Menjadi Ibu yang Seutuhnya (Sebuah Kisah Inspiratif)
Adalah dengan mengemban amanah menjadi seorang ibu kiranya menjadikan seorang wanita menyandang sebuah kesempurnaan menjadi dirinya. Menjadi wanita. Menjadi ibu. Namun sebagaimana kita ketahui, bahwa irisan takdir setiap ibu itu tentulah berbeda-beda. Namun apapun takdirnya, tentulah setiap ibu akan memberikan apa yang terbaik untuk putra-putrinya. Ini adalah kisah tentang dua orang ibu yang memiliki irisan takdir yang berbeda. Dimana kiranya takdir ibu yang satu nampak lebih sempurna dibanding ibu yang lain. Sebuah kisah dari sudut pandang Aku. Inilah kisahku. ***** Aku adalah seorang ibu hamil. Namaku Tery, asal Pemalang. Saat ini usia kandunganku memasuki minggu ke 30. Aku merasa sangat beruntung. Karena Tuhan seketika percaya padaku untuk menjadikan aku seorang ibu setelah hari pernikahanku. Di samping rumahku ada seorang ibu hamil juga. Namanya Karen, asal Bandung. Orang komplek biasa meanggilnya dengan sebutan Teteh. Beda denganku, yang biasa dipanggil Mbak. Usia kandungannya dua minggu lebih muda dari kandunganku. Dia juga seorang wanita karir. Sampai hari ini masih aktif bekerja. Akupun heran kenapa dia begitu mementingkan karirnya daripada mengurus keluarganya di rumah dan menjadi istri seutuhnya. Padahal suaminya juga bekerja. Seharusnya, gaji suaminya juga sudah bisa mencukupi kebutuhannya. Berminggu-minggu berlalu. Hari ini usia kandunganku memasuki minggu ke-39 sedangkan Karen memasuki minggu ke-37. Aku sudah menunggu saat melahirkan sejak minggu lalu. Namun sudah jelang HPL, bayiku belum kunjung lahir. Padahal hari ini tanggalnya cantik. Tanggal 18 Februari 2018. Pagi itu, aku sedang menyiram tanaman di halaman rumah. Disana ku lihat Karen sudah menjinjing hospital bag-nya bersama suaminya. "Ke rumah sakit, teh?" Tanyaku sembari menyapa. "Eh iya." Katanya. "Kenapa? Udah mau lahiran?" Tanyaku lagi. "InsyaAllah." Katanya sembari senyum lalu masuk ke dalam mobilnya. "Masa lahirannya duluan dia sih? Aku aja udah jalan 40 weeks masih belum ada tanda-tanda lahiran." Batinku saat itu menahan rasa khawatir. Hari itu berlalu. Keesokan harinya, Karen kembali dari rumah sakit. Tapi berdua saja dengan suaminya. Tak ku lihat anaknya. "Teh? Udah pulang? Mana dedeknya?" Tanyaku antusias. Karen hanya tersenyum lalu masuk ke rumahnya. Tak menjawabku. Begitupun suaminya. Hanya mengangguk sedikit, solah meminta izin untuk masuk ke rumahnya. Hari-hari berlalu lagi. Pagi itu Karen sedang menggendong bayinya untuk berjemur. Sembari menyusuinya dengan dot. "MasyaAllah cantik sekali dedeknya." Pujiku saat itu. Karen tersenyum senang lalu mengelus perutku. "Nanti kita main bareng ya?" Katanya. Saat itu Karen bercerita soal kelahiran putrinya itu. Katanya ia melahirkan secara caesar. Lalu anaknya dirawat di NICU karena pernafasannya belum stabil. Karena itulah, bayinya dirawat beberapa hari di rumah sakit kemarin. "Ya teteh ini gimana sih. Maksain bayi lahir di tanggal cantik sampe berani ambil resiko gitu. Jadi masuk NICU dulu kan dedeknya. Kasihan. Lagian usia kandungan masih 37 minggu. Aku aja jalan 40 minggu ini masih nyantai. Pengen bisa melahirkan secara normal soalnya." Celetukku. Karen hanya tersenyum. "Semoga nanti mbak ngerti ya?" Katanya sambil berlalu ke dalam rumahnya. Ah, dasar. Demi tanggal cantik sampai rela caesar. Biayanya lebih mahal. Ngerasa gak sempurna juga jadi ibu kalau gak tau rasanya kontraksi. Apalagi anaknya juga pakai sufor. Padahal kalau disusuin pasti keluar tuh ASInya. Gak mau nyusuin aja. Takut berubah kali ya bentuknya? Pikirku. Hari ini tiba giliranku. Bayiku lahir. Bayi laki-laki yang sehat. Dia lahir pervaginam. Aku sangat bersyukur. Aku merasa telah menjadi ibu seutuhnya karena telah melewati masa-masa sulit itu secara alami. Tak ada sakit lagi setelah si kecil lahir. Lantas bayiku itu mulai aku susui. Aku kembali bersyukur, ASI-ku deras. Hari ke hari berlalu. Setiap aku lihat Karen menyusui anaknya dengan dot, betapa aku merasa bersyukur putraku bisa kenyang dengan ASI. Aku yakin bonding bayi ASI dengan ibunya pasti lebih kuat. Kasihan sekali anaknya Karen. Bulan-bulan berlalu. Karen kembali bekerja. Bayinya diasuh oleh suster. Makin iba rasanya aku pada anak itu. Kasihan dia. Ibunya tak bisa selalu ada di sisinya. Ibu macam apa Karen ini? Lebih mementingkan karir daripada anaknya sendiri. Enam bulan berlalu. Anakku sudah bisa duduk mandiri, sudah bisa merangkak. Sedangkan anak Karen masih berguling saja. Dudukpun belum bisa. Memang. Tau apa suster itu? Dia masih gadis. Belum berpengalaman. Akhirnya anak itu kurang stimulasi. Hingga tumbuh kembangnya kurang bagus. Saat memasuki masa MPASI, aku memasak bubur ayam mentega untuk anakku. Homemade. Tapi anaknya Karen, disuapi MPASI instan. Aduh. Padahal masak MPASI anak tuh seru, mudah, murah. Jadi ibu kok gak mau ribet sedikit, sih? Pikirku. Maka dalam pandanganku, Karen bukan ibu yang seutuhnya. Dia tak tahu rasanya jadi ibu yang sebenarnya. Rasanya kontraksi, rasanya menyusui, rasanya merawat, rasanya memasak MPASI sendiri. Semua itu perjuangan. Semua itu pengorbanan. Sayang sekali, Karen enggan berkorban untuk anaknya. Dua tahun berlalu. Belakangan ini aku merasakan tanda kehamilan. Maka aku memutuskan untuk tespack. Rupanya betul. Aku sedang mengandung anak kedua. Masa kehamilanku berlalu dengan berbagai kemudahan. Hingga tiba waktunya aku melahirkan. Tak ku sangka. Aku tak bisa melahirkan secara pervaginam. Ada masalah dengan air ketuban. Sehingga bayiku harus segera dilahirkan. Usia kandunganku juga sudah memasuki 37 minggu. Jadi bayiku sudah siap pula dilahirkan. Dokter dan suami mengatur jadwal operasi caesar. Aku? Caesar? Tentulah patah hati rasanya. Aku tak bisa menjadi ibu yang seutuhnya untuk anak keduaku. Seperti Karen. Selesai operasi, ku buka mata. Aku mulai merasa ngilu di area bekas luka sayatan. Tubuhku juga pegal karena tak boleh banyak bergerak. Bergerak sedikit saja, sakit sekali rasanya perutku ini. Kepalaku pusing karena harus terus terlentang selama 8 jam. Ingin batuk atau bersin pun harus aku tahan. Kalau tidak, luar biasa sakitnya. Bulan-bulan berlalu. Rupanya aku mengalami semua yang Karen rasakan satu per satu. Mulai dari melahirkan secara caesar hingga terpaksa memberi bayiku susu formula karena ASI tak juga keluar. Malang nian nasib anakku. Dia tak seberuntung kakaknya. Kian sedih diriku karena terus berpikir aku tak bisa menjadi ibu yang seutuhnya untuk anak bungsuku ini. Hingga tiba waktunya MPASI. Bayiku menolak makan. Tak ada satupun masakanku yang mau dia makan. Tak ada yang mau dia makan. Kecuali MPASI instan! Tidak. Ku pikir aku tak mau gagal lagi menjadi ibu untuk yang satu ini. Semua anakku harus makan masakanku. Hari-hari MPASI berlalu. Si bungsu masih saja tak mau makan. Hingga berakibat pada grafik KMS-nya. Garisnya mendatar. Berat badannya tidak naik. Ditambah, dia mengalami diare. Entah bagaimana sebabnya. Mungkin ada yang salah dengan MPASI buatanku. Karenanya, aku segera membawanya ke DSA terbaik di sini. Lalu kuceritakan semua keluhan. "Jadi adik gak mau makan apapun kecuali MPASI instan?" Tanya dokter. "Iya, dok." Jawabku. "Kalau begitu beri saja MPASI instannya." Tuturnya. "Tapi dok, itu instan. Apa baik untuk bayi?" "Bu, jangan samakan MPASI instan dengan mie instan. Untuk MPASI, dia sudah melewati serangkaian proses hingga memenuhi syarat untuk bisa dikonsumsi bayi. Kandungan gizi di dalamnya sudah ditakar sedemkian rupa agar cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi bayi." Tuturnya. "Tapi, kakaknya juga makan MPASI homemade." Ujarku tetap tak mau terima anakku diberi makan MPASI instan. "Setiap anak itu berbeda-beda. Kalau kakaknya lebih suka homemade belum tentu adiknya. Tugas ibu adalah memenuhi kebutuhan gizinya. Baik MPASI homemade maupun instan." "Tapi, dok," Kataku lagi mencari celah agar aku bisa memberi makan bayiku homemade style, "saya merasa kurang puas menjadi ibu kalau saya beri MPASI instan untuk anak saya. Saya merasa tidak sempurna menjadi ibu." Dokter itu menghela napas dalam lalu berkata, "Bu, menjadi ibu sempurna bukan soal makanan apa yang kita berikan pada anak kita. Tapi bagaimana ibu memenuhi salah satu hak anak ibu: kecukupan gizinya. Jangan sampai ingin gelar ibu sempurna dengan mengambil resiko bayi kita tidak terpenuhi haknya. Justru itu mencederai kesempuraan ibu. Ibu tahu apa yang terbaik untuk anak ibu. Kita sepakat untuk saat ini MPASI instan adalah yang terbaik untuk bayi ibu." Ya... Dokter itu benar. Aku mungkin egois jika saat ini memaksakan MPASI homemade untuk bayiku. Maka, lagi-lagi dengan patah hati, ku suapi anakku itu MPASI instan. Seperti anaknya Karen. Hingga saat ini pikiranku masih terus menghakimi diriku bukanlah ibu yang seutuhnya. Jika standar kesempurnaan dan kemuliaan seorang ibu dilihat hanya sebatas bagaimana anaknya dilahirkan, bagaimana anaknya disusui, bagaimana anaknya dirawat, bagaimana anaknya diberi makan, ku rasa sangat tak adil. Karena semua ini hanyalah irisan takdir yang harus kita terima. Jika seorang ibu dihakimi tak menjadi ibu seutuhnya karena Tuhan menginginkan anak itu terlahir secara caesar, minum sufor, makan MPASI instan, ... menyedihkan. ***** Tidaklah berkurang seujung kukupun kemuliaan seorang ibu hanya karena irisan takdir yang telah Allah berikan kepadanya. Adalah takdir, satu ketetapan, suatu kehendak, yang wajib kita terima dengan hati yang ridha. Bersyukur kala takdir itu menyenangkan, bersabar kala takdir itu agak kurang menyenangkan. Keduanya baik. Dan menyehatkan hati. Bunda, kita hebat! Kita sudah melakukan yang terbaik untuk putra putri kita. Tak pandang bagaimana mereka dilahirkan, bagaimana mereka disusui, bagaimana mengasuh mereka, bagaimana kita mengurus mereka. Surga tetap ada di telapak kaki kita. Tak setitikpun mengurangi kemuliaan sebagai ibu yang sempurna. Setiap detak detikmu bersama mereka terdapat cinta dan pengorbanan yang sama besarnya. Bunda, kita sudah menjadi seorang bunda bukan setelah bayi dilahirkan ke dunia, namun bahkan sejak kandungan hari pertama, sejak pembuahan terjadi di detik-detik pertama. Sejak itu kita sudah menjadi ibu yang seutuhnya. Dan akan tetap menjadi ibu selamanya. Di akhirat kelak seorang ibu tak akan ditanya bagaimana anaknya dilahirkan. Bagaimana anaknya disusui. Melainkan bagaimana anaknya dibesarkan. Adakah makanan haram yang masuk ke perutnya? Adakah anaknya akan memegang teguh tauhid hingga akhir hayatnya? Itu saja... "Seseorang datang kepada Rasulullah SAW dan berkata, 'Wahai Rasulullah, kepada siapa kah aku harus berbakti pertama kali?' Rasulullah SAW menjawab, 'Ibumu!'. Kemudian orang tersebut kembali bertanya, 'Kemudian siapa lagi?' Rasulullah SAW menjawab, 'Ibumu!'. Orang tersebut bertanya kembali, 'Kemudian siapa lagi?' Beliau menjawab, 'Ibumu!'. Orang tersebut bertanya kembali, ' Kemudian siapa lagi', Rasulullah SAW menjawab, 'Kemudian ayahmu'. Maka, tak perlu lagi insecure dan mulailah bersyukur. Salam sayang, dari Ummanya Maryam. Seorang ibu yang juga masih sering merasa insecure. Foto cantik dapat dari akun instagramnya @feedinglittles dari @feliciasaundersphoto #momsupportmoms #sharing #kisahinspiratif #mpasi #suforbahagia #mengASIhi
mama dua anak.