Ketakutan dan Harapanku di 2020
Bun, sebelum saya nikah, saya punya ketakutan yang sangat besar. Kebetulan pofesi saya sebagai guru BK (Bimbingan Konseling) bikin saya tahu apa penyebab masalah anak-anak di sekolah. Kadang, lihat remaja-remaja yang lagi jaim-jaimnya pingin tampil keren itu nangis jadi buat saya ikut sedih plus takut. Kenapa saya takut Bun? Karena berdasarkan pengalaman saya, 80% siswa yang dateng temuin saya atau saya panggil, punya masalah sama orang tua. Kadang tuh bun, karena seringnya dapet kasus bandelnya anak gara-gara orang tua. Jadi hafal pola dan rumusnya gitu. Kalau ketemu sama anak yang bawaannya marah terus, langsung kayak ada lampu nyala di samping kepala, “ting, mungkin karena orang tuanya”. Banyak banget anak yang tertular “emosi” orang tua. Kalau orang tuanya didik anak ngegas terus, banyak yang ngikut ngegas sesampainya di sekolah. Berantem terus sama temennya. Terus bun, banyak anak-anak yang jadi samsak tinju sama orang tuanya. Jadi inget pribahasa arab bun, “sebuah teko hanya akan mengeluarkan apa yang ada di dalamnya”. Kalau orang tuanya lagi gak bahagia, si anak juga akan ngerasain “efek gak bahagia” orang tuanya. Kesel sama orang di kantor, sampai di rumah, anak salah dikit kenak maki. Ada orang tua, anaknya padahal kangen sama dia, tapi orang tuanya ngomong gini pas pulang kerja, “Aduh sana! Mamah capek!”. Padahal kan Bun, anak punya hak untuk dapet perhatian orang tua. Soalnya anak kan gak minta dilahirin, kita yang berharap malahan. Banyak kasus yang sebenarnya kalau dipikir hal yang normal dan bagus dilakukan orang tua, justru sebaliknya bikin psikis anak bermasalah. Ada siswa yang cerita kalau orang tuanya care banget sama dia, semua kebutuhan dipenuhin. Duit gampang betul ngasihnya. Oang tuanya gituin dia karena dulu orang tuanya miskin banget, jadi anaknya gak mau ngerasain kayak emak bapaknya dulu. Niatnya baik banget kan bun? Tapi efeknya justru sebaliknya bun. Ini anak jadi manja dan pemarah. Gak bisa ngapa-ngapain. Kalau ada yang dia mau gak tercapai, dia bakalan ribut bun. Tujuannya bikin anak seneng, tapi nanti bikin anak punya masalah pas gede nanti. Standar kebutuhan yang jadi patokannya tinggi karena orang tua berlebihan memenuhinya, eh tapi kerja keras kurang karena didikan orang tua juga. Karena orang tuanya gak tegaan kalau anaknya capek. Terus ada lagi bun yang bikin nyesek. Banyak banget saya ketemu anak-anak yang kayaknya orangtuanya sempurna banget. Orang tua pendidikan tinggi, ekonomi cukup dan kayaknya sayang benget sama anaknya. Eh tapi, cuma satu kebiasaan aja yang salah bisa bikin kesempurnaan itu gak ada harganya. Ada anak yang bermasalah karena orang tuanya jarang komunikasi hangat sama anaknya. Jarang curhat. Jadi anaknya kayak merasa kosong di rumah, sepi. Makanya dia caper dengan cara yang gak bener. Ada anak yang bawaannya nunda-nunda pekerjaan terus, eh rupanya gara-gara orang tuanya yang terlalu naruh harapan ke si anak, jadi ni anak takut setiap ngerjain sesuatu, takut kalau dia memulai kerjaan terus ngecewaain orang tuanya. Di lain kasus, ada anak yang bandel banget, eh tapi kakaknya lurus dan berprestasi gitu. Setelah diselidiki, ternyata karena sering dibandingin sama kakaknya. Jadi si anak ini kayak sengaja bikin kesel orang tuanya. Ibaratnya tuh dia berprilaku buruk ke orang tuanya karena kesel gak diterima apa adanya dan dibanding-bandingin terus sama kakaknya. Padahal yang lain udah sempurna bun, eh salah sedikit aja, fatal akibatnya. Terus ada satu lagi penyebab terbesar bagi kasus siswa yang butuh bantuan psikologis di sekolah. Yaitu hilangnya peran salah satu atau kedua orang tua dalam keluarga. Ada yang karena perceraian, ada yang karena meninggal. Tapi yang paling bikin saya miris ini dan juga yang bikin saya takut, salah satu atau kedua orang tua meninggal dunia. Banyaaak banget contoh anak yang semestinya punya potensi, tapi hancur-hancuran karena orang tuanya meninggal, bahkan sejak dia kecil. Jadi banyak anak yang kurang kasih sayang dan perhatian karena hilangnya sosok orang tua sejak lama. Terus dia gak tau kenapa hidupnya kosong aja. Pas nanganin anak yatim atau piatu ini, kadang butuh waktu lama dalam proses konseling untuk buat ini anak terbuka sama masalahnya. Karena terbiasa dengan ketidakhadiran orang tua bukan berarti mereka terbiasa tak butuh perhatian dan kepedulian. Karena kurang kasih sayang lah yang bikin mereka bandel, murung dan lain-lain. Jadi bun, berkaca dari pengalaman di atas itu, saya jadi takut gagal jadi orang tua. Apalagi pas liat anak saya yang baru sebulan lebih, sedih rasanya. Pengen rasanya jadi orang tua yang sempurna buat dia. Pengeen banget ngeliat dia nikah terus bahagia dengan anaknya nanti. Soalnya bun (kayak yang saya bilang di atas), orang yang pendidikannya tinggi pun banyak yang salah asuh anak. Terus banyak juga ketika anak lagi butuh-butuhnya kasih sayang orang tua, terus dia berpulang ke yang maha kuasa. Ya allah, jangan sampai ya Allah. Panjangkan umur hamba dan suami hamba agar bisa melihat anak hamba bahagia dengan keluarganya kelak. Oleh karena itu, berhubung masuk tahun 2020, saya punya cita-cita agar saya dan suami bisa punya umur panjang untuk mengasuh anak dengan baik. Resolusi saya sama suami tahun ini hanya dua. Pertama, saya dan suami bisa membeli dan menamatkan minimal 2 buku tentang cara mengasuh anak yang baik di tahun ini. Karena, hanya berdoa untuk jadi orang tua yang baik tanpa tau caranya kayak "tong kosong nyaring bunyinya" kan bun? Gak pengen banget gara-gara salah cara asuh dikit saja bikin mental anak rusak. Terus yang kedua, bisa mendukung suami menerapkan kebiasaan berhenti makan di atas jam 6 sore. By the way, suami saya agak sedikit obesitas bun. Ngeri ah mikirin efek dan penyakit yang muncul dari obesitas. Doain resolusi kami terwujud ya bun. Semoga kita semua diberikan waktu dan ilmu yang cukup untuk menjadi orang tua yang terbaik bagi anak-anak kita. Amiiin. #Resolusi2020TAP #Resolusi2020TAP
Read moreRasanya dada ini sesak ketika Ibu yang sudah begitu capek perlu menghadapi anak bengal ini lagi. Ia perlu ke sawah dari pagi hingga sore bersebab usaha ayah diperantauan tidak begitu berjalan baik. Wajah letih tak bisa lagi disembunyikannya. Ia seharusnya istirahat sesampainya di rumah, bukan dirisaukan oleh anak-anaknya! Aku tak paham, jelas-jelas adikku yang salah. Rasanya kesal bukan main ketika Ibu dengan letihnya menasehati tapi ditanggapi dengan kata-kata kasar. Setiap kali Adikku melontarkan ucapan yang menyakiti hati Ibu, semakin panas hatiku. Sungguh memuakkan. Aku maju, bersiap dengan tinju. Di sebelah sana, ada adikku yang siap dengan tangan terkepal dan tatapan tajam menantiku. Itu bukan perkelahian pertama antara aku dengannya di masa kecil kami. “Kamu pergi, Ibu bisa ngatasin sendiri!” kata Ibu dengan tegas padaku. Aku kecewa, tujuan ku ingin membelanya tapi kenapa aku yang dimarahi. Selalu saja setiap aku terpancing emosi untuk memihaknya di situasi seperti ini, ia bergegas menahan dan menyuruhku pergi. Saat itu, dengan hormon yang tengah menggeliat di tubuh remajaku, aku berpikir Ibu tak menghargai usahaku berpihak padanya. Di usia itu dengan keluguannya, aku berpikir sungguh aneh aku dimarahi, padahal aku membelanya. Beberapa tahun kemudian, ketika sifat feminimku sudah tumbuh normal dan intensitas perkelahian dengan adikku sudah mulai berkurang, Ibu kembali melarangku untuk ikut berpihak. Bedanya, ini bukan terkait membela dirinya melainkan memihak salah satu bibi dari ayah ku. Malam itu, salah satu bibi tertua (kakak ayahku) bertamu ke rumah. Selaku anak tengah dan laki-laki satu-satunya dari 3 bersaudara, ayahku mendengar dengan sabar cerita Bik Tua, panggilan daerahku untuk bibi tertua. Emosi Bik Tua meletup-meletup, terkadang menangis, terkadang menggeram dengan amarah. Bik Tua mengisahkan kekecewaannya tentang adiknya yang paling bungsu. Malam itu, aku tengah menonton TV di ruang tamu, tapi alih-alih menonton film yang tengah tayang, aku justru menyimak omongan Bik Tua yang lebih drama. Sesaat ketika Bik Tua beranjak pulang, aku mendekati Ibu dan nyeletuk tentang betapa kejamnya perlakuan Bik Uda (panggilanku untuk adik ayah) terhadap Bik Tua. “Huus!”, desisnya sambil mencubit sedikit pinggangku. “Ibu bilangin ya, kamu gak usah ikut-ikutan benci sama Bik Uda. Selama Bik Uda gak pernah nyakitin kamu, jangan pernah kesel sama Bik Uda”, ujarnya dengan nada yang agak tinggi. “Iya, tapi kok bisa segitunya Bik Uda sama Bik Tua...”, protes ku “Denger ya, kita kan cuma denger omongan Bik Tua aja, belum dari Bik Uda. Kamu gak bisa kayak gitu”, tuturnya. Malam itu, nasehat Ibu agak panjang. Ia berkata bahwa aku tak boleh seperti sepupu-sepupuku yang ketika orang tuanya tengah konflik, ikut memutus tali silaturrahmi dengan sesama sepupu. “Biarlah orang tua yang cek cok, anak-anaknya jangan ikut-ikutan”, tutupnya. Nasehat ibuku malam itu cukup mengena. Aku merenung cukup lama. Berkat itu, aku mulai memahami dari mana asal munculnya sifat “sok penengah” dalam diriku. Aku ingat ketika masa-masa kuliah dulu, aku tak mudah terpancing membenci seseorang hanya berdasarkan gosip. Sesuatu yang justru sering dilakukan oleh teman-teman perempuanku. “Kita kan cuma denger omongan Bik Tua aja, belum dari Bik Uda”, kenangku akan ucapannya malam itu Aku juga mulai mengerti asal sikap “alami sendiri, baru tarik kesimpulan” dalam diriku. Aku tak lupa bagaimana kesalnya aku ketika lokasi tujuan liburan satu kelas berubah hanya karena satu orang berkomentar tentang betapa melelahkan dan tak menariknya tujuan liburan kami. Super aneh saja rasanya menilai suatu hal tak menarik padahal kita belum mencobanya sama sekali. Lagipula, sejak kapan “menarik” beralih dari golongan opini ke fakta? Malam itu aku belajar dari Ibu bahwa selalu ada dua sisi cerita dalam setiap kejadian. Kita tak akan bisa memahami sebuah kisah tanpa melihat dari beragam sudut pandang. Kita tak akan bisa memahami orang lain tanpa keluar dari perspektif sendiri. Pikirku, mungkin ini alasan mengapa Ibu melarang aku membelanya waktu kecil setiap kali ia cek cok dengan adikku. Aku belum cukup dewasa untuk memahami adikku. Aku belum cukup memahami dari mana asal sikap tantrum adikku. Aku belum memahami dari mana asal muasal rengekan menyebalkan itu. Karena jika aku memahaminya, mungkin aku tak akan memperlakukan adikku layaknya lawan tinju, melainkan seorang adik yang perlu kasih sayang kakaknya. Ia tak ingin aku membelanya hanya karena ia Ibuku. Ia ingin aku berdiri di sana, bukan saja sebagai seorang anak yang sayang sama Ibunya, melainkan juga sebagai kakak yang sayang terhadap adiknya. Kini, sekitar sebulan setelah tanggal kelahiran anak pertamaku, aku berharap virus “penengah” dan “alami sendiri, baru tarik kesimpulan” bisa kutularkan dari Ibu ke anakku. Aku tak ingin dia hidup di zaman digital yang penuh tebaran kebencian dan hoax tanpa kedua virus itu. Aku tak ingin anakku merasa bahwa ia tahu segala hal dari layar HP-nya, padahal ia tak tahu apa-apa tentang perasaan dan pikiran orang lain. Memahami orang lain (dan diri sendiri) adalah proses seumur hidup. Akan kutanamkan virus itu ke tubuh kecilnya dan menemaninya sepanjang hayatnya. Karena seperti kutipan Harper Lee dalam Novelnya, To Kill Mockingbird, “Kau tidak akan bisa memahami seseorang hingga kau melihat segala sesuatu dari sudut pandangnya, hingga kau menyusup ke balik kulitnya dan menjalani hidup dengan caranya”. #CeritaIbuTAP #CeritaIbuTAP
Read more