Apa kultur di Indonesia yang ingin kamu kritisi?
Sebenernya saya tidak mau bertanya disini tapi ingin membagikan jawaban yang sangat briliant untuk semua perempuan Dijawab oleh Amri Mirfaqo, A self-proclaimed Secular-humanist Saya barusan menonton sebuah film dokumenter yang berjudul Leftover Women tentang fenomena perempuan-perempuan yang (dianggap) telat menikah di Cina. Para perempuan ini dipanggil dengan sebutan, "leftover women" atau Sheng nu 剩女 alias perempuan sisa.[1] Nilai mereka dianggap sudah turun karena mereka telat/belum menikah di usia yang sudah sangat matang. Mereka adalah perempuan yang berpendidikan tinggi dan memiliki karir yang mapan. Adegan pembukanya sangat menarik. Seorang perempuan yang berkarir sebagai pengacara, bertemu dengan agen perjodohan yang diharapkan dapat mencarikannya pasangan yang sesuai. Dialog antara keduanya, adalah gambaran yang jelas bagaimana dinamika hubungan laki-laki dan perempuan di dalam masyarakat Cina dan bagaimana perempuan berpendidikan melihat prospeknya untuk mendapatkan jodoh. Ini dialog mereka, Agen: Jadi, kira-kira, laki-laki seperti apa yang anda inginkan? Klien: (sambil tertawa)...saya punya standar tinggi. Contohnya, dia harus berpendidikan dan yang terpenting dia menghormati perempuan. Selain itu, dia juga harus bersedia berbagi tugas rumah tangga dengan saya. (Sisa dialog, si klien habis-habisan dihina dan direndahkan oleh si agen yang juga perempuan; dia dibilang jelek, halu, galak, dll).[2] Apa yang dikatakan sang klien dan respon si agen menggambarkan bagaimana pria di Cina memperlakukan perempuan. Bagaimana? Secara buruk! Kenapa saya bilang buruk? Karena hal-hal yang sebenarnya sangat standar/basic dan semestinya dimiliki oleh laki-laki secara umum (berpendidikan, menghormati perempuan, bersedia berbagi pekerjaan rumah tangga), dianggap sebagai sesuatu yang "istimewa". Artinya, ketika seorang perempuan menginginkan itu, dia (oleh masyarakat) dianggap memiliki standar terlalu tinggi bukan standar normal. Laki-laki berpendidikan, yang menghormati perempuan, dan bersedia berbagi pekerjaan rumah tangga, dilihat sebagai sesuatu yang "langka", yang susah didapat, sehingga ketika seorang perempuan menginginkan hal ini dari calon pasangannya, dia secara tidak sadar mengakui bahwa "standarnya tinggi".[3] Familiar with this? Kalau kalian perempuan warga negara berflower +62 dan usia kalian sudah di atas 25 tahun tapi belum menikah, saya yakin, kalian pasti sudah pernah mendengar hal ini diucapkan orang lain pada kalian, Jangan terlalu pilih-pilih. Standarmu mungkin ketinggian. Sudahlah, kalau nunggu yang ideal, nanti kamu nggak nikah-nikah! Padahal, mungkin yang kalian inginkan tidak jauh berbeda dengan yang diinginkan oleh perempuan Cina di atas, laki-laki yang memperlakukan kalian selayaknya manusia, yang bersedia berbagi tugas rumah tangga dengan kalian. Tapi, apa yang akan dikatakan oleh orang-orang di sekitar? Standarmu ketinggiaaan.... Wow! Itu artinya, memperlakukan istri dengan buruk, tidak menghormati istri, tidak bersedia berbagi tugas rumah tangga dengan istri, adalah sesuatu yang dianggap wajar di dalam masyarakat Indonesia. Ini standar yang normal! Standarmu yang nggak normal.[4] Standar "kelayakan" yang dituntut dari laki-laki Indonesia sangatlah rendah, sehingga ketika ada suami yang mau mencuci piring bekas makannya sendiri, mengasuh anaknya sendiri, si istri dengan berbunga akan bilang, "saya beruntung sekali dapat suami seperti dia". Seperti orang yang beruntung menang lotere! Sebuah keajaiban! Mukjizat! Bagaimana mengubah ini? Jangan berharap laki-laki akan berubah secara sukarela. Tidak akan ada penguasa yang secara sukarela bersedia mengubah status quo! Karena status quo itu menguntungkan baginya. Suharto nggak turun sendiri! Dia dipaksa, dituntut untuk turun! Jadilah perempuan yang harus kuat, yang harus tetap percaya diri dengan apa yang dia inginkan. Jangan menyerah, jangan turunkan standarmu hanya demi status menikah. Pupuk percaya dirimu dengan pendidikan, ketrampilan, pergaulan. Bekerja, mencari penghasilan, dan berjalanlah melihat dunia yang luas ini. Hai para perempuan yang membaca tulisan ini, BUKAN STANDARMU YANG (KE)TINGGI(AN). TAPI STANDAR MASYARAKAT KITA YANG (KE)RENDAH(AN)!
Hard work and independent woman