Menulis Cerita...cerpen

BIkinnn mewekkk bacanyaaa ๐Ÿ˜ญ๐Ÿ˜ญ๐Ÿ˜ญ KEHILANGAN ISTRI Usia pernikahan kami sudah memasuki tahun ke tujuh. Pasang surut ombak badai pernikahan sudah sering terjadi. Tapi syukur semua dapat dilalui dengan baik. 5 tahun pertama menjadi titik terberat ketika kami yang notabene masih pasangan muda belum memahami karakter masing-masing. Aku yang pendiam berbanding terbalik dengan istriku yang grusa-grusu dan ceplas-ceplos. Aku yang masa bodo terhadap omongan orang lain berbanding terbalik dengan istriku yang gampang sakit hati kalau dapat omongan miring sedikit dari orang lain. Dia akan betah menangis berjam-jam karna merasa sakit hati. Dan aku hanya mampu membiarkannya. Karena dinasehati atau dibujuk pun istriku akan tetap seperti itu saat mendengar ejekan orang lain. Di tahun awal-awal pernikahan istriku sering meminta untuk dibelikan baju, skincare atau sekedar kredit perabotan rumah. Tetangga sering menggosipkan tentang kami katanya. Walau sudah punya rumah sendiri tapi masih kosong. Ya, aku memang sudah memiliki rumah dari aku masih bujangan. Tapi aku tak pernah menuruti kemauannya. Bagiku pantang mendengar ocehan tak bermutu dari orang lain. Istriku tetap sering mengeluh ini dan itu. Minta ini dan itu. Biar dia gak sakit hati dikatain para tetangga begitu dalihnya. Aku tetep kekeh menolak. Karna semua keuangan memang aku yang pegang. Kalau bukan hal penting jangan sampai menghambur-hamburkan uang. Itu prinsipku. Hingga akhirnya aku kehilangan istriku. Tidak, dia tidak meninggal dunia atau pergi meninggakan aku. Tapi aku kehilangan sosoknya yang ramai. Itu terjadi setelah Ramadhan di tahun kelima pernikahan kami. Saat itu aku mengajaknya pergi ke pasar untuk membeli pakaian untuk lebaran. Kami sudah lelah berkeliling pasar tapi belum juga mendapatkan baju untuknya. Padahal aku dan anakku sudah dapat beberapa stel pakaian. Sampai akhirnya aku lelah dan menyuruhnya mencari sendiri. Kulihat dia ingin mengatakan sesuatu. Kupaksa dia untuk bicara. Akhirnya dia bilang dia hanya ingin baju gamis levis. Saat aku mengantar ke tempat yang menjual aku kaget dengan harga yang disebutkan. Tiga ratus ribu rupiah. Pikirku jika dibelikan baju lain bisa dapat beberapa pasang. Aku menolak dan mengajaknya mencari baju lain. Dia diam dan berkata kalau sejak gadis dia ingin sekali memiliki baju seperti itu. Toh itu harga belum pas. Masih bisa ditawar. Tapi aku tetep menolak. Akhirnya dia hanya diam dan melangkah menuju parkir. Saat aku mengajaknya lagi untuk berkeliling mencari baju lain dia hanya diam. Aku yang jengkel akhirnya memutuskan untuk pulang. Sepanjang perjalanan dia tetap diam tanpa suara. Sesaat kulirik spion motor. Wajahnya sudah bersimbah air mata. Ada penyesalan di dalam hatiku. Tapi sudah terlanjur separuh perjalanan untuk kembai ke pasar. Aku berniat nanti saja akan ku beri dia uang untuk membeli baju kesukaannya itu sendiri. Beberapa hari berlalu istriku tetap diam. Dia menolak uang yang kuberikan untuk membeli baju kesukaannya tersebut. Bahkan saat hari raya tiba dia pun tak membeli baju baru sama sekali. Dia berubah menjadi pendiam. Meskipun tugasnya sebagai istri tetap dia kerjakan seperti biasa. ***** 2 tahun berlalu sejak hari itu. Aku tak lagi mendapati istriku yang cerewet, ramai dan ceria. Yang ada kini hanya sosok pendiam, irit sekali bicara, tapi masih mengurus rumah tangga dengan baik. Pernah aku memberinya uang dalam jumlah besar untuk membeli apapun yang dia mau. Istriku menerimanya. Namun saat aku kembali dari bekerja. Kudapati uang tersebut kembali ke dalam lemariku. Utuh dan tanpa ada satu kata pun terlontar dari mulutnya. Ku perhatikan istriku kini semakin kurus, wajahnya begitu kusam, dan tak pernah ada senyuman di sana. Dan hari ini ketika dia menghadiri rapat wali murid kudapati dia memakai baju yang sudah pudar warnanya. Dipadu rok hitam dari jaman dia masih gadis. Ketika hendak naik motor ku lirik sandal jepit yang sudah tipis dan gempil di beberapa sisi yang ia kenakan. Hatiku benar-benar terenyuh. Sebegitu sakitkah luka yang pernah kutorehkan sampai-sampai dia tak pernah lagi memintaku ini dan itu. Hujan membuatku lari tergopoh-gopoh untuk mengambil jemuran. Tiba-tiba tanganku tertusuk benda tajam. Sebuah peniti di bra istriku. Kupandangi baju-baju yang ada semua pun sudah pudar dan beberapa ada yang berbintik hitam. Mungkin karna cuci kering pakai oleh istriku. Sedangkan pakaianku semuanya bersih tanpa noda. Sakit dihati ini begitu terasa. Maafkanlah aku istriku. Aku menunggunya pulang dan saat dia pulang aku semakin merasa sakit luar biasa. Istriku pulang dengan membawa tabungan 20 juta. Diserahkannya uang itu kepadaku. Saat ku tanya uang dari mana dia hanya menjawab: "Bukankah itu uangmu? Uang yang kamu beri untuk makan aku dan anakku, tapi tak pernah kupakai. Dan aku pun tak pernah mengambilnya untuk keperluanku. Karena aku tahu uang itu terlalu haram jika kugunakan untuk kebutuhanku sendiri, jadi kukembalikan sisa-sisanya." ucapnya dengan buliran bening menyembul disudut mata sayunya. BIkinnn mewekkk bacanyaaa ๐Ÿ˜ญ๐Ÿ˜ญ๐Ÿ˜ญ KEHILANGAN ISTRI Usia pernikahan kami sudah memasuki tahun ke tujuh. Pasang surut ombak badai pernikahan sudah sering terjadi. Tapi syukur semua dapat dilalui dengan baik. 5 tahun pertama menjadi titik terberat ketika kami yang notabene masih pasangan muda belum memahami karakter masing-masing. Aku yang pendiam berbanding terbalik dengan istriku yang grusa-grusu dan ceplas-ceplos. Aku yang masa bodo terhadap omongan orang lain berbanding terbalik dengan istriku yang gampang sakit hati kalau dapat omongan miring sedikit dari orang lain. Dia akan betah menangis berjam-jam karna merasa sakit hati. Dan aku hanya mampu membiarkannya. Karena dinasehati atau dibujuk pun istriku akan tetap seperti itu saat mendengar ejekan orang lain. Di tahun awal-awal pernikahan istriku sering meminta untuk dibelikan baju, skincare atau sekedar kredit perabotan rumah. Tetangga sering menggosipkan tentang kami katanya. Walau sudah punya rumah sendiri tapi masih kosong. Ya, aku memang sudah memiliki rumah dari aku masih bujangan. Tapi aku tak pernah menuruti kemauannya. Bagiku pantang mendengar ocehan tak bermutu dari orang lain. Istriku tetap sering mengeluh ini dan itu. Minta ini dan itu. Biar dia gak sakit hati dikatain para tetangga begitu dalihnya. Aku tetep kekeh menolak. Karna semua keuangan memang aku yang pegang. Kalau bukan hal penting jangan sampai menghambur-hamburkan uang. Itu prinsipku. Hingga akhirnya aku kehilangan istriku. Tidak, dia tidak meninggal dunia atau pergi meninggakan aku. Tapi aku kehilangan sosoknya yang ramai. Itu terjadi setelah Ramadhan di tahun kelima pernikahan kami. Saat itu aku mengajaknya pergi ke pasar untuk membeli pakaian untuk lebaran. Kami sudah lelah berkeliling pasar tapi belum juga mendapatkan baju untuknya. Padahal aku dan anakku sudah dapat beberapa stel pakaian. Sampai akhirnya aku lelah dan menyuruhnya mencari sendiri. Kulihat dia ingin mengatakan sesuatu. Kupaksa dia untuk bicara. Akhirnya dia bilang dia hanya ingin baju gamis levis. Saat aku mengantar ke tempat yang menjual aku kaget dengan harga yang disebutkan. Tiga ratus ribu rupiah. Pikirku jika dibelikan baju lain bisa dapat beberapa pasang. Aku menolak dan mengajaknya mencari baju lain. Dia diam dan berkata kalau sejak gadis dia ingin sekali memiliki baju seperti itu. Toh itu harga belum pas. Masih bisa ditawar. Tapi aku tetep menolak. Akhirnya dia hanya diam dan melangkah menuju parkir. Saat aku mengajaknya lagi untuk berkeliling mencari baju lain dia hanya diam. Aku yang jengkel akhirnya memutuskan untuk pulang. Sepanjang perjalanan dia tetap diam tanpa suara. Sesaat kulirik spion motor. Wajahnya sudah bersimbah air mata. Ada penyesalan di dalam hatiku. Tapi sudah terlanjur separuh perjalanan untuk kembai ke pasar. Aku berniat nanti saja akan ku beri dia uang untuk membeli baju kesukaannya itu sendiri. Beberapa hari berlalu istriku tetap diam. Dia menolak uang yang kuberikan untuk membeli baju kesukaannya tersebut. Bahkan saat hari raya tiba dia pun tak membeli baju baru sama sekali. Dia berubah menjadi pendiam. Meskipun tugasnya sebagai istri tetap dia kerjakan seperti biasa. ***** 2 tahun berlalu sejak hari itu. Aku tak lagi mendapati istriku yang cerewet, ramai dan ceria. Yang ada kini hanya sosok pendiam, irit sekali bicara, tapi masih mengurus rumah tangga dengan baik. Pernah aku memberinya uang dalam jumlah besar untuk membeli apapun yang dia mau. Istriku menerimanya. Namun saat aku kembali dari bekerja. Kudapati uang tersebut kembali ke dalam lemariku. Utuh dan tanpa ada satu kata pun terlontar dari mulutnya. Ku perhatikan istriku kini semakin kurus, wajahnya begitu kusam, dan tak pernah ada senyuman di sana. Dan hari ini ketika dia menghadiri rapat wali murid kudapati dia memakai baju yang sudah pudar warnanya. Dipadu rok hitam dari jaman dia masih gadis. Ketika hendak naik motor ku lirik sandal jepit yang sudah tipis dan gempil di beberapa sisi yang ia kenakan. Hatiku benar-benar terenyuh. Sebegitu sakitkah luka yang pernah kutorehkan sampai-sampai dia tak pernah lagi memintaku ini dan itu. Hujan membuatku lari tergopoh-gopoh untuk mengambil jemuran. Tiba-tiba tanganku tertusuk benda tajam. Sebuah peniti di bra istriku. Kupandangi baju-baju yang ada semua pun sudah pudar dan beberapa ada yang berbintik hitam. Mungkin karna cuci kering pakai oleh istriku. Sedangkan pakaianku semuanya bersih tanpa noda. Sakit dihati ini begitu terasa. Maafkanlah aku istriku. Aku menunggunya pulang dan saat dia pulang aku semakin merasa sakit luar biasa. Istriku pulang dengan membawa tabungan 20 juta. Diserahkannya uang itu kepadaku. Saat ku tanya uang dari mana dia hanya menjawab: "Bukankah itu uangmu? Uang yang kamu beri untuk makan aku dan anakku, tapi tak pernah kupakai. Dan aku pun tak pernah mengambilnya untuk keperluanku. Karena aku tahu uang itu terlalu haram jika kugunakan untuk kebutuhanku sendiri, jadi kukembalikan sisa-sisanya." ucapnya dengan buliran bening menyembul disudut mata sayunya.

1 Tanggapan
undefined profile icon
Tulis tanggapan

up