Semoga saya bisa menjadi #ibujuara bagimu, nak.. Perjuangan melawan mastitis - "Insisi demi insisi"
Wanita mana yang tidak menginginkan tubuh indah sebelum dan sesudah memiliki anak. Memiliki berat ideal agar suami selalu erat pada kita, istrinya. Namun, menjadi ibu tidak sekedar tentang tubuh indah, menjadi #ibujuara adalah tentang menjadi seseorang yang bisa berjuang, berkorban dan mencurahkan kasih sayang sebesar-besarnya untuk anak kita. "Wajah cantik.. tubuh indah, bukan itu lagi yang aku cari", ujar suami saya tiba-tiba. Saya diam-diam menangis mendengarnya. Saya tak bisa berkata apa-apa lagi karena tubuh saya mengalami banyak perubahan semenjak melahirkan, saya menjadi kurus, ditambah kedua payudara saya tak lagi memiliki bentuk dan ukuran yang sama antara kiri dan kanan, dikarenakan mastitis. Ada susu membeku yang kemudian basi dan membentuk benjolan di PD kiri saya. Dipostingan saya sebelumnya, saya menceritakan tentang awal dari mastitis yang saya derita dan bagaimana saya mengalami trauma hebat karena insisi (sayatan pada kulit untuk membuang luka) yang menyakitkan. Dan itu bukanlah insisi satu-satunya. PD kiri saya disayat 3 kali. Yang kedua tanpa bius sama sekali, dan bagaimana itu merubah hidup saya... Selama terkena mastitis, saya menjadi ibu dan wanita yang moody. Saya menjadi pemurung karena hati dan fikiran saya benar-benar tidak karuan. Dan itu berlanjut saat saya harus diinsisi lagi untuk kedua kalinya. Saat kontrol, seminggu setelah insisi pertama, dokter memeriksa PD saya yang ternyata nanahnya masih mengucur deras dari drain yang terpasang di PD saya yang sakit masih. Tanpa memberi tahu saya apa-apa, saya hanya mendengar, "masih banyak, langsung saja". Dokter dengan cepat mengambil silet bedah dan membuay sayatan baru yang lebih besar dibekas luka yg masih menganga, tanpa obat bius. Sriiiing! Seketika, saya teriak sekencang-kencangnya. Ngilu, sakit, sakit ga karuan. Saya melihat darah bercampur nanah keluar deras. Dokter dan perawat mengeluarkan dan membersihkan semuanya. Saya kembali shock, trauma insisi sebelumnya belum hilang dan ini terjadi lagi. Saya menangis sejadi-jadinya. "Kenapa tidak dibius dok?" Tanya saya sambil menutup mata. Dokter cuma bilang ini harus dilakukan karena nanahnya masih sangat banyak. Saya hanya bisa pasrah, ingin marah tapi rasa takut saya mengalahkan itu semua. Saya hanya diam saat luka saya dibersihkan, saat drain kembali dimasukkan saya hanya bisa menjerit. Ya Allah... sakitnya. Sepanjang jalan saya menangis sejadi-jadinya, kilatan silet bedah yang menyayat kulit saya terbayang-bayang, dan saya pun semakin murung. Saya banyak diam, saya banyak menangis. Suami dan ibu mertua saya mencoba menghibur namun saya terlanjur down. Melihat anak saya pun saya menjadi tidak bersemangat. Kasihan bayi saya... Ya Allah... Saya hampir terkena baby blues. Menyusui menjadi hal yang cukup berat saat itu, apalagi sy masih harus memompa asi dari PD yang sakit. Saya kelelahan. Namun, saya terus mencoba untuk bertahan demi si kecil, melihat wajahnya yang polos membuat saya tenang dan kembali siap untuk berjuang. Karena saya masih harus bolak-balik RS untuk perawatan luka. Dan RS menjadi tempat yang sangat menakutkan. Saya ciut jika teringat saya haris kesana. Minggu berikutnya, saat saya harus kembali ke RS untuk kontrol, trauma saya semakin parah. Saya mengadu pada suami saya, saya takut berangkat. Namun suami masih belum bisa mengantar, saya kembali harus sendirian. Menatap tulisan 'poli bedah' saya ketar-ketir. Kaki saya terus gemetar, saya takut sekali. Saya takut kalau nama saya dipanggil. Dan ketika masuk ke ruangan, saya melihat dokter yang menangani saya berbeda, saya berharap semoga saya tidak perlu kesini lagi, cukup ke bidan saja untuk perawatan luka. Ternyata saya salah. Ketika melihat luka saya, dokter tersebut bilang, "Lho kok masih kayak gini? Ya udah diperlebar saja (sayatan nya)" Jdaaaarr... Saya langsung lemas. Insisi yang ketiga. Otomatis dengan menahan untuk tidak berteriak,"dok.. disayat lagi?? ini dibius kan dok, kemarin tidak dibius..." Saya menangis bahkan sebelum dokter melakukan apapun. Dengan meneteskan air mata, saya memohon dokter untuk tidak menyayat lagi, namun dokter ini berbeda dengan sebelumnya, beliau menekankan harus dilakukan karena luka sayatan sebelumnya menutup dan cairan didalam jadi tidak bs keluar. Sy pun pasrah. Dokter kali ini tidak hanya memberi sayatan baru dan menekan cairan saja. Namun beliau juga memasukkan jari beliau ke dalam luka dan membersihkan bagian dalam. Jangan ditanya rasanya bun, saya hanya bisa menutup mata dan menangis sejadi-jadinya. Semangat saya hilang total. Mungkin jika saya tidak teringat bayi saya, saya sudah pingsan. Kemudian, dokter menunjukkan gumpalan-gumpalan yang dikeluarkan. "Kayak gini bu.. harus dikeluarkan dengan cara ini. Ga sembuh2 nanti". Saya hanya bisa terdiam, masih dengan lesu saya menanyakan apakah akan ada insisi lagi? Saya menceritakan trauma saya kepada dokter ini. Kemudian dokter meyakinkan saya, "Tidak bu... Kan sudah diambil lukanya. Sekarang fokus pada penyembuhan" saya lega sekali. Saya kemudian bertanya apakah luka saya akan dijahit. Jawaban dokter membuat saya ketar-ketir. 'Karena di PD ibu ada lubang sepanjang ini (kira-kira sekitar 12 cm), luka tidak boleh ditutup harus diisi kasa dan dibiarkan terbuka. Karena harus diisi daging baru, jadi lubang ini harus tetap terbuka sampai dagingnya penuh" saya kembali hampir menangis membayangkan saya harus kembali bolak-balik RS untuk mengganti kasa panjang yang dimasukkan kedalam PD saya dimana proses penarikan dan memasukkan kasa ini sakit sekali. Tapi bagaimanapun saya bertekad untuk menjalani semua proses. Butuh waktu lama sampai daging tertutup sempurna, selama penantian saya terus bersyukur kepada Allah saya masih bisa diberi kesembuhan. Meski tak lagi sempurna, bekas sayatan masih terlihat jelas, ukuran yang besar sebelah, saya bersyukur saya tetap bisa memberi asi saya kepada bayi saya yang mungil. Saya bersyukur suami saya menerima keadaan saya. Menjadi #ibujuara tidak mudah. Trauma saya masih ada, namun rasa bahagia saya bisa merawat anak saya dan mendampingi suami saya selalu membuat saya lupa betapa menakutkannya silet bedah... Keterangan foto: Alhamdulillah, setelah sempat divonis kurus saat saya sakit, karena asi saya berkurang, sekarang sudah sesuai KMS BBnya... insyaallah akan saya ceritakan perjuangan saya dalam mengasihi.
Read moreSudahkan saya menjadi #ibujuara? Melawan mastitis bag. 1 - "Saya ceroboh menjadi ibu"
Sudah menjadi nadzar bagi saya untuk menceritakan pengalaman saya dengan mastitis jika oleh Allah SWT saya diizinkan sembuh. Sebuah perjalanan panjang tentang perjuagan menjadi #ibujuara dalam hidup anak pertama saya, satu hal pasti yang saya pelajari bahwa sebagai ibu, hidup saya bukan hanya milik saya tapi milik anak saya yang membutuhkan saya lebih dari yg saya kira. Apapun yang saya lakukan akan langsung berdampak pada dia. Cerita saya mungkin akan sedikit panjang, harapan saya, dengan membaca cerita ini, kita semua, khususnya ibu-ibu baru bisa lebih berhati-hati dan tanggap dengan kondisi tubuh sendiri saat menyusui, tidak ceroboh seperti saya. Saat itu, usia bayi saya baru 2 bulan dan saya terlena dengan peran baru saya sebagai ibu baru sehingga saya tidak menyadari ada benjolan padat di PD kiri saya. Waktu itu saya tidak begitu ambil pusing karena sebelumnya pernah ada benjolan serupa tapi hilang dalam beberapa hari. Karena saya juga kurang pengetahuan soal menyusui jadi saya menjadi ceroboh dalam merawat PD saya. Saya juga kurang telaten untuk memassage ataupun mengosongkan PD setelah menyusui. Dan karena kurangnya pengetahuan ini juga saya tidak tahu kalau pup bayi saya jadi gelap dan baunya menyengat karena bayi saya telah meninum asi basi dari PD saya yang terkena mastitis. Allahu Akbar, anak saya anak yang kuat. Dia tumbuh dengan baik sampai sekarang sudah 9 bulan ☺️ Sebelum mengetahui saya terkena mastitis, saya mengalami gejala demam berkali-kali, saya panas tinggi sampai saya kejang, tubuh saya kaku. Suami dan ibu mertua saya kebingungan dengan kondisi saya. Alhamdulillah tapi dengan rasa khawatir saya bisa menyusui anak saya meski tubuh saya sudah sangat panas. Karena waktu itu anak saya masih full asi dan kami takut untuk memberi sufor, takut tidak cocok. Saya hanya minum Paracetamol saja. Seperti itu terus selama beberapa minggu. Dan benjolan didalam PD saya semakin meluas dan padat. Saya pergi ke bidan dan disana saya diajari memassage yang benar, diberi obat dan anti biotik. Sesuai instruksi, Saya terus memassage dan mengompress PD saya. Setiap hari, siang dan malam sesering mungkin sy terus memassage dan mengompres dibantu ibu mertua, namun tetap saja. Karena tidak ada perubahan kemudian sy ke puskesmas sesuai arahan bidan. Disana saya diberi obat baru yang ternyata obat tersebut membuat lambung saya perih. Magh saya kambuh padahal magh saya sudah bertahun-tahun tidak pernah kambuh. Saya pun ke dokter umum. Disana sy diberitahu kalau obat yg saya konsumi ternyata menyerang lambung, ya Allah saya hampir menyerah, diserang demam terus menerus, perut saya perih dan makan saya pun jadi sedikit, asi saya berkurang, anak saya sungguh kasihan. Dari dokter umum ini juga saya dipastikan mastitis dan karena belum mengalami gejala lain, seperti merah dibengkaknya, sy diminya terus memassage dan menyusukan asi saya. Hari lebaran, PD sy yang sakit mulai memerah, dan saya dan suami terus mencari info kemana kami harus berobat karena klinik libur dan kami khawatir dengan Covid-19 juga. Kondisi saya tidak stabil. Akhirnya kami pergi ke dokter kandungan. Disana saya diberi obat baru, diagnosa dan rekomendasi tetap sama, namun tidak ada perkembangan, dan PD saya semakin merah. Saya beberapa kali ke dokter kandungan, namun tetap tidak ada perubahan. Kemudian saya kembali ke Bidan, dan beliau mengatakan merah pada PD saya menunjukkan sudah hampir infeksi dan diberi tahu kalau sampai ada luka langsung ke RSUD. Saya sangat takut karena waktu itu masih belum new normal, dan kami sangat khawatir akan Covid-19. Saya hanya bisa menangis, apalagi kalau melihat anak saya, merasakan sakitnya. Sampai akhirnya suatu sore ketika saya sedang menyusui bayi saya di PD saya yang sakit (saat itu saya masih belum tahu kalau infeksi dan seharusnya tidak disusukan), secara tidak sengaja PD saya kena kuku anak saya, seketika terluka dan kemudian muncul seperti bisul dan saya pun panik, suami saya juga sangat khawatir karena meradang. Saya langsung mengirim foto luka ke bidan saya, dan benar saja beliau lgsg bilang, saya harus ke RS. Ya Allah saya benar-benar ketakutan waktu itu. Mental saya langsung jatuh. Suami dan ibu mertua saya mencoba menguatkan saya. Saya takut dengan keadaan saya, juga takut dengan Covid-19. Keesokan harinya saya ke RSUD, sendirian karena suami saya harus bekerja. Bayi saya bersama ibu mertua. Di sana saya langsung dirujuk ke poli bedah, dan saya semakin ketakutan. Dan benar saja, ketika dokter bedah melihat luka saya, langsung diambil tindakan insisi. Tanpa babibu lagi, bahkan saya tidak diberi waktu untik bersiap-siap dokter lgsg membuat sayatan di PD saya. Astaghfirullah, rasanya sangat sakit, meskipun sudah disuntik bius lokal dan semprot, saya sampai berteriak. Dokter bilang, "tidak apa-apa teriak bu.. ini memang sakit." Saya hanya bisa teriak bun.. karena sy tipe yang tidak bs menahan sakit. Sayatan tersebut sungguh membuat saya trauma... Sepanjang perjalanan pulang, sambil mengendarai motor saya menangis bun. Dirumah, saya sering menangis tiba-tiba karena teringat dengan proses menyakitkan itu. Sampai hari ini saya masih ngeri. Kemudian dokter mengeluarkan cairan (nanah & darah) dengan menekan luka. Astaghfirullah banyak sekali yang keluar. Saya benar-benar shock, tidak hanya dengan sakit insisi namun melihat banyaknya cairan yg keluar. Kemudian luka saya dimasuki drain agar sisa cairan bisa keluar secara alami. Saat itu mental saya sudah jatuh, namun saya tetap bertahan teringat anak saya yang masih kecil. Saya harus kuat. Namun, kemudian saya menjadi sangay hancur ketika kemudian dokter memberi tahu bahwa saya tidak boleh & tidak seharuanya memberi asi basi saya, yanh telah tercampur nanah dari PD yang sakit pada bayi saya, padahal selama ini sy terus memberikannya pada si kecil. Saya langsung menangis .. ya Allah hancur hati saya. Saya telah meracuni bayi saya. Sedih sekali. Saya sedikit lega karena masih bisa menyusui lewat PD satunya. Anak saya masih bisa diberi asi. Sesampai di rumah, saya hanya bisa menatap anak saya yang hanya bisa minum dari 1 PD. Bayi saya menjadi rewel karena selalu lapar. Beratnya naik sedikit, oleh dsa dianggap kurang. Anak saya dianggap kurus. Sedih rasanya bun... Karena cerobohnya saya diawal menyusui, anak saya terkena dampaknya. Mental saya semakin jatuh apalagi trauma insisi dan rasa sakit yang terus membayangi ketika luka harus dibersihkan 2x sehari, dimasuki drain lagi membuat saya menjadi pemurung, saya trauma. Dan anak saya menjadi korban kecerobohan saya... Semua ibu, dan calon ibu. Tambahkan pengetahuan parenting sedini mungkin, banyak lah bertanya kepada bidan, ibu tentang menyusui yang benar, massage yang baik, agar tidak mengalami seperti saya. Cerita saya berlanjut, mental saya semakin hancur saat dokter memutuskan saya harus insisi lagi, saya harus disayat lagi... Saya ceroboh lagi, bayi saya jadi korban lagi... (Lanjut dibagian 2 ya bun.. takut kepanjangan disini) Foto: anak saya usia 9 bulan #bantusharing #ibujuara #1stimemom
Read more