Seluas Apa Kasih Sayang Ibu?
Ibuku adalah ibu rumah tangga. Tidak bekerja. Tidak menghasilkan uang. Kupikir itulah alasan mengapa Ibu tak pernah memberiku uang hingga umurku hampir tigapuluh tahun. Sepeser pun. Memang, Ibu menyayangiku. Bahkan sering membelikanku baju, membelikanku jajanan. Namun, uang? Tak pernah sekalipun. Kadang aku merasa iri pada sepupu-sepupuku. Ibu royal pada ponakannya. Meski sebesar dua ribu, lima ribu, sepuluh ribu, seringkali Ibu memberi mereka uang saku. Belum lagi saat dapat arisan, juga THR. Sementara aku? Hanya Bapak yang memberiku uang. Setiap aku minta uang tambahan untuk jajan pada Ibu, Ibu selalu menjawab, "Minta Bapak." Sekarang aku sudah bekerja, sudah menikah, punya anak dua. Perihal sikap Ibu yang tak pernah memberiku uang, sudah tak lagi kupermasalahkan. Mungkin Ibu menganggap yang wajib memberiku uang adalah Bapak. Mungkin uang ibu pas-pasan untuk belanja harian. Ah, tapi, ponakannya sering diberi. Berbagai pikiran itu hanya melintas kadang-kadang, tak lagi menjadikan hatiku dongkol seperti dulu. Lalu, hal yang tak kusangka pun tiba. Ibu memberiku duapuluh juta. Untuk ditabung. Ya, Ibu, yang selama ini tak bergeming meski aku merengek meminta selembar uang bergambar perahu atau orangutan. Bukan tentang besaran jumlah uangnya. Namun, kesabaran Ibu menahan diri puluhan tahun yang telah meruntuhkan hatiku. Betapa sabarnya Ibu, mengumpulkan serupiah demi serupiah yang harusnya diberikan padaku untuk jajan di masa lalu. Betapa sabarnya Ibu, menguatkan hati untuk tega menolak rengekan anaknya yang meminta uang jajan, yang pasti diketahuinya tak akan bermanfaat bagi anaknya. Memang hanya Ibu yang paling mengerti, kapan waktu yang tepat untuk memberi. Hanya sebagai anak, aku yang kurang sabar memahami.