RUMAH MATAHARI
Rumah Matahari adalah Cerita Anak yang saya tulis pada tahun 2014, semoga pembaca berkenan dengan cerita ini. RUMAH MATAHARI Ide Cerita : Erna Winarsih Wiyono Ilustrasi : Teguh Budiono Wiyono Kami tidak punya rumah, terbiasa dengan atap langit dan bintang-bintang. Terik menyilaukan dari matahari, hujan yang membuat basah kuyup pakaian kami, dan rasa menggigil kala malam tiba. Rumah kami terbuat dari susunan kardus karton bungkus produk, kami jalin menjadi pondasi-pondasi yang sekiranya menjadi pelindung. Tapi itu tidak lama, karena kekuatannya hanya sementara. Kardus dari bahan karton itu juga menjadi bubur kertas, saat hujan besar melanda sebagian kota Jakarta. Entah darimana asal kami, yang jelas kami anak-anak tanpa ayah dan ibu. yang kami pikirkan bagaimana bisa perut ini tidak bernyanyi dalam berbagai irama. Apa itu Tuhan? kami tak mengenal. yang kami ingat, kami dibuang di area Jakarta, kota seribu mimpi. Kami besar, tumbuh, dan menghidupi diri kami. Awalnya mengandalkan belas kasihan orang, tapi makin lama makin dewasa, kami pun berpikir untuk menyingsingkan lengan. bekerja untuk sesuap nasi. Satu hal kami tak tahu siapa nama kami. Dua puluh tahun sudah, kini Aku memiliki nama, yakni ; Ramadhan Agrapura, usiaku genap dua puluh, aku mengejar ketinggalanku dengan sistem paket. Aku dan keempat kawan-kawanku, yang kusebut '' Kami." Kami menemukan Tuhan. Ramadhan Agrapura dengan Islam. Wuri dengan Kristen Protestan. Neil dengan Kristen Katolik. I Gusti Komang dengan Hindu. Kiola dengan Buddha. Kami menemukan orang tua asuh di Rumah Matahari yakni sepasang peneliti dari Flores, NTT adalah Bapak Ambu dan Ibu Margaretha. Mereka berdua berkecimpung sebagai peneliti ilmu kelautan, mereka berdua menampung kami. Mereka sudah lama mendamba buah hati, tapi Tuhan Jesus belum kasih itu, sahut Bapak Ambu. Rahim ibu Margaretha sudah diangkat dokter, setahun yang lalu. praktis kehadiran kami berlima memberi warna tersendiri dalam biduk rumah tangga keduanya. Rumah Matahari adalah jalan Tuhan yang tak terbaca oleh kami, kami disodorkan kitab agama yang berbeda, kami memiliki hak privasi untuk memilih satu sebagai pegangan keyakinan kami. Rumah Matahari nama dari Bapak Ambu, beliau berkata ; Kasih Tuhan tiada batas, kita berbeda tetap satu jua toh. Ini Bhineka Tunggal Ika, jangan cuma slogan, tapi buktikan nyata dalam perbuatan. Rumah Matahari, rumah dari bahan-bahan kayu, namun di dalamnya tumbuh toleransi dan kehangatan cinta yang sebenar-benarnya yang kami dapatkan. Kami bisa merasakan pedih bersama, kami juga senang bersama. Selama Matahari ada di ufuk timur, masih ada harapan untuk hidup yang jauh lebih baik dari sebelumnya. ''Ramadhan!” ''Ya, Kiola?'' ''Selamat Kak!” ''Selamat apa?" ''Lukisanmu terjual Kak, ada surat panggilan dari France Art Institute, Kiola tak mengerti karena sampulnya berbahasa asing." Aku berlari, Ayah...Ibu...siapapun kalian, terima kasih telah mengantarkanku ke Bumi. Semoga suatu hari masih ada harapan untuk tahu jati diriku yang sesungguhnya.Alam merunduk, hujan mulai turun membasahi tanahku, Jakarta,Indonesia. Jakarta,18 November 2014
Perupa & Penulis dari Kota Hujan.