Setiap kehamilan adalah anugerah yang harus senantiasa di syukuri. Dan Alhamdulillah, Allah anugerahkan hal itu kepadaku dua bulan setelah aku menikah. Rasanya tentu sangat bahagia. Namun ternyata bahagia tak datang sendirian, ia datang dengan rasa penyerta lainnya. Rasa takut, dan kecemasan juga ikut menyelimuti hati, meski kadarnya tak sampai menutupi kebahagiaanku. Takut, Ya ketakutan itu menghampiriku sebagai calon ibu. Rasanya aku belum cukup siap untuk menyandang gelar ibu. Pertanyaan seperti "apa aku cukup pantas menjadi seorang ibu? Bagaimana jika tak bisa menjadi ibu yang baik untuk anaku? Bagaimana nanti aku mendidik anaku?" Pertanyaan-pertanyaan seperti itu menghampiri kepalaku. Di samping menjalani peran dalam drama kehamilan yang menuntut kesabaran lebih, aku sebisa mungkin memberdayakan diri dengan menyiapkan bekal untuk proses persalinan dan setelahnya. Berbagai macam literatur tentang kehamilan dan persalinan selesai aku baca. Aku beralih menonton video-video seputar parenting. Sampai aku kemudian harus belajar lagi matematika dasar demi menyiapkan yg terbaik bagi anaku kelak. Ya aku ingin menjadi sekolah pertama bagi anakku. Di sela pekerjaan yang agak santai karena pandemi, di kantor aku menyibukkan diri dengan soal-soal matematika dasar kelas 4 SD, karena aku tau aku lemah dalam matematika, maka aku ingin membekali diri untuk anakku. Sesekali sambil menonton video-video tentang parenting. Dan masa kehamilan itupun sampai di batas waktunya. Setelah melalui 38 Minggu perjuangan hamil, morning sickness, mood swing dan semacamnya, aku melahirkan tepat di 38 Minggu. Proses persalinan tak begitu mulus. Aku harus melalui berbagai perdebatan dan pergolakan batin karena mertua. Sakitnya kontraksi tak lebih sakit dari sakitnya hati karena perkataan mertua. Ah, rasa sakit yang berlipat-lipat. Meski begitu, Alhamdulillaah, anakku berhasil lahir dengan tanpa kekurangan satu apapun. Setelah melahirkan dan mendekap anakku. Kehidupan setelahnya ternyata tak begitu mudah, tidak hanya seorang bayi yang harus beradaptasi dengan dunia barunya, ternyata ibupun harus banyak menyesuaikan diri dengan status barunya. Saat badan rasanya remuk karena proses persalinan, aku harus merawat bayiku seorang diri. Terjaga setiap malam, kurang tidur, sampai membuat badanku pada akhirnya harus tumbang. Dalam merawat anak, teori-teori yang telah aku pelajari rasanya masih belum cukup banyak untuk membuatku siap dalam merawatnya. Meski begitu, dengan segala keterbatasanku aku terus belajar untuk menjadi ibu yang baik bagi anaku. Menjadi ibu juara bagi anaku. Aku ingin memaksimalkan peranku, peran sebagai ibu juara bagi anak juara. Ya, dan aku akan berperan untuknya sebagai ibu, pengajar, konselor, dokter, penghibur dan menjadi sekolah bagi anakku. Semua peran itu tak sekaligus aku bisa memainkannya. Sebelumnya aku perlu belajar bagaimana memerankannya. Makanya, bagiku, setiap ibu adalah juara. Memang tidak ada ibu yang sempurna, yang ada adalah ibu yang senantiasa menjadi pembelajar. Belajar menjadi #Ibujuara
Read moreMy Orders