangka dan memasang raut wajah bingung atas jawaban riangku. "Di rumah saya :)" Dan yang lebih tidak lumrah bagi mereka, ketika pertanyaan umum dilanjutkan. Tamu: "Oh teman satu kampus?" Aku: "Bukan, beda kota juga." Tamu: "Satu kerjaan? Atau satu sekolah dulunya?" Aku: "Bukan..." Tiba-tiba suasana menjadi agak canggung. Siapa yang tidak bingung? Seperti orang tidak kenal tapi bisa pertama kali bertemu di rumahku. Kami juga bukan tetangga. Orang tua kami pun tertawa memecah suasana, kemudian melanjutkan topik lain. Rasa penasaran mereka mungkin tidak terjawab. Tapi di sini apakah teman-teman juga penasaran bagaimana bisa pertemuan pertama kami di rumahku? Ataukah sudah ada yang bisa menebak? Iya benar, itu karena pertemuan pertama kali adalah ketika kami melaksanakan nadzor. Serangkaian urutan dalam berta'aruf. Setelah saling melihat biodata dan ada kecocokan lalu dilanjutkan dengan tanya jawab melalui perantara di chat. Mungkin kata ta'aruf sudah cukup familiar di telinga kita jaman sekarang. Hanya saja, belum semua ta'aruf sesuai dengan aturan Allah yang sebenarnya. Ada juga yang niatnya masih belum lurus. Misal karena susah dapat jodoh, ta'aruf jadi pelarian. Padahal ta'aruf juga tidak semudah itu. Banyak cerita ta'aruf yang belum berhasil. Begitu pula yang terjadi padaku. Saat itu aku baru saja gagal ta'aruf, lalu aku putuskan untuk pindah ke tempat yang waktu kerjanya lebih banyak. Pikirku, jika memang belum dapat jodoh, aku akan menyibukkan diri di kebaikan agar tidak terjerumus ke keburukan. Sekalian juga memaksimalkan berbakti pada orang tua di masa single. Biidznillah (dengan izin Allah) aku diterima di dua tempat kerja yang ku lamar. Aku memilih satu diantaranya dan melaksanakan training yang hanya sehari karena memang sangat dibutuhkan apoteker di PBF (Pabrik Besar Farmasi) itu. Kepala cabangnya pun sudah menyuruhku menyiapkan dokumen-dokumen untuk tanda tangan kontrak kerja besok. Pulang sore, baru aku bisa membuka chat di handphone. Aku mendapat tawaran cv ta'aruf dari teman perempuanku. Setelah melihatnya, aku merasa dia yang selama ini ku cari. Tapi dia menyebut kriteria akhwat lebih diutamakan yang tidak bekerja. Aku mengerti bahwa fitrah wanita memang di rumah. Bagaimana ini? Saat itu aku benar-benar kalut membuat keputusan karena besok seharusnya aku tanda tangan kontrak kerja. Bukan main-main. Untuk apoteker tidak semudah itu resign kerja kalau misal sudah tanda tangan kontrak. Dan kalau misal tidak jadi tanda tangan pun, aku mau bilang apa pada tempat kerjaku? Baru saja cv ta'aruf datang, bahkan dia belum mendapat balasan cv ku. Haruskah aku tidak jadi mengambil kontrak kerja, demi ta'aruf yang masih tahap awal dan sangat belum pasti berlanjut? Aku ini juga tidak rajin ikut kajian. Hanya berusaha semampuku untuk berhijrah. Begitulah Allah yang maha baik, membalas hamba-hamba-Nya. Usaha sedikit, bisa dibalas dengan jauh lebih indah. Rezeki itu bukan hanya soal uang. Jodoh pun merupakan rezeki. Setelah aku tidak jadi tanda tangan kontrak, aku menganggur beberapa bulan. Alhamdulillah ta'aruf itu berlanjut cukup lancar. Sekitar tiga bulan berikutnya, akupun sampai di tahap akad dengan suamiku. Aku juga masih ingat dulu waktu masih jomblo, ada yang pernah bilang, "Ais cari jodoh, tapi foto profil wa aja gak ada. Medsos fb, ig, juga gak punya. Gimana bisa dapet." Dialah suamiku, yang bisa menjawab pertanyaan ini. Karena kami sama-sama tidak mengumbar atau upload foto diri bahkan meski sebagian kaki dan tangan. #MyLoveStoryTAP