Pelajaran Hari Ini
Ditulis oleh : Dawet Ayu Banjarnegara Tulisan ini saya buat terinspirasi dari kisah nyata. Kejadian kemarin sore, di keluarga kami. **** #Bukan Salah Anakku. “Bunda...” anak bungsuku menuruni anak tangga sambil menangis sesenggukan. Terlihat sekali dia sedang menahan amarah. Nafas yang memburu, sorot mata sangat tajam dan tangan kanan yang terus memegang pipi. “Tak biasanya begini”. Gumamku dalam hati. “Kenapa, Sayang?” “Kakak mukul dedek, Nda. Sakit”. Ucapnya sambil terisak. Kuletakkan sapu yang ada di tangan kananku, kemudian berjalan mendekatinya, Dean. Dilepaskannya tangan kanan yang menutupi pipi. “Sakit...” Kini isaknya bertambah kencang. Terlihat jelas ada bekas benda yang mampir ke pipi mulus anak kecil itu dengan hantaman yang cukup keras. “Dek Dean dipukul Kakak?” “I... iyaaa”. Sambil merebahkan diri ke pelukanku. “Kok bisa gitu?” Aku coba tenang, ini bukan masalah sepele, pikirku. Karena tak biasanya anak sulungku marah hingga meluapkannya seliar ini. Ya, aku tau sekali tabiat anak sulungku. Dia anak baik, sangat baik. Pintar sekali mengendalikan emosi meski usianya belum genap sembilan tahun. “Dedek tadi minta penghapus yang dipinjam kakak, tapi nggak boleh. Terus dedek tutup aja pintu kamar, biar kakak di kamar sendiri. Lha kok dedek tambah dipukul”. “Pake apa mukulnya?” “Tangan.” Sambil menerima sodoran air minum dan menenggaknya hingga habis separuh gelas. “Dedek boboan di sini dulu, Bunda mau ngobrol sama Kakak, ya Sayang?” Ku rebahkan tubuh mungilnya di sofa ruang tamu, lalu aku beranjak ke lantai dua. Dimana anak sulungku kini berada. Aku melihatnya sedang duduk meringkuk, memegang lutut. Rasa bersalah sangat tergambar. “Sayang...” dia menoleh ke arahku. Dia, anak kesayanganku yang dipaksa untuk tumbuh sangat mengerti kondisi kami. Anak kecil yang harus paham bahwa kasih sayang kedua orang tuanya harus terbagi saat tumbuh janin lagi di rahimku ketika dia berusia lima bulan. Padahal dia sendiri masih sangat butuh kasih sayang kami, kedua orang tuanya. Tapi kuasa Tuhan tak bisa kami hindari. Rahim ini terisi lagi meskipun aku sudah memakai KB. Diusia empat belas bulan, anakku harus rela dipanggil kakak. Dengan segala konsekuensinya. Dewangga, nama yang kami sematkan padanya. Halus tutur katanya, baik budinya. Itu harapan kami untuknya. Tak ada sepatah kata pun terucap dari mulut kecil itu. Aku duduk di depannya, mengambil posisi nyaman untuk bercerita. “Kakak kenapa, Sayang?” “Kakak sebel sama Dedek, tadi mau ambil penghapusnya, Kakak bolehin tapi Dedek harus minta maaf dulu.” “Emang Dedek salah apa sama Kakak kok suruh minta maaf?” “Ehhhhmmmmm...” Tak bisa dia jelaskan salah adeknya. “Kakak pernah dipukul? Gimana rasanya coba?” “Sakit.” Jawabnya sambil menunduk. “Kak, kalo kakak itu tadi mukul temen, mungkin sekarang kakak lagi dimarah sama mamanya temen kakak.” “Nggak ada mama yang mau anaknya dipukul sama orang, termasuk bunda.” “Kakak anak bunda, begitu juga Dedek.” “Bunda nggak mau kalian berantem, nggak baik.” “Harusnya Kakak sama Dedek gimana?” “Sayang.” Lirih terucap. Anak bungsuku menaiki anak tangga paling atas, ku lambaikan tangan padanya. Ku dudukkan Dean di pangkuan. “Coba liat muka Dedek.” Terlihat sangat kaget anakku melihat ada bekas pukulannya tadi. Kemudian menunduk, menatap lantai. Kode untuk masuk kamar ku kasih pada Dean, biar kami berdua bisa bicara. Dari hati ke hati. Tanpa rasa intimidasi. “Sekarang harusnya Kakak gimana?” “Minta maaf.” “Sama?” “Dedek.” Tapi tak beranjak juga dia dari posisinya, mungkin masih enggan. “Dedek nggak tau kalo Kakak minta maaf dari sini.” Sulungku tetap masih ada di posisinya. Duh Gusti... aku mulai ga sabar. Dari pada marah, akhirnya aku memutuskan untuk masuk kamar. Ketika hendak menutup pintu, terlihat sorot mata yang masih memendam amarah. “Kenapa begini??? Pasti Kakak masih ada unek-unek yang sangat besar.” Batinku. Ku urungkan masuk, ku dekati lagi bocah berkulit putih yang menunduk dalam. “Kakak masih pengin cerita sama Bunda?” Tangisnya pecah. Luluh juga pertahanannya sebagai lelaki kecil. Ku rentangkan tangan, memeluknya. Hanya isak tangis yang terdengar, namun menyayat hatiku, seorang ibu dengan dua anak laki-laki yang beranjak remaja. “Siap cerita?” Tawarku setelah tangis Kakak mereda. “Kakak sebel sama Bunda.” Deg. Ku putar lagi memori hari ini. Ya, aku bisa menebak arah pembicaraannya. “Emang Bunda kenapa kok Kakak sebel?” “Bunda bilang Kakak mancing emosi.” Tangisnya pecah lagi, mengencang. Pagi tadi, saat kedua anakku mengerjakan soal dari guru mereka untuk memang ada sedikit masalah. Penghapus Dean, dipinjam kakaknya. Saat diminta, kakak tidak memberikan justru mengejek. Dean pun merajuk, karena sudah hampir selesai membuat tugas tapi terhambat oleh keusilan sang kakak. Aku yang melihatnya, mengucapkan kata-kata itu. Maafkan Bunda, Nak. Ya, hanya karena sebuah penghapus, benda kecil itu kini jadi masalah besar. Luka batin tergores di hati anakku. Niatku hanya menegur, agar tak jadi pertengkaran di antara kakak beradik itu. Nyatanya??? “Sayang, maaf.” Ku peluk anakku yang kini tingginya hampir sama denganku. Menangis bersama. Melarutkan sesak di dada. “Maafin Bunda ya, Kak. Bunda ga bermaksud bilang Kakak tukang mancing emosi.” “Bunda yang salah.” “Maaf ya, Sayang.” Kurasakan kepalanya mengangguk-angguk di pelukanku. Sesal yang kini aku rasakan. Kenapa mulut tak bisa terjaga. Aku yang harusnya menjaga mereka, justru menyakiti. Beruntung Kakak bisa meluapkan emosinya. Meski salah tempat. Beruntung Kakak tidak memendam kecewanya sendiri. Beruntung Kakak mau bercerita. Melihat kami menangis, Dean mendekat. Ikut berpelukan dan saling meminta maaf. ***** Terimakasih untuk moderator yang sudi mengaprove tulisan mamak yang banyak salah dan kurangnya dalam mengasuh anak. Semoga tulisan ini menjadi pengingat untuk kita semua, khususnya saya pribadi. Anak pun punya hati. Mereka perlu bicara. Mereka perlu didengar. Mereka butuh mendengar kata maaf ketika kita bersalah. Dengan cinta yang besar Bunda tuliskan cerita kita Nak, Dewa Dean. Salam sayang dari kedua jagoanku buat para pembaca. Maafkan bunda kami kalau ada typo dan kesalahan dalam penempatan tanda baca. Saran membangun kami terima dengan lapang dada. Tolong para pembaca berkenan membagikan tulisan saya ini, bila memang dirasa bisa diambil hikmahnya untuk orang tua. Untuk bisa saling menguatkan, terutama untuk kaum ibu. Terimakasih ?? Surabaya, 4 April 2020. Link sumber : https://www.facebook.com/groups/KomunitasBisaMenulis/permalink/3229148597147009/