Assalamualaikum
Bunda, adakah yang bersedia menawarkan telinganya untuk mendengar keluhkesah dan memberi semangat hidup untukku. Saya hampir hilang kesadaran, nyaris pingsan dan sesak didada. Tubuh lemas dan tangan kaki gemetar. Fisikku sehat bun, tapi hatiku hancur. Aku seorang istri yang sudah menikah hampir 4 th. Aku seorang ibu dari satu anak. Aku butuh kalian semua karna aku orangnya introvert. Aku gakmau cerita ke oranglain apalagi orangtua. Karna ini masalah rumahtangga. Aku bermimpi menjadi istri shalihah bersama suami yang shalih. Tapi aku kecewa karna berharap kepada manusia. Ternyata manusia yang kuanggap bisa menjadi imam yang baik bagiku, nyatanya.. Suamiku yatimpiatu, saudaranya jauh luar pulau. Dia merantau hampir 9th dan akhirnya kami dipertemukan melalui proses ta'aruf. Yang benar-benar belum tau watak masing-masing. Aku niatkan menikah karna agamanya, meski dia belum mapan. Aku bisa terima.. Tapi apa yang kudapati, ternyata dia bukanlah sosok imam yang kuharapkan. Imannya merosot jauh, seumur nikah tidak pernah membaca alquran padahal guru ngaji. Aku tak ingat kapan dia terakhir kali kemasjid. Sholat 5 waktu pun bolong-bolong. Aku sudah mengingatkan namun ujungnya marah2. Ya, ternyata dia pemarah. Dan aku seorang yang sensitif. Ketika kami dipersatukan sangat terasa gesekannya. Suami saya keras kepala dan tidak bisa menerima masukan dr oranglain termasuk saya, ibu dr anaknya. Ketika dia marah, saya menangis. Berharap membuatku tenang dengan pelukan justru semakin kesal dia melihatku. Saat aku lemas karna beradu argumen sambil menangis dia tak ada rasa peduli malah keluar kata " matilah ". Ya, selalu aku yang meminta maaf dan mengalah. Tapi apakah aku salah jika aku menyerah ? Kehidupan kami sangat rumit, permasalahan yang sama selalu menjadi bahan keributan. Kami mempunyai masalah pada anak kami, kami sudah berusaha segala macam untuk memperbaikinya. aku hanya ingin aku dan dia sama-sama berjuang, saling mendukung. Tapi apa? Yang dia tau cuma mencari nafkah. Urusan anak menjadi tanggungjawab saya. Pulang kerja maunya istirahat, tidak peduli istri banyak kerjaan rumah, tak perduli anak mau main. Saya sabar bun. Mungkin dia lelah. Tapi saya capek bun, setiap hari ada saja kesalahan saya. Rumah berantakanlah, saya percaya bunda2 disini kalo kita beresin rumah berkali-kali ujungnya anak yang berantakin lagi. Puncaknya saat anak saya sakit, saya setiap hari mencuci baju bun. Hanya ketika anak sakit saya libur mencuci baju, ditambah musim hujan dan saya mencuci manual bukan pake mesin. Saat itu cucian numpuk berhari-hari. Anak saya demam dan ada riwayat kejang makanya ketika dia sakit, saya fokus ke anak. Dr siang ke pagi lagi non stop saya tidak tidur. Suami masih bisa tidur dengan nyaman. Saya menangis tengah malam melihat anak saya yang sakit. Selalu seperti itu. Bukannya bergantian menjaga anak, justru dia marah kalo saya begadang bisa sakit dan tambah bikin dia pusing. Harusnya dia paham, anaknya ada riwayat kejang tapi kok masih bisa tenang? Saya trauma bun. Nah setelah berobat ke dsa, dan anak saya tidak demam lagi munculah rewelnya. Tidak mau ditinggal sebentar. Akhirnya saya tidak bisa mencuci baju. Semakin numpuk baju itu. Saya berusaha menyicil mencuci baju setiap malam,saya prioritaskan baju anak dan suami. Biarlah baju saya belakangan. Kadang mencuci piring malam hari. Suami marah2 pas pulang kerja, baju numpuklah. Gakbisa ngurus anaklah ( anakku susah makan ), rumah berantakan. Aku bukan gak bisa memanage waktu hanya saja ada momen dimana anak lagi tidur, mau nyuci tapi airnya habis ( beli air di bibi ) pas ngidupin keran kok kosong. Kebetulan bibi lagi gak dirumah jd gak ada yg nyalain air. Aku jg malu karna sudah di peringatin bibiku untuk sambung air di sumur umum saja karna saringan air nya suka buntu. Tapi ya gitu suami ku gak mau dengar beribu alasan dariku. Aku sakit minta kerokin aja gak mau. Gak pernah lagi di urusin bun. Kalo aku yang parah banget mungkin baru dia urus. Aku gak minta banyak2 bun, cuma pengen dia berubah jd suami yang lembut ke istri. Jd imam yg baik. Cari solusi sama-sama. Berdoa sama-sama. Saya lelah banget bun. Saya skrg cuma mau ngurus anak saya saja udah. Gak peduli dia mau ngapain.. Kalo gak ada anak mungkin saya udah pengen pisah. Karna saya dimata suami gak ada kebanggaannya, kayak gak ada kebaikan sedikitpun Padahal saya pernah kerja bantu dia, saya terima kekurangannya, saya ikhlas menerima jerihpayah nya berapapun itu. Saya ikhlaskan maskawin saya utk kebutuhan rumah tangga. Saya gapunya apa-apa lagi bun. Cuma anak yang bisa menyemangati saya. Saya sudah berusaha menjadi istri yang baik. Tapi rasanya kok sakit ya bun. Ketika kita tidak mendapat perlakuan yg sama. Saya skrg cm mau jd ibu yang baik. Udah itu aja. Meskipun saya tau seorang istri wajib patuh ke suami. Tapi saya lelah bun.. Dia selalu menyerang perasaan saya. Setiap marah, kata-kata yang keluar selalu menusuk hati saya. Dan kali ini yang paling berat karna dia berani main fisik bukan pukul atau menampar. Hanya mau mencekik saya disaat saya sudah lemas dan hampir pingsan. Lagi-lagi bukan pelukan yang saya dapat bun. Apa susah peluk dan minta maaf? Bukankah wanita adalah manusia pemaaf? Meskipun wanita tak bisa lupa. Anak saya melihat pertengkaran kami dan memarahi bapaknya. "Bapak jangan marah2, kasian ibuk" Bukannya sadar malah dia menyalahkanku karna aku yang buat anakku berani ke bapaknya. Padahal bukankah anak melihat perilaku bapaknya sendiri? Anak tidak gampang dipengaruhi. Anak adalah manusia berdasarkan apa yang dia lihat, dengar dan rasakan. Bukankah jika seorang ibu sakit maka anaknya pun akan merasa sakit? Tapi kenapa seorang suami tak mau berubah lebih baik demi orang yang dia cintai, anaknya. Saya sudah tak berharap cinta atau kasihsayang lagi dari suami. Saya hanya menguatkan diri saya sendiri. Dan saya hanya ingin menjadi ibu yang bahagia untuk anak saya. Ini titik dimana saya sudah tidak perduli kepada suami. Meskipun tetap dalam 1 rumah. Karna ini bukan kali pertama , sudah begitu banyak keributan yang ujungnya aku meminta maaf. Tapi kali ini, senyumku takkan bisa kuberikan lagi kepada laki-laki seperti itu. Ceritaku, bahagiaku, bahkan kehidupanku. Aku hanya ingin bahagia. Untuk anakku. Aku berhenti menjadi obat untuk orang yang tak berniat sembuh. Mungkin ibu-ibu disini lebih kuat dari saya. Hanya hal sepele seperti ini membuat saya lemah. Ya, karna saya seorang introvert. Selalu merasa insecure, tak dihargai, tak dicintai, atau apalah. Saya bukan orang yang pandai menyembunyikan airmata. Bahkan disaat tertawa sekalipun.