Just Sharing
Semoga bisa diambil pelajaran dari pengalaman saya ya bund. Saya mengetahui bahwa saya hamil di bulan Januari 2019 dari hasil testpack, tentu saya langsung ajak suami untuk cek ke bidan dan dokter kandungan. Dan benar, dari hasil usg saya sudah mengandung dengan UKK 6w walaupun baru kantung. Begitu pula di bidan, walaupun belum bisa mendengar DJJ tapi bidan menyatakan saya hamil dengan perkiraan HPL 15 September 2019. Saya menjalani kehamilan dengan normal, cek kandungan ke bidan dan dokter rutin, minum suplemen dari bidan maupun dokter juga rutin, mengikuti test darah serta urin dan olahraga menjelang persalinan. Seperti calon ibu lainnya, pasti ingin melahirkan normal. Apalagi janin saya menunjukan tanda-tanda bahwa saya bisa melahirkan normal. Kepala janin sudah masuk panggul, tidak ada lilitan tali pusar, BBJ normal. Semuanya sempurna, sampai saatnya masuk usia 40w dan saya hanya merasakan konpal. Saya terus ikhtiar dengan rutin berjalan kaki setiap pagi, mengikuti gerakan yoga untuk membantu janin semakin turun. Namun hasilnya nihil. Akhirnya masuk waktu untuk cek ke bidan dan saya langsung di rujuk ke RS, siang itu saya langsung ke RS namun dokter sedang tidak ditempat. Saya kembali lagi ke RS tersebut keesokan harinya, dari hasil usg dokter bilang ketuban saya sudah berkurang banyak, plasenta juga sudah mengalami pengapuran. Akhirnya saya diminta untuk rekam jantung janin untuk mengetahui step yang akan saya tempuh. Induksi atau C-section. Siang itu saya langsung rekam jantung janin dan hasilnya tidak bagus, dokter memvonis janin saya sudah stress di dalam kandungan. Dan siang itu juga saya harus C-section karena akan sangat beresiko untuk janin saya bila saya di induksi. Alhamdulillah saya dan bayi saya selamat setelah drama C-section dadakan di RS. Namun cobaan selanjutnya datang di malam yang sama, ketika saya bertemu bayi saya pertama kali setelah dokter melakukan observasi. Bayi saya ingusan. Saya sudah lapor ke suster, tapi suster hanya bilang "mungkin kedinginan". Oke, suhu kamar saya sangat dingin karena standar dari RS dan tidak bisa dikecilkan temperaturnya. Namun saya sudah memeluk bayi saya dan menyelimutinya sedemikian rupa, dan tetap ingusan. Sampai akhirnya bayi saya bernafas dengan berat disertai suara "nggrok nggrok". Saya memaksa suami saya mengembalikan bayi saya ke suster agar dibawa ke tempat lebih hangat karena saya tidak tega. Esok pagi, dengan keadaan saya belum bisa apa apa dan hanya baring karena luka jahitan yang masih sangat sakit. Bagai petir di siang bolong, saya mendapat kabar bahwa bayi saya masuk NICU. Menangis? Tentu. Sakitnya lebih daripada sekedar luka jahitan yang saya rasakan. Setelah diteliti, ternyata bayi saya keracunan ketuban. Saat lahir, ketuban saya berwarna hijau yang mengindikasikan bahwa bayi saya sudah pup didalam perut. Karena perlengkapan di RS kurang mumpuni, bayi saya di rujuk kembali. Kali ini lebih stress karena semua NICU di RS rujukan yang dapat coverage BPJS penuh. Sakit sekali rasanya. Dihari ketiga saya memaksakan diri untuk bangun dan menemui bayi saya. Menangis lagi lagi dan lagi, tak tega melihat bayi mungil saya dipasang selang dengan nafas berat. Suster bilang bayi saya sudah mendapat antrian di salah satu RS dengan NICU kelas A. Tetap saja, saya bertanya tanya. Kapan waktunya? Ditambah lagi biaya ambulance transport untuk mengantar bayi saya ke RS tujuan yang tidak murah. Namun saya dan suami menyanggupi persyaratan ambulance transport itu, dipikiran kami anak adalah yang utama. Siang itu setelah menjenguk bayi saya, saya pulang ke rumah. Tanpa bayi yang sudah saya damba selama ini. Sore hari itu saya berbincang dengan suami untuk mencari rujukan sendiri, barang kali ada RS lain yang kebetulan NICU kelas A nya kosong. Dan, nihil. Menjelang malam, tiba-tiba handphone saya berdering dan bagai menang undian togel, saya mendapat kabar bahwa bayi saya sudah bisa masuk ke NICU kelas A. Behagianya bukan main, malam itu juga suami saya berangkat ditemani ayah saya untuk mengantar bayi saya ke NICU kelas A tujuan. Selama anak saya di NICU kelas A, saya tidak selalu datang untuk menemaninya. Selain terkendala luka jahitan, jarak rumah dengan RS tersebut sangat jauh, sedih sekali rasanya. Tiap malam menangis karena rindu. Alhamdulillahnya ASI saya keluar walaupun sedikit dan saya selalu setor ke RS agar anak saya bisa dapat ASI. Setidaknya melalui ASI, bayi saya tahu bahwa ibunya sangat menyayanginya. Alhamdulillah perkembangan bayi saya bagus, dia sudah bisa pulang kembali ke pelukan saya setelah 4 hari di rawat di NICU kelas A tersebut dan berkumpul bersama keluarga kecil kami. Sekian pengalaman saya, semoga ada hikmahnya
Ibooknya Cantigi