ibukkets profile icon
PlatinumPlatinum

ibukkets, Indonesia

Kontributor

About ibukkets

wondermom

My Orders
Posts(3)
Replies(634)
Articles(0)

Bagaimana kabarmu, nak?

April 2019. Sore itu jadi pengalaman hidup yang tak akan pernah ku lupakan dan tentunya tak ingin pula aku ulang. Aku menanti jadwal periksa kandungan, 37 minggu usia kehamilanku. Di tengah menunggu dokter, seorang perawat memberitahu bahwa periksa sore itu akan dibatalkan karena dokter kandunganku harus melakukan operasi sesar. Namun karena aku mengatakan beliau yg menyuruhku untuk kontrol hari itu, akhirnya aku diperiksa. Bidan memeriksa detak jantung janinku menggunakan doppler. Sekali, dua kali, tiga kali coba tidak terdengar juga suara detaknya. Dalam hatiku aku berucap, "ngejak dolan bu bidan yo le". Bidan yang lain mulai berdatangan, membantu mencari bahkan juga berganti alat. Aku mulai panik, namun masih berusaha berpikir bahwa anakku mengajak bermain. Sampai seorang bidan senior mengatakan kepada yang lain, "kamu cegat dokter T sebelum masuk ruang operasi, sampaikan kondisi ini". Aku terdiam, berusaha tetap mengatur nafas dan berbaring menghadap kiri sembari menanti dokter kandunganku datang. Ketika beliau datang, memeriksaku menggunakan USG, diagnosis itu muncul juga, keluar dari ucapannya, "mbak, detak jantung janin tidak ketemu, jenengan langsung rawat inap ya, kita induksi hari ini juga". Aku menangis saat itu. Tekanan darahku menurun drastis, perawat berdatangan memasang selang oksigen untukku. Di tengah dokter kandunganku menjelaskan prosedur yang akan aku lakukan, ibuku yang saat itu menemaniku bertanya "nanti gimana makamnya ya". Oh Tuhan! Tangisku makin pecah! Anakku masih di rahimku! Bagaimana bisa langsung berpikir mengenai pemakaman?! Saat itu suster biarawati yang mendampingiku di beberapa minggu terakhir, meminta ibuku untuk keluar ruangan dahulu. Ya, aku sedang dalam dampingan susteran. Dan sebenarnya aku meminta pada suster untuk menemaniku, hanya beliau, bukan ibuku. Sore itu juga aku dibawa pindah ke ruang perawatan. Suster yang mendampingiku pamit pulang, beliau memintaku untuk memiliki waktu bersama ibuku. Aku lelah, aku sudah tak peduli. Setelah makan malam, aku meminum obat, sembari dijelaskan oleh perawat. Proses induksiku dimulai. Dokter dan perawat menjelaskan bahwa mungkin proses induksiku akan berlangsung lebih lama dari kebanyakan orang, karena tidak ada dorongan dari janinku. Namun jalan Tuhan berbeda, jam 11 malam aku mulai merasakan kontraksi, ketubanku pecah. Ibuku sempat pamit pergi. Aku tak peduli. Ibuku kembali saat aku merasakan kontraksi yang semakin intens. Beliau mengelus perut dan punggungku. Aku tak peduli. Bukan ketenangan yang aku dapatkan, namun jengkel rasanya. Inginku sendiri saja menikmati sisa waktu bersama anakku. Waktu semakin berjalan, menjelang subuh bidan yang bertugas menghampiriku, mengajakku berjalan berpindah ke ruang bersalin. Beliau mempersiapkan peralatan dan aku diijinkan mengejan. 03.55 WIB. Aku melahirkan anakku dengan kesunyian. Tak ada tangisan. Tak ada teriakan. Tak ada senyuman. Aku terdiam memandang tubuh anakku tergeletak lemas di bawah kakiku. Bidan menjahit perineumku sembari memberitahu kondisi anakku. Ibuku mengatakan "kecil banget, mama ga sanggup liatnya, ini sebelah sini kayak bla bla bla bla bla". Sakit rasanya. Ingin marah, ingin menangis, ingin teriak. Namun aku hanya terdiam. Setelah bidan selesai menjahit perineumku, anakku dibersihkan, dipakaikan baju dan diselimuti dengan bedong yang ku bawa. Bidan bertanya kepadaku, "mau liat adek?" Dengan wajah datar aku mengangguk. Aku peluk anakku. Aku pandangi wajahnya. Aku ciumi pipi gembilnya. Aku usap air di ujung matanya, sambil aku katakan "jangan menangis nak, maafkan ibuk yang belum bisa memelukmu selalu seperti dongeng anak dan induk ayam yang selalu ibuk ceritakan". Air mataku menggenang, namun tak dapat mengalir. Pagi menjelang, para bidan dan perawat yang bertugas pagi berdatangan, termasuk ibu bidan senior. Mereka mendoakanku dan anakku dalam doa pagi bersama suster biarawati. Aku bertanya kepada ibu bidan senior, ada apa, kenapa bisa terjadi padaku dan anakku. Beliau berusaha menjelaskan dari sisi medis, dan kemudian di akhiri dengan "Tuhan yang punya kuasa mbak". Aku masih diam, tak paham. Aku memandangi anakku yang ditidurkan di sampingku. Berdua saja. Sampai seorang biarawati yang belum pernah kukenal sebelumnya datang mendekatiku, beliau memegang tanganku, tersenyum dan bertanya, "bagaimana kabarmu, nak?" Berkecamuk! Namun aku bingung menjawab pertanyaan itu. Aku hanya tersenyum tipis sambil terus memandanginya. Aku kuatkan, aku kumpulkan energi dan ku jawab "ga tau suster". Beliau tersenyum lagi, lalu mengatakan "kalau kamu ingin menangis, menangislah. kalau kamu ingin marah, marahlah. Kita ini manusia nak, bahkan para suster dan romo pun manusia, kita bukan malaikat, marah lah pada Tuhan karena kita tak paham dengan rencana-Nya". Seketika itu tangisku pecah, sesenggukan tak berhenti mengatakan ketidakmampuanku menerima ini semua. Kalimatku berantakan, aku tak mampu mengungkapkan dengan jelas. Dengan sabarnya beliau mendengarkanku, beliau memahamiku, beliau menenangkanku. Sesederhana tatapan wajah dan senyum yang menghangatkan, sesederhana pegangan tangan yang menguatkan, dan sesederhana pertanyaan "bagaimana kabarmu" dari seorang yang tak kukenal, akhirnya meruntuhkan dindingku. Aku pecah, aku merasa hancur. Namun aku bersyukur, aku mampu lagi merasakan berbagai macam emosi dalam diriku. Aku bisa menangis lagi, setelah aku tak merasakan apapun dalam beberapa jam terakhir. Terimakasih suster, terimakasih banyak. Engkau menemaniku, mendengarkanku dan mendoakan anakku. Semoga aku selalu ingat untuk bertanya "bagaimana kabarmu?" kepada orang2 yang ku temui. Semoga aku masih diijinkan untuk menjadi pendengar sepertimu. Dan semoga anak pertamaku tersenyum melihat dari surga. Anakku, anak lanangku, Aloysius Yogatama Geger Priyambodo, ibuk, ayah dan dek Gladys menyayangimu. #KesehatanMentalTAP

Read more
Bagaimana kabarmu, nak?
undefined profile icon
Write a reply