BERBAGI PENGALAMAN MENYUSUI
Selamat malam, Parents. Mumpung masih bulan Agustus yang merupakan bulan menyusui, kali ini saya akan mencoba berbagi pengalaman menyusui 2 anak. Tulisan ini akan panjang, semoga Parents semua berkenan membaca hingga akhir. Siapkan camilan sebelum membaca juga boleh hehehe. Ah! Menyusui kan hal yang alami. Semua wanita yang punya payudara pasti bisa menyusui. Piece of cake. Begitu pikirku dulu, sehingga saat hamil anak pertama, tak terpikir untuk belajar ilmu menyusui. Namun ternyata saya salah. "Wah bayinya tampak mengantuk," kata seorang perawat sambil langsung mengangkat dan membawa bayiku. Bayangan akan indahnya IMD pun buyar. Saat itu saya paham ada yang namanya IMD dan ingin merasakan pengalaman IMD, tapi sayangnya saya belum paham proses IMD. Saat akhirnya perawat membawa bayiku ke ruangan, saya langsung mendekap dan berusaha menyusuinya dengan percaya diri. Tak ada kekhawatiran ASI tak keluar. Semua berjalan lancar dan terasa manis. Hari berlalu, saya mulai berpikir, kenapa bayiku menyusu terus, apakah mungkin ASI saya sedikit? Namun, saat saya coba memencet puting, tampak cairan putih yang membuatku kembali yakin bahwa ASI ada dan cukup, tapi kenapa bayiku menempel terus seperti perangko? Ditambah dengan nyeri yang luar biasa saat menyusui, mulai membuatku takut untuk menyusui. Jantungku berdetak cepat membayangkan nyeri yang akan terasa setiap kali akan menyusui. Saya meremas bantal, menggigit bibir demi menahan nyeri. Tak jarang saya tak bisa menahan tangis karena nyeri terasa sangat berat, hingga suami tak tega dan menawarkan untuk membeli sufor, tapi saya tolak. Saya bertekad untuk menyusui. Beruntung tahun 2010 informasi sudah mudah dapat. Saya mulai berselancar mencari informasi tentang ASI dan menyusui dan menemukan milis ASI for baby. Saya menemukan informasi bahwa ternyata posisi pelekatan yang tidak tepat lah yang menyebabkan nyeri saat menyusui. Saya juga baru tahu bahwa anatomi puting saya tidak normal, 1 flat nipple sementara yang 1 lagi inverted nipple. Akhirnya saya terus berusaha menyusui hingga tanpa sadar, entah sejak kapan nyeri saat menyusui hilang. Tak ada lagi drama, jantung berdebar, air mata saat saya menyusui. Ternyata dengan posisi pelekatan yang tepat, saya bisa menyusui tanpa rasa nyeri meski puting datar (flat) maupun tenggelam (inverted). Selain tantangan flat dan inverted nipple, saat saya juga masih berstatus karyawati. Saya juga hampir tidak pernah merasakan payudara bengkak dan ASI rembes yang biasa diasumsikan sebagai tanda ASI melimpah. Saat anak berusia sekitar 2 bulan, saya baru mulai perah ASI atas saram seorang kolega. Padahal rencana awal saya baru akan perah menjelang masa cuti berakhir. Pengalaman perdana perah ASI, saya dapat memerah cukup untuk bisa membasahi pantat botol. Sepertinya tidak sampai 5ml 😅 Namun, saat itu tidak terlintas pikiran ASI kurang. Saya terus perah ASI setiap kali anak sedang tidur. Hasil perah selama 24 jam bisa digabungkan dalam 1 botol asal suhunya disamakan terlebih dahulu. Dalam 1 hari, minimal saya mendapatkan 1 botol 100ml, sehingga saat mulai kembali ngantor, saya punya stok ASIP sekitar 40 botol @100ml. Saya menggunakan botol kaca. Kantor saya tidak memiliki fasilitas khusus untuk perah ASI, jadi saya perah di mana saja. Kadang di kubikel saya sendiri. Kadang saat perjalanan ke tempat meeting. Pernah juga di toilet, gudang, dll. Saya cukup membawa 1 kantong khusus berisi BP, hand sanitizer, nursing apron, tissue. Jika perah saat perjalanan meeting, saya juga membawa botol kaca, cooler box, ice gel. Saya sangat mengupayakan perah setiap 3jam atau maksimal 4jam sekali. Saat di rumah, saya tetap perah minimal sekitar 2-3x, terutama saat malam hingga waktu subuh. Alhamdulillah, anak pertama saya bisa tetap dapat ASI hingga tersapih di usia sekitar 2 tahun 8 bulan dengan metode weaning with love (WWL). Pengalaman pertama menyusui tersebut saya hanya mengalami tantangan umum dalam menyusui, sangat berbeda dengan pengalaman menyusui anak ke 2. Saat hamil anak ke 2, lagi-lagi saya tidak berpikir untuk update ilmu menyusui. Kan saya sudah punya pengalaman, bahkan saya punya support group untuk busui, jadi saya percaya diri pasti bisa menyusui lagi. Namun, lagi-lagi saya salah. "Suster pada bilang kalau dagunya kecil. Pirobin," kata suamiku saat kembali setelah mengurus kelahiran anak ke 2 kami. Kali ini saya sudah paham proses IMD, tapi sayang sekali lagi bayangan indah bisa merasakan pengalaman IMD kembali buyar. Anakku mengalami asfiksia. Dia tak menangis spontan sehingga langsung dibawa pergi tanpa sempat kulihat wajah mungilnya. Berat badannya juga hanya 2 kg, kecil masa kehamilan (KMK). Kali ini anakku langsung dirawat di NICU. Belakangan, saya baru paham bahwa pirobin adalah Pierre Robin Sequence (PRS). Anakku memiliki dagu yang sangat kecil dan mundur (micrognathia), lidah yang "jatuh" menutup jalan nafas (glossoptosis), dan obstruksi jalan nafas. Ternyata PRS membuat anakku kesulitan menyusu. Dia tak bisa melakukan pelekatan dengan benar. Saya berusaha mencari info ke benerapa konselor laktasi (KL) yang saya kenal dan juga melakukan konseling laktasi tatap muka. Saat melihat anakku, dokter yang melakukan konseling hanya mengucapkan 1 kata,"Susah." Wajahnya pesimis, seolah tak ada harapan. Seorang KL memberikan informasi soal dancer hold. Posisi menyusui yang biasa digunakan untuk menyusui anak yang memiliki tonus otot lemah seperti pada anak Down Syndrome. Sementara seorang lainnya memberikan informasi bahwa anak PRS nyaris mustahil bisa menyusu langsung dan ada risiko tertutup jalan nafas jika menyusu. Fokusnya adalah bagaimana agar anak tetap bisa dapat ASI, bukan agar bayi bisa menyusu langsung. Akhirnya saya terpaksa melakukan exclusively pumping (EPing) karena risiko yang besar dan memang dicoba berbagai posisi (bahkan posisi gaya bebas 😆), anakku tetap tak bisa melakukan pelekatan. Awalnya anakku minum melalui OGT, selang makan yang masuk melalui mulut, langsung ke lambung. Selain itu, saya harus tetap melatihnya minum secara oral menggunakan cup feeder. Dia baru minum menggunakan feeder khusus bernama haberman feeder (HBF) atau Medela special needs feeder saay berusia sekitar 5 bulan. EPing adalah pekerjaan yang berat. Saya wajib konsisten perah setiap 2-3 jam sekali selama 24 jam. Apalagi anakku mengalami feeding difficulty, dia sangat mudah tersedak sehingga durasi menyuapi rata-rata sekitar 1-2jam per sesi, padahal saya harus menyuapi setiap 3 jam sekali. Kebetulan suami juga sering berjauhan, jarang pulanh. Praktis saya mengurus 2 anak, urusan domestik di rumah, kira-kira sekitar 95% sendiri. Selama beberapa bulan, tidur adalah hal mewah yang sangat eksklusif bagi saya. Saya juga harus rutin membawa anak ke RS yang berjarak lebih dari 30km. Setidaknya 1x seminggu. Seringkali naik angkutan umum, bertiga dengan Si Kakak. Hampir setiap konsultasi, saya menerima temuan diagnosis baru. Tidur pun sangat tak nyenyak dan justru dibayangi rasa bersalah karena biasanya tidak sengaja ketiduran 😅 Apalagi jika karena ketiduran, ada sesi minum yang terlewat. Rasanya sangat melelahkan lahir batin. Hidup jadi mirip arena balap. Otak saya terus berputar untuk berpikir hal apa dulu yang perlu dilakukan? Perah, menyuapi bayi, urus Si Kakak, atau urus diri sendiri? Namun, alhamdulillah saat berusia sekitar 5 bulan dan mulai menggunakan HBF, durasi minumnya pun menjadi sedikit lebih cepat. Saya tetap mencoba melatih anak untuk menyusu langsung karena saya tahu bahwa menyusui lebih dari sekadar memberikan ASI. Menyusu menjadi salah satu stimulasi oromotor yang bagus bagi bayi (hal ini diaminkan salah satu dokter spesialis bedah plastik). Saya berharap dagu anak saya bisa berkembang dan akhirnya catch up. "Begini loh nyusu langsung. Kirana kalau sudah usia 1 tahun nanti nyusu langsung saja yah," ucap saya setiap kali mencoba menyusui. Alhamdulillah anak ke 2 akhirnya bisa menyusu langsung di usia sekitar 1 tahun dan bisa mendapatkan ASI hingga usia sekitar 2 tahun 8 bulan. Dia berhenti tanpa proses penyapihan. . . Stress, kelelahan akan membuat ASI seret atau mampet, tidak sepenuhnya terbukti pada saya. Mungkin nyaris mustahil seorang ibu tidak stress, sedih, lelah saat mendapatkan anak berkebutuhan khusus dengan kondisi medis yang kompleks, seperti anak saya. Namun, atas izin Allah, alhamdulillah saya bisa tetap memberikan ASI. Seorang kawan yang merupakan praktisi psikologi pernah bilang bahwa saat kita tak bisa menghilangkan stress, setidaknya kendalikan diri agar tetap tenang dan jangan panik. Tenang juga bersahabat dengan oksitosin. 99% ibu bisa menyusui, asal tahu ilmunya. Saya mengalami tantangan umum menyusui, yaitu flat nipple, inverted nipple, masih ngantor, tak mengalami tanda ASI melimpah, tidak mendapatkan fasilitas khusus untuk perah ASI. Saya juga mengalami tantangan istimewa menyusui yang hanya dialami oleh sekitar 1:8500 ibu. Alhamdulillah Allah masih izinkan saya bisa memberikan ASI untuk 2 anak saya. Teruslah belajar dan berusaha untuk bisa mengoptimalkan menyusui dan pemberian ASI. Pahami prinsip produksi ASI (supply by deman dan dipengaruhi mindset) dan tanda kecukupan ASI. Pantau tumbuh kembang anak dengan alat ukur yang benar. Anak PRS yang dikatakan hampir mustahil bisa menyusu langsung, alhamdulillah bisa menyusu Inilah mengapa, saya sering mengatakan untuk menyusuilah dengan keras kepala, menyusuilah dengan payudara. Menyusui lebih dari sekadar memberikan ASI. Semoga pengalaman saya ini bisa menjadi hikmah dan motivasi tersendiri untuk parents di sini. Mohon maaf atas kesalahan yang terjadi. Saya tunggu sharing pengalaman dzri Parents semua 😊 Happy breastfeeding 😊 NB : pengalaman menyusui anak ke 2 sempat dimuat di TAP Indonesia dan gambar pertama itu dinyatakan tip TAP. Lupa tahun 2014, 2015, atau 2016 😅
Support breastfeeding, mental health, Pierre Robin Sequence and rare disease awareness.