Kenapa aku tidak mati saja saat melahirkan?! #ibujuara
Halo bunda namaku Tia, aku ingin membagikan cerita tentang perjuanganku menjadi Ibu. Semoga Bunda sekalian berkenan untuk membacanya. Saat itu bulan Maret 2020 tepat satu tahun usia pernikahanku dan suamiku. Tuhan memberikan hadiah berupa malaikat kecil dalam rahimku. Kami sangat bahagia karena doa kami dikabulkan untuk memiliki anak tahun ini. Aku melewati trimester pertama kehamilanku dengan mual dan muntah setiap hari. Tentu saja sulit makan dan berat badanku turun 5Kg. Aku menjadi berpikir kembali, betapa hebatnya seorang Ibu. Sejak awal kehamilan saja, mereka harus berjuang melawan mual muntah itu tetapi harus tetap menjaga nutrisi untuk janinnya. Pada trimester kedua, kehamilanku terasa sangat menyenangkan. Aku sangat nyaman karena bisa makan apapun yang aku suka dan bisa beraktifitas seperti biasa. Bahkan aku kuat melakukan perjalanan jauh menggunakan motor. Memasuki usia 7 bulan, setelah melakukan syukuran 7 bulanan. Aku mulai membeli perlengkapan untuk menyambut anakku nanti. Aku sangat bersemangat, rasanya ingin membeli semuanya. Suatu malam di bulan September, aku mengalami sakit ulu hati yang luar biasa dan sakitnya menjalar sampai tulang belakang. Aku ingat itu pukul 12 malam, aku dan suamiku berkeliling mencari klinik yang masih buka tetapi tidak ada. Terpaksa aku menahan sakit semalaman tanpa bisa tidur. Esoknya kami pergi ke klinik dan diberi obat oleh dokter. 2 hari aku minum obat tersebut tetapi tidak ada perubahan, aku tetap sakit dan tetap tidak bisa tidur setiap malam. Akhirnya kami pergi ke UGD rumah sakit. Akupun diperiksa kemudian dokter mengatakan aku harus dirawat inap. Saat itu usia kandunganku 33 minggu. Selama dirawat kondisi anakku selalu di periksa. Akupun diberi obat penguat paru untuk persiapan jikalau anakku akan lahir saat itu. Aku sangat cemas memikirkan anakku akan lahir saat itu. Aku selalu berbicara kepada anakku agar bersabar sebentar lagi untuk bertemu aku dan suamiku. Beruntung setelah 4 hari dirawat, dokter membolehkan aku pulang. 29 Oktober 2020 jadwalku kontrol ke dokter. Dokter mengatakan kepala anakku belum masuk panggul, sehingga disarankan untuk datang kembali minggu depan. Pukul 11 malam di hari yang sama, aku mengalami sakit perut dan pinggang. Rasanya tidak karuan, mulas, panas, sakit. Aku bulak balik ke kamar mandi untuk BAB tetapi tidak bisa keluar. Aku tidak tahu kalau itu kontraksi, karena aku berpikir akan melahirkan minggu depan. Sepanjang malam aku merasakan sakit itu, hingga setelah sholat subuh keluar lendir darah dari vaginaku. Aku dan suamiku langsung pergi ke rumah sakit naik motor agar terhindar dari macet. Jam 6 pagi aku sampai rumah sakit, ketubanku langsung pecah. Ketika di periksa ternyata sudah pembukaan lengkap. Tetapi karena kepala anakku masih jauh, akhirnya aku di induksi. Aku merasakan mulas yang luar biasa, tidak pernah aku merasakan sakit seperti itu. Ketika kepala anakku sudah dekat, aku mulai bersiap untuk melahirkan. Aku mengejan sekuat tenaga tetapi masih sulit keluar. Aku dipaksa untuk melahirkan dengan cepat karena air ketubanku keruh. Akhirnya jalan lahirku dirobek dan perutku di tekan untuk mendorong bayi keluar. Tepat jam 9.15 pagi tanggal 30 Oktober 2020 anakku lahir, aku sangat bahagia aku bisa mendengar tangisannya. Saat vaginaku dijahit, anakku langsung dibawa ke ruang observasi karena terlahir dengan badan yang biru dan harus dibantu oksigen. Aku tidak sempat melihatnya tetapi aku mendengar suster mengatakan kepala anakku benjol. Aku sangat cemas dengan kondisi anakku, ada perasaan menyesal dan berpikir andai aku minta melahirkan secara caesar mungkin ini tidak akan terjadi. Esok sorenya suster membawa anakku ke kamar rawat dan aku diperbolehkan pulang. Aku sangat bersyukur karena anakku baik-baik saja. Aku menjalani hariku sebagai Ibu baru, terjaga sepanjang malam. ASIku tidak keluar sama sekali sehingga anakku diberi susu formula. 2 minggu kemudian di bulan November, disaat aku masih berusaha keras agar bisa menyusui anakku dengan ASI yang masih sedikit dan anakku yang bingung puting. Aku harus menjalani operasi penjahitan ulang, karena ada pembengkakan pada vaginaku. Aku datang ke rumah sakit jam 8 pagi karena jadwal operasiku jam 12 siang. Sebelum operasi aku diambil darah, di infus dan suntik dibawah kulit entah untuk apa, tetapi rasanya lebih sakit daripada infus. Tiba saat operasiku, aku sudah berganti pakaian. Dibawa masuk ke ruang operasi kemudian disuntikan bius melalui tulang belakang. Setelah itu rasanya setengah badanku kebas. Selama operasi aku tidak merasakan sakit, hanya terasa sangat dingin hingga menggigil. Operasi selesai, dokter menunjukan gumpalan darah yang sudah dikeluarkan. Akupun langsung dibawa ke ruang pemulihan, menunggu hingga aku bisa menggerakan kakiku. Jam 4 sore aku sudah pindah ke kamar rawat. Aku masih tidak merasakan sakit sedikitpun. Sampai ketika biusnya sudah hilang, rasa sakitnya mulai muncul. Rasanya sangat sakit seperti di iris-iris dengan silet, bahkan obat pereda nyeri yang diberikan pun tidak dapat membantu. Aku menangis sepanjang malam hingga mataku bengkak. Setelah 3 hari dirawat, aku diperbolehkan pulang. Selama dirumah semua keperluanku diurusi oleh suamiku, ibu mertua dan ibuku yang menginap. Aku hanya bisa di atas kasur, dan berjalan hanya untuk ke kamar mandi saja karena rasanya sangat sakit. Berhari-hari seperti itu, tiap minggu aku check up ke rumah sakit tetapi masih harus terus kembali datang. Aku ingat saat itu aku sangat frustasi, aku sangat lelah menjalani kehidupan seperti ini. Aku seperti orang lumpuh tidak bisa berbuat apa-apa dan malah merepotkan keluargaku. Aku lelah setiap hari menahan sakit, aku lelah makan telor 6 butir sehari, minum obat, makan sayur buah dan bulak balik ke rumah sakit. Aku tertekan karena tidak bisa memberikan ASI kepada anakku, aku tidak bisa menggendong dia saat dia nangis dan malah aku ikutan nangis. Apalagi omongan orang yang membandingkan kondisiku yang masih sakit dengan kondisi tetanggaku yang sudah sehat walaupun baru seminggu melahirkan. Rasanya aku sangat muak, aku lelah, aku ingin mati saja. Aku berpikir kenapa aku tidak mati saja pada saat melahirkan? Pasti aku tidak akan merasakan seperti ini. Aku mencari cara bagaimana caranya aku bisa bunuh diri. Disaat kondisiku yang kacau balau seperti itu. Aku mendapat kabar bahwa sahabatku meninggal dunia. Aku sangat syok dan menangis sejadi-jadinya. Aku menunggu dia yang katanya akan datang ke rumah, tetapi dia sudah pergi lebih dulu. Padahal dia adalah orang yang paling excited dengan kehamilanku. Berhari-hari perasaanku tak karuan, rasanya sakit sekali kehilangan sahabatku. Hingga akhirnya aku berpikir bagaimana jika aku mati? Apakah anakku, suamiku, ibuku akan merasakan sakit seperti rasa sakitku sekarang? Kehilangan orang yang sangat disayang. Aku tidak mau mereka merasakan seperti yang aku rasakan. Sejak saat itu aku tidak ingin mati, aku tidak menyesal sudah mengalami semua hal ini. Sejak saat itu, aku bersemangat untuk cepat pulih agar bisa menjadi Ibu yang hebat untuk anakku. Walaupun sekarang aku masih merasakan sakit, tetapi aku sudah mulai bisa beraktifitas dan merawat anakku. Akupun sudah mulai bisa mengASIhi meski masih dibantu susu formula. Aku menyadari apa yang sudah terjadi kepadaku adalah takdir. Dan sekarang aku sudah tidak menyesal. Aku sangat berterima kasih kepada sahabatku, bahkan hingga akhir hayatnya dia tetap menjadi penyemangat untukku. Kepergiannya ternyata menyelamatkan hidupku. Semoga aku bisa menjadi #Ibujuara untuk anakku, seperti dia yang sudah menjadi anak juara karena sudah berjuang bersamaku selama ini.
Read more