FASE EGOSENTRIS (0-7 tahun) #1. Mengajarkan KONSEP KEPEMILIKAN pada Anak

Alhamdulillah Dede Izzah sekarang berusia 18 bulan jadi sedang dalam fase egosentris. Dan salah satu fokus ku terkait fase Egosentris ini adalah mengajarkan konsep kepemilikan pada Dek Izzah. Udah sejak lama pengen share ke temen-temen TAP tapi aku susah buat jelasin. Hehehe Qodarullah semalam Abah Ihsan nulis tentang ini jadi aku KUTIP SELURUHNYA disini ya biar kita makin memahaminya. Di akhir tulisan aku sertakan link sumber tulisan. Yuk disimak dan dipahami, semoga bermanfaat. ==================== This is very important Mom & Dad! Swear! Mengajarkan konsep kepemilikan pada anak dari kecil sangat bemanfaat untuk buah hati Anda belajar menghargai. Jika dibiasakan, hasilnya,  kepada saudaranya saja ia tidak akan berani menggunakan barang saudaranya tanpa izin. Apa lagi barang orang lain bukan?   It’s different! Mengajarkan konsep kepemilikan tidak berarti mengajarkan anak pelit dan tidak berbagi. Ini sangat beda jauh. Mengajarkan konsep kepemilikan juga tidak mengajarkan anak untuk egois dan jadi terus berantem. It’s totally different. Mari kita mulai dengan salah satu cerita berikut ini:   “Abah, anak sulung saya 5 tahun kurang, adiknya 16 bulan. Si sulung kalo liat APAPUN yangg dipegang adiknya (makanan, buku, mainan, pokonya APAPUN) pasti direbut dengan kasar sambil bilang "punya aku!!" Ya si adik menangislah dengan hebohnya karena lagi asik di pegang tau-tau dijabel.   Kami ayah dan bundanya selalu menerapkan apapun yang ada di rumah kita adalah milik bersama jadi boleh dipakai oleh siapapun, boleh berbagi, bergantian. Tapi ya gitu deh, kejadiannya selalu terulang lagi dan lagi. Jadinya saya kelepasan agak marah sama Si kakak gara-gara ini.   Harus gimana yaa sikap saya-nya ke Si kakak maupun adik?”   Sungguh dalam konteks ini, menganggap semua barang yang juga sudah dikasi ke satu orang anak MENJADI MILIKI BERSAMA adalah tidak FAIR! Mari kita rubah dengan mengajarkan KONSEP KEPEMILIKAN pribadi dan ini sangat jauh berbeda dengan KONSEP MILIK BERSAMA.  Tentu saja tanpa menghilangkan masih ada barang-barang di rumah yang menjadi milik ‘public’ sehingga semua orang termasuk anak kita juga boleh menggunakannya.   Dengan diajarkan konsep kepemilikan anak-anak belajar untuk menghargai privasi orang lain. kecuali, benar-benar barang itu memang milik umum yang tidak ditujukan untuk satu orang anak (televisi, kursi, dll)   Saat seorang ayah memberikan satu mainan sama si kakak, maka totally barang itu sekarang milik Kakak bukan milik ayah lagi. Demikian juga saat ibu memberikan satu barang sudah dikasi ke adik, maka barang itu sekarang miliki adik, bukan milik ibu lagi.   Maka, setelah itu akan berlaku bahwa semua orang TIDAK BOLEH menggunakan barang orang lain tanpa izin. Termasuk barang saudaranya. Seorang kakak boleh menggunakan mainan, pinsil, atau apapun punya adik, jika dan hanya jika meminta izin pada adik dan adik mengizinkan.  Bahkan, saat saya MEMINJAM PINSIL ANAK SAYA, maka saya akan minta izin pada anak saya. Karena ketika saya memberikan pinsip anak saya, maka saya sudah meng-akadkan barang itu miliki anak saya.   Bisa saja bagi saya tanpa sepengetahuan anak saya untuk menggunakan pinsip itu tanpa izin anak saya. Lah wong uangnya dari saya. Tapi saya tidak memilih jalan itu. Saya ingin memuliakan anak saya. Saya ingin menghargai anak saya. Bahwa ia punya privasinya sendiri.   Pada kenyataannya, jika terjalin ikatan emosional positif orangtua anak, maka sampai saat ini rasanya sangat jarang anak-anak saya, insya Allah, untuk tidak mengizinkan saya menolak ‘peminjaman’ itu. Ini baru contoh sepele.   Tapi prinsipnya harus kita pegang: Seorang ayah atau seorang bunda yang telah memberikan mainan untuk si kakak, ketahuilah barang itu hanya menjadi miliki si kakak. karena itu orangtua tidak berhak mengatakan "BARANG ITU KAN DARI MAMA JUGA YANG BELIKAN, JADI BARANG ITU PUNYA MAMA JUGA!"   Saat orangtua memberikan barang sama si kakak, maka ia telah berakad memberikan barang punya kakak, maka sejak saat itulah barang itu milik si kakak, bukan milik orangtua lagi.  Ini berlaku juga untuk si Adik jika adik hendak menggunakan barang kakak, maka hanya boleh jika minta izin dan diizinkan oleh si kakak.    Untuk menerapkannya tentu butuh ketegasan dan konistensi dari orangtua. Pada praktiknya orangtua akan diuji oleh: kemarahan, tangisan, rengekan, rayuan, bujukan dari seorang anak.  Ketegasan kita akan menentukan berhasilnya konsep ini atau tidak pada anak kita.    Apa gunanya mengajarkan konsep kepemilikan di rumah kita untuk masa depan anak? Perhatikan, jika kita bisa mengaplikasinnya di rumah, dampaknya insya Allah akan luar biasa bagi anak kita.    Lah dengan saudara sendiri saja ia tidak berani menggunakan barang saudaranya tanpa izin, apalagi kepada orang lain bukan? Ia takkan seenaknya menggunakan, memanfaatkan barang orang lain tanpa hak!   Insya Allah ini menjadi habbit yang berharga untuk masa depan anak di tengah hari orang begitu seenaknya untuk menjarah barang dari toko orang lain saat kerusuhan, menjarah 'pulsa' telepon kantor untuk kepentingan pribadi, menjarah uang perusahaan dengan memark-up biaya proyek atau biaya perjalanan dinas dan lain sebagainya.    DELETE kamus kuno seorang kakak harus mengalah sama adik! Kebenaran harus ditentukan oleh kebenaran itu sendiri, bukan oleh usia. Bahwa seorang adik akan menangis karena si kakak tidak mengizinkan, itu sih biasa. Insya allah jika kita konsisten, nangisnya tidak berlangsung lama. Dan hanya menjadi bentuk kekecewaan sementara dari anak. Jika kita konsisten, anak akan tahu bahwa menangisnya tidak akan pernah menjadi pembenaran untuk mengambil barang yang bukan miliknya tanpa izin.    Jika barang itu memang tidak diakadkan dari awal milik satu orang anak, berarti memang barang ini MILIKI BERSAMA seperti televisi, komputer yang hanya satu, sofa, meja makan dll. Maka solusi untuk soal ini adalah buat SOP bersama. Misalnya "siapa yang duluan menggunakan maka ia berhak lebih dahulu menggunakan", maka yang belakangan tidak berhak untuk menyerobot. Atau SOP lain adalah bergantian.  Tentang ini saya telah membahasnya secara detail dalam tulisan saya yang lain “BERANTEM ITU BAIK” (silahkan baca tulisan saya tentang mengelola berantem anak di sini: http://www.facebook.com/notes/yuk-jadi-orangtua-shalih/berantem-itu-baik/433233745699)   Turunan dari SOP dan aturan tadi adalah seorang anak berhak dan boleh membela diri jika barangnya diambil tanpa izinya. Saat mainan adik diambil kakak, maka adik berhak untuk mengambilnya kembali jika tanpa izin adik dan juga sebaliknya. Orangtua boleh ikut intervensi jika ada kekuatan tidak seimbang (si kakak memiliki tenaga lebih kuat sehingga dapat mengintimidasi si adik untuk memaksanya memberikan).  Orangtua di sini boleh bertindak sebagai ‘penguasa’ yang memang mengatur jalannya ‘pemerintahan’ sehingga tidak ada ‘rakyatnya’ yang dirugikan oleh orang lain hanya karena tidak berdaya.   Mempertahankan hak adalah kewajiban. Karena itu juga saat seseorang didzalimi ia boleh membela diri atau bahkan untuk melawan! dan bukan malah sebaliknya: MENGAJARKAN MENGALAH!   Bahwa damai adalah baik itu sudah tidak usah diragukan, tapi damai tidaklah sama dengan kita diam dan mengalah saat orang lain merampas dan bertindak sewenang-wenang terhadap kita. Damai berarti kita mencari cara-cara sehingga semua pihak tidak ada yang dirugikan dengan cara-cara yang tidak destruktif.    Apakah menerapkan konsep kepemilikan sama dengan mengajarkan anak pelit? Wah ini sangat berbeda dan memang beda judul. Perbedaan ini seperti antara timur dan barat.    Mengajarkan konsep kepemilikan tidak berarti mengajarkan anak pelit. Mengajarkan anak untuk berbagi (kebalikan pelit) tentu adalah kewajiban kita orangtua. Tetapi mengajarkan berbagi tidaklah sama dengan mengajarkan anak untuk diam saat haknya diambil oleh orang lain.    Anak harus difahamkan dulu tentang kepemilikan. Saat anak sudah faham tentang ini, barulah di waktu lain anak diajarkan berbagi. Maksudnya begini: misalnya saat seorang adik ngambil mainan punya kakak, seorang kakak berhak untuk tidak mengizinkan atau memberi pinjam mainan tersebut. Tanpa paksaan siapapun. Tetapi di waktu lain, di waktu yang lebih tenang, kita ajarkan bahwa berbuat baik, memberi, termasuk memberikan pinjaman adalah kebaikan.    "Begini nak, kamu boleh makan kue kamu sendiri jika kamu suka, tapi jika kamu membagi kue kamu untuk saudara kamu dan saudara kamu senang, maka itu jauh lebih baik dan akan dinilai kebaikan oleh Allah".  www.abaihsan.id Sumber : https://www.abaihsan.id/article-detail?name=34

FASE EGOSENTRIS (0-7 tahun) #1. Mengajarkan KONSEP KEPEMILIKAN pada Anak
15 Tanggapan
undefined profile icon
Tulis tanggapan

nice sharing mba jazaakillahu khoiron alhamdulillan anakku skrg 18 dan lagi proses pembelajaran kepemilikan juga. Yg paling keliatan hasilnya so far adalh kl sy bilang "ini punya ayah/bunda", anakku gak akan paksa ambil dan sy cb kasih tau mana mana yg punya dia. Sejalan juga sy sambil pengenalan proses sharing dan turn taking. untuk org rumah, anak sy masih bisa mempertahankan kepemilikannya, tp kl sm org luar dia legowo² aja kl barangnya diambil, malah dia yg suka nyodor²in ngasih duluan. Ada masukan gmn cara efektif buat ajarin anak "mempertahankan miliknya" ? atau mmg dalam fase dan usia 18bln ini masih proses dann blm bisa keliatan hasilnya?

Baca lagi
4y ago

MasyaAllah ❤

anak ku 3 taun ga brni rebut2 mainan sodara nyaa... tapi kalo anak ku beli mainan baru atau punya mainan lama yg baru di mainin lagi,, sodara nya yg 4 taun maen rebut aja bahkan ngHAK,, smpe anak ku nangis,, ortu nya malah ngbiarin.. ya udh berati tugas ku buat negur... kasian atuda anakku di rebut2 mulu mainan nya... giliran maen ga prnh d ajakin..

Baca lagi

MasyaAllah, luar biasa sharingnya.. tanpa disadari aku udah mempraktikkan teori ini, MasyaAllah.. anakku kl mau make apa2 selalu ijin sama yg punya, walaupun akhirnya nangis karena yg punya ga kasih ijin.. terimakasih ya bun sudah sharing di sini, bermanfaat banget, semoga banyak ortu yg baca thread ini.. sehat2 selalu ya bun ❤

Baca lagi

ini 100% kece bangetttt... dan saya sering ketemu anak2 yang menganggap semua hal adalah miliknya jadi main rebut aja, atau ga berani menolak ketika mainannya direbut teman karena takut dianggap bukan anak baik.

4y ago

Nah Setuju. aku jg udh ajarin ke anak metode ini. ngejelasinnya pakai bahasa yg bisa di mengerti dan di cerna anak. Aku ga ajarin anak buat mukul/balas orglain, tp ketika anak ku di ganggu, di dorong aku cuma liatin, dan kalau masalah masih bisa di selesaikan anak, ortu gs harus ikut campur kecuali membahayakan anak kita. kasus anak ku di ganggu di sekolahnya (anak ku dr 3th setelah lulus toilet training, aku masukin ke KB setara PG, dengan alasan menyiapkan mental anak buat hadapin situasi untuk sekolah) anak ku sm sekali ga ngelawan, menghindar semampunya, ketika keadaan anak ku terdesak,terpojok krn di gnggu dan d dorong terus, anak ku kesal dan dorong anak yg ganggu sampai jatuh kejerembab, aku cuma liatin aja, dan mamanya si anak itu bediri sambil emosi mau datangin anak ku, ku cegah dan ku blg (sedari td aku perhatiin anak kamu gangguin anak lain loh, dan kamu ngeliat jg, jangan ikut campur masalah anak, dan siap terima kalau anak yg suka ganggu di balas sm anak lain. orgtua haru

❤❤❤ bener bangeett konsep ini biar anak gak grawok (suka ngambil apa yang bukan miliknya). Tapi ya begitu, seringkali lingkungan tidak mendukung 😌

terima kasih buat pembelajaran, sedih rasanya. anakku usia 2 tahun blm paham konsep ini. dia jg blm terlalu paham klo dikasih tau. Mohon sarannya

4y ago

Kalau bersedia kita bisa berkorespondensi via WA mbak silahkan chat ke email [email protected] insyaallah nanti nomor WA ku share via email

VIP Member

Ini harus diketahui oleh banyak ibu2 d luar sana.. Karena kasian adik2 ku mainannya diakuin terus sama temen teemen mainnya 😅😅

4y ago

Setuju karena butuh orang sekampung buat mendidik anak

UP SAVE postingan kaya gini harus terus di UP biar manfaat terusss 💙💙💙

Baca lagi

sayang sekali postingan kaya nutrisi seperti ini sepi peminat..

Izin save ya bund, terimakasih bermanfaat sekali 🙏🏻