Rahmilia Indri Hapsari profile icon
GoldGold

Rahmilia Indri Hapsari, Indonesia

Anggota VIP

About Rahmilia Indri Hapsari

Mother of Joy

My Orders
Posts(7)
Replies(11)
Articles(0)

Dia, Malaikat Tak Bersayap (Kisahku dengan Caesarku)

Benar adanya, bahwa malaikat tak bersayap itu nyata. Dia, yang rela mengorbankan nyawanya untuk melahirkanku ke dunia yang keras ini. Dia, yang tak pernah mengeluh ketika dulu aku membangunkannya tengah malam hanya untuk mengajaknya bersendagurau sambil meminta susu darinya. Dia, yang tulus ikhlas menemani saat bahagiaku dan juga sedihku. Darinya, aku belajar apa itu cinta dan kasih sayang. Pun darinya aku belajar apa itu pengorbanan. Dia aku panggil IBU. Sebelum menjadi seorang ibu, terkadang aku masih sering mengabaikan ibuku. "Aku kecil" dulu sering sekali menolak perintahnya dan juga melupakan nasehatnya. "Aku kecil" masih sangat keras kepala, masih menuruti egoku, belum "kapok" kalau belum kena batunya sendiri. Padahal, Ibuku sering sekali mengingatkan untuk hati-hati dalam setiap keputusan yang aku ambil. Tapi, namanya juga seorang Ibu. Mau anaknya bertindak gegabah seperti apa, baginya aku tetap seperti bayi kecilnya, sayangnya yang tulus itu membuatku sangat menyesal akan tindakan-tindakan cerobohku dulu. Ada satu memori yang paling aku ingat semasa kuliah, dimana saat itu ayahku sudah tidak bekerja. Satu-satunya cara untuk memenuhi biaya perkuliahan adalah dengan bekerja sambilan. Aku yang hanya bekerja sebagai guru les pada saat itu masih belum bisa sepenuhnya mengcover biaya perkuliahan. Lagi-lagi, malaikatku itu membantuku dengan menjual apa saja yang ia punya. Sedih rasanya, melihat ibuku di hari tuanya masih saja berkorban untuk anaknya. Ada lagi memori lainnya yang paling aku ingat, yang mengingatkan dosa-dosaku terhadap ibuku apalagi kalau bukan momen kehamilan dan melahirkan. Aku, adalah ibu yang mengalami fase kehamilan dengan hiperemesis gravidarum dan janin yang lemah. Mual muntah parah setiap hari adalah aktivitasku selama 9 bulan. Harus resign dari pekerjaan juga karena kehamilanku sering sekali mengalami pendarahan. Saat itu, suamiku yang seorang seniman, mengharuskannya sering pergi ke luar negeri, ke luar kota, sehingga satu-satunya yang tulus menemani suka dukaku saat itu siapa lagi, kalau bukan ibuku. Dia yang di masa tuanya masih duduk menemaniku antre dokter berjam-jam, selalu sabar dan tak pernah mengeluh, membuatku semakin merasa beruntung memiliki ibu yang sabarnya tiada berujung. Terlebih saat aku melahirkan. Anakku, masih senang di dalam perutku walau sudah melebihi HPL yang ditentukan dokter, air ketuban sudah menipis, pengapuran sudah di grade II, dua alternatif yang diberikan dokter adalah induksi atau sectio caesarian. Tentunya, aku masih mencoba pilihan untuk induksi, masih menuruti ego untuk mencoba pilihan melahirkan secara normal. Padahal pilihan itu bisa saja membahayakan janinku karena ketuban sudah menipis dan tentunya sudah pengapuran. Apalagi kalau bukan omongan kanan kiri yang menganggap bahwa lahiran secara SC bukanlah pilihan terbaik seorang ibu. Akhirnya aku diinduksi melalui 3 tahap, tahap pertama dengan pemberian obat di bawah lidah. Tetap tidak ada hasil, hanya sampai pembukaan 2. Tahap kedua, aku disuntik dan menunggu 24 jam. Pun dengan cara itu tidak juga diberikan hasil. Tahap terakhir, diberikan obat lagi melalui cairan infus dan menunggu sampai 2 jam berharap ada hasil. Nihil ternyata. Suamiku yang ada di sampingku saat itu hanya diam. Mungkin iapun juga belum siap jika istrinya harus operasi caesar. Ibu mana yang tidak down saat itu, tidak ada dukungan yang didapat untuk caesar. Satu-satunya yang menguatkan lagi-lagi adalah ibuku. "Dek, kalau memang sudah waktunya, operasi caesar aja gapapa, kasian adik bayinya, udah waktunya keluar melihat dunia" Itu kalimat yang paling aku ingat sampai sekarang. Tidak ada satupun orang yang mendukungku untuk operasi saat itu selain ibuku. Akhirnya aku menurutinya kali ini (setelah bertahun-tahun aku yang keras kepala ini sering berdebat dengannya). Beruntung sekali aku memiliki seorang ibu yang dengan besar hati, tidak mendengar omongan negatif kanan kiri terkait operasi caesar. Dia juga yang menemaniku saat di rumah sakit bersama ibu mertuaku. Bagi ibu yang lahiran secara caesar, pasti mengalami sakit luar biasa setelah obat bius hilang. Luka sayatan di perut membuatku sulit untuk duduk, benar-benar seperti orang lumpuh. Harus belajar duduk, belajar jalan, mulai dari nol semua. Saat itu, suami harus pergi ke Makassar, dan mertuaku juga harus pergi ke luar kota karena pekerjaan. Tinggalah aku dan ibuku. Dia yang 3 x 24 jam menemaniku di rumah sakit, menyuapiku seperti bayi lagi, memapahku untuk belajar jalan lagi, membantuku menggendong bayiku yang saat itu aku belum bisa menggendongnya, luka sayatanku pasca caesar masih segar sekali rasanya. Ya Allah, rabbigh firlii waliwalidayya warhamhuma kama rabbayani shaghira. Tidak ada doa yang aku panjatkan selain doa untuk orang tuaku. Tidak ada yang dapat membalas budi ibuku, emas segunung sekalipun ku rasa tak mampu membalas pengorbanan tulus seorang ibu. Begitu rasanya menjadi seorang ibu, seringkali terlupakan jasa-jasanya, keikhlasannya. Kalau saja waktu bisa membawaku kembali ke masa lalu, ingin ku perbaiki tabiatku menjadi anak yang penurut terhadap ibuku. Sakit saat mengandung, melahirkan, menyusui, membuatku sadar bahwa menjadi seorang ibu itu harus selesai dengan egonya sendiri, harus siap berkorban tanpa pamrih untuk pasangan, anak, dan keluarga. Terima kasih, Malaikat Tak Bersayapku. Hanya Allah dan surgaNya kelak, yang dapat membalas kebaikan ibu tersayang ♥️ #CeritaIbuTAP

Read more
Dia, Malaikat Tak Bersayap (Kisahku dengan Caesarku)
 profile icon
Write a reply