#ibujuara Aku mengambil selembar kertas lipat berwarna biru dari atas meja. Melipat, dan membentuknya menjadi sebuah perahu kertas. Kulangkahkan kaki ke sebuah sungai yang tak jauh dari rumah. Sungai itu mengalir tenang dan membawa perahu kertas yang kuletakkan perlahan di atasnya. Aku mengamati lamat-lamat perahu kertas yang melaju perlahan, kemudian semakin menjauh dariku. Aku merasa, segala sesuatu dalam hidup ini harus direncanakan. Pepatah mengatakan, gagal merencanakan sama dengan merencanakan kegagalan. Aku sangat meyakini itu. Sejak duduk di bangku kelas 4 SD, guruku pernah mengatakan bahwa menuliskan rencana kita sekecil apapun akan sangat membantu kehidupan kita. Aku mengaplikasikannya hingga lulus kuliah bahkan sampai setelah menikah. Merencanakan itu benar-benar membuat hidup kita menjadi semakin terarah. Layaknya perahu kertas yang aku layarkan ke atas sungai yang mengalir tenang. Letak sungai yang sudah aku tetapkan dan rencanakan sebelumnya bagaimana ketenangan airnya hingga mampu membuat perahuku melaju lancar tanpa hambatan di atasnya. Ketebalan kertas lipat juga aku pastikan akan mampu melaju tanpa takut bocor di sisi kanan kirinya. Demikian juga dengan bebatuan di sekitar sungai yang sudah aku yakini tidak akan mengganggu laju perahu kertasku. 30 Maret 2019, aku menikah dengan kekasihku setelah menjalin hubungan jarak jauh selama lima tahun lamanya. Aku sangat bersemangat, layaknya sebuah tim dalam organisasi yang sibuk merencanakan program kerja ke depannya. Arga, suamiku yang tak pandai mengungkapkan kata-kata romantis namun selalu siaga ketika dibutuhkan. Ia mengekspresikan rasa cinta dan sayang lewat tindakan yang kadang membuatku terharu. Aku percaya, dengan merencanakan setiap detail akan memudahkan kami dalam membuat pencapaian-pencapaian dalam pernikahan. Karena bagiku, perencanaan adalah kunci keberhasilan dalam hidup. Lantas, kucatat perencanaanku ingin mempunyai anak sebagaimana pasangan suami istri pada umumnya yang menginginkan anak selepas menikah. 2019 anak pertama, diberi jarak 2 tahun yakni 2021 ingin lahir anak kedua. Kemudian mengejar cita-cita kuliah S2, dan seterusnya. Man Jadda Wa Jada, Barang siapa yang bersungguh-sungguh maka dapatlah ia. Kalimat itu yang menjadi pedoman dalam hidupku. Tapi aku lupa. Ada hal-hal dalam hidup yang tidak bisa kita jangkau. Seperti angin kencang yang tiba-tiba menghembus perahu kertas itu. Ditambah gerimis yang mulai turun dan berganti menjadi hujan lebat tanpa ampun. Arus sungai yang semula tenang menjadi semakin deras. Kita menginginkan perahu kertas pergi ke arah yang kita inginkan. Namun arus yang deras membuatnya semakin melaju ke arah yang berlawanan dari arah yang kita inginkan sebelumnya. Bahkan jika dipaksa melawan arus ke arah yang kita inginkan, perahu itu akan menjadi semakin terombang-ambing dalam ketidak berdayaan. Di sini kisahku dimulai. Perahu kertas yang berusaha tetap berdiri kokoh di arus kehidupan yang dahsyat. ***** Maret 2020 Setahun sudah pernikahanku. Berbagai pertanyaan, “Sudah ngisi?” rasanya sudah kebal aku jawab dengan berbagai kalimat. Dari mohon doanya, masih menikmati masa pacaran dengan suami, dan lain sebagainya. Setiap pertemuan di acara pernikahan, halal bihalal, dan berbagai acara lainnya selalu pertanyaan itu saja yang terlontar. Seakan-akan tidak ada pertanyaan lain yang bisa diucapkan selain pertanyaan “Sudah ngisi?”. Memang, aku dan Arga sangat menikmati masa-masa pacaran halal seperti ini, belum disibukkan mengurus bayi, dan peran Ibu yang pastinya jauh lebih sibuk dari sekarang. Aku dan Arga merasa berdua itu indah, tapi tidak bisa dipungkiri, tetap saja merasa seperti ada yang kurang lengkap jika belum hadir buah hati di antara kami. Penyakit Covid-19 yang berasal dari virus corona mulai menyebar ke beberapa negara, juga memasuki negara Indonesia. Berita heboh di mana-mana membahas betapa menyeramkannya penyakit tersebut. Beberapa wilayah mulai memberlakukan PSBB, WFH, juga beberapa sekolah diberlakukan pembelajaran secara online. Hal itu juga berdampak bagi tempat kerjaku di sekolah, yang juga mulai diberlakukan online bagi murid, dan pemberlakuan piket bagi guru tiga hari dalam seminggu ke sekolah. Namun hal ini tidak berlaku bagi Arga yang memang petugas medis, sebagai radiografer di rumah sakit tempatnya bekerja. Walau begitu, setidaknya salah satu dari kami tidak kelelahan bekerja dan berharap bisa melakukan program hamil dengan lancar. Bulan April, aku mendapati dua garis positif. Betapa bersyukurnya aku dan Arga. Kami benar-benar menyambutnya dengan baik. Melakukan kontrol rutin ke dokter kandungan, mencatat makanan apa saja yang baik bagi Ibu hamil dan apa saja pantangannya, menghindari aktivitas yang tidak boleh dilakukan Ibu hamil, apa saja aku lakukan untuk kesehatan bayiku. Dokter berkata bahwa aku akan melahirkan pada saat Hari Ibu, 22 Desember 2020 mendatang. Aku sudah membayangkan betapa bahagianya aku mendapat hadiah terindah menjadi seorang Ibu tepat di peringatan Hari Ibu tiba. Juli 2020 Sejak bulan Juni, sekolah mulai aktif dan memberlakukan peraturan guru wajib melakukan pembelajaran online di sekolah. Sekolah juga mulai disibukkan dengan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan anak baru dan juga pengerjaan RPP. Begitu merasa lelah, aku merebahkan diri di UKS, kadang di kelas. Tapi kalau sudah terlanjur begitu banyak pekerjaan yang menanti, aku tak memiliki banyak waktu untuk beristirahat di sekolah sehingga aku harus merapelnya ketika di rumah. Yang terpenting aku berusaha bagaimana caranya agar pekerjaan sekolah dapat selesai dengan baik. Sekolah tempatku bekerja adalah sekolah inklusi yang baru berdiri dua tahun. Sekolahku memiliki idealis yang sangat tinggi, ingin berbeda dengan sekolah lainnya. Jika sekolah lain menggunakan buku, maka sekolah ini bagi kelas 1-3 SD tidak menggunakan buku. Sebagai gantinya, para guru membuat rangkuman dan soal dalam bentuk lembaran yang kami buat sendiri, dan kami print sendiri dengan warna-warna yang menarik. Pikiran, tenaga, dan waktu yang menjadi sangat terkuras karenanya. Tak jarang kami pulang terlambat karena pekerjaan sekolah yang belum selesai. Dua hari ini aku pulang terlambat dari sekolah karena ada pekerjaan mendadak dan harus cepat kuselesaikan. Padahal sebelumnya aku sudah bertekad bulat agar pulang tepat waktu dari sekolah untuk mengistirahatkan bayi di perut. Tapi sayangnya tidak bisa. Di rumah pun ada pekerjaan sekolah yang juga harus diselesaikan, seperti mengoreksi tugas-tugas yang dikerjakan online oleh murid-murid. Aku berfikir, tidak apa-apa, harus kuat. Masa’ Allah tidak melancarkan urusan hamba-Nya yang ingin berbuat baik? Aku juga berharap semoga semua lelah, letih dapat menghadirkan berkah yang mengalir ke bayi di perutku. Keesokan harinya, perutku terasa kram. Arga melarangku masuk sekolah. Aku diminta bedrest di rumah. Setelah bedrest selama dua hari dan merasa kesehatanku membaik, aku masuk sekolah. “Ustadzah Erin bagaimana kabarnya? Wah kelihatan segar ya..,” sambut Mama Eca, wali murid yang setahun sebelumnya kuajar. Kulihat beberapa wali murid lainnya yang kuajar setahun sebelumnya berdiri di sebelah Mama Eca. Mereka tampak seperti ‘reunian’. Wali murid-wali murid itu sudah kuanggap seperti saudara dekat yang kuhormati. “Alhamdulillah ma..,” jawabku menyimpulkan seutas senyuman. “Sudah berapa bulan ustadzah? Wah sudah mulai kelihatan besar yaa perutnya,” timpal Mama Nashwa seraya mengelus lembut perutku yang terlihat semakin membuncit. “Alhamdulillah lima bulan Ma.. Mohon doanya ya ma..,” Aku merasa bahagia dengan kehamilanku. Begitu banyak orang yang juga ikut menyayanginya walau belum melihat wajahnya secara langsung. ***** 25 Juli 2020 Mentari pagi bersinar cerah. Aku dan Arga sudah bersiap-siap akan pergi ke Pacet untuk menghadiri acara keluarga di sebuah taman. Aku benar-benar menikmati perjalanan dengan mengendarai sepeda motor. Menghirup udara segar, memandangi indahnya pepohonan, sawah, gunung yang menjulang, lika-liku jalan, sungguh pemandangan yang amat menakjubkan. Aku dan Arga yang datang lebih dulu, bahkan sebelum taman itu dibuka. Begitu loket dibuka, kami membeli tiket masuk. Kemudian kami menghabiskan waktu berjalan-jalan mengitari taman dan tempat bermain. Arga memintaku duduk di tempat bermain yang berbentuk melingkar dan terdapat setir di tengahnya. Kemudian aku duduk berhadapan dengan Arga. Lalu Arga memutarnya. Layaknya anak kecil, kami terus keasyikan bermain di dalamnya sambil mengajak ngobrol adik bayi dalam perut. Kami sangat menyayanginya, dengan sering mengajaknya mengobrol, bermain, membacakan kisah-kisah Nabi, dongeng, bermusik, dan banyak hal lainnya. Karena kami yakin, ada banyak manfaat pendidikan yang diberikan kepada bayi sejak ia masih berada dalam kandungan. Setelah puas bermain di tempat bermain, kami menjelajahi jalan lainnya. Menghirup hawa sejuk sambil terus bergandengan tangan. “Sayang, ini seperti babymoon aja yaa.?” tanyaku riang. “Ah masa?” goda Arga. “Iya, babymoon mini.. Adeknya itu seneng banget diajak jalan-jalan. Iya dek ya?” tanyaku sembari mengelus perut lembut. “Mbak Erin, Mas Argaa!” dari arah kejauhan terdengar suara Metha dan Titha adik-adikku yang baru saja sampai di taman. Mereka dengan riangnya berlari hendak menyusulku. 26 Juli 2020 Jam sudah menunjukkan pukul 12.30. Sudah tiga jam lebih kami menunggu kedatangan dokter kandungan yang masih melakukan operasi terhadap pasien lainnya. Kamipun memutuskan untuk meninggalkan rumah sakit sejenak, berjalan ke masjid terdekat, dan melaksanakan sholat Dzuhur. Kemudian kami membeli makan siang di depan rumah sakit karena perut yang semakin lapar. “Kira-kira bayinya cewek apa cowok ya? Usia segini sudah bisa kelihatan lho jenis kelaminnya,” ujarku antusias pada Arga. Kami menyantap ayam geprek di depan rumah sakit dengan lahap. “Kalau bayinya cowok, nanti kayak aku. Suka main game, nggak suka jalan-jalan. Lebih sukanya di rumah,” ujar Arga. “Yah nanti kuajak jalan-jalan,” sahutku. “Nanti kuajak main game terus aja di rumah,” timpal Arga tak mau kalah. Kami terus tertawa dan saling meledek. Setelah menghabiskan makanan, kami berjalan kembali ke rumah sakit. Selang beberapa saat kemudian Dokter Vino, dokter kandungan yang sudah dinanti datang. “Ibu Erin..,” Seketika hatiku loncat saat perawat memanggil namaku. Setengah berlari, aku memasuki ruangan. Karena sedang pandemi Covid-19, aku memasuki ruangan sendirian. Arga tidak diperbolehkan masuk sehingga ia harus menunggu di depan ruangan. “Sambil divideo nggak apa-apa bu..,” kata Dokter Vino ramah. Aku bersemangat meraih handphone dan siap memvideo layar USG di hadapanku. “Anaknya lagi ngapain dok?” tanyaku penasaran sambil terus memvideo layar USG. “Lagi bengong ini..,” jawab Dokter Vino sambil menggerakkan alat USG ke permukaan perut. Aku tertawa kecil mendengarnya. Tersenyum melihat organ tubuh bayi yang lengkap terekam dalam layar. Masya Allah, makhluk kecil yang sudah kucintai jauh sebelum kudipertemukan langsung dengannya. Kemudian Dokter Vino mengatur alat di sampingnya untuk mendeteksi jantung bayi dalam kandungan. “Kok nggak menemukan denyut jantungnya ya?” Dokter Vino berulang kali mengusap-usap perut dengan alatnya berusaha menjangkau suara denyut jantung bayi, namun tak jua menemukan. Nafasku tertahan. Rekaman video seketika kuhentikan dan kuletakkan di sampingku karena genggaman tangan yang mendadak lemas tak berdaya. Bersiap mendengar perkataan dokter selanjutnya. Aku salah dengar kan? Setiap kontrol ke dokter kandungan, hal yang paling membuatku antusias adalah saat mendengar detak jantung bayi. Betapa besarnya Allah menciptakan makhluk di dalam tubuhku dengan penciptaan yang luar biasa. Aku selalu takjub dengan Kuasa Allah, dengan detak jantung yang dapat terdengar, selalu membuatku bersemangat. Tapi sekarang aku tidak bisa mendengar detak jantungnya lagi. “Sudah lima harian ini bu nggak ada..,” sudah lima harian? Bahkan saat wali murid mengelus perutku, mengatakan perutku yang semakin membesar, saat aku menganggap babymoon kecil di Pacet ternyata bayi dalam kandunganku sudah meninggal dunia? Lidahku kelu. Tak sanggup berkata-kata. Genangan air mata berebut menampakkan diri di bola mataku. Kemudian Arga dipanggil masuk ruangan. Kami duduk berdampingan mendengarkan saran dokter. Rasanya aku sudah tidak fokus lagi. Seperti tidak percaya rasanya, kenapa begitu cepat ia pergi di usia kehamilanku lima bulan? Sayup-sayup aku hanya mendengar dokter yang mengatakan bahwa aku akan melahirkan secara normal dengan bantuan medis. Kalau tidak bisa dilahirkan secara normal baru disecar. Tunggu, maksudnya melahirkan secara normal, bayiku lahir prematur kah? Aku akan melahirkan bayi hidup kan? Tapi tadi kata dokter tidak menemukan detak jantung. Aku tidak sanggup menahan air mataku lagi. Tangisku pecah. Air mataku terus mengalir tanpa henti. Arga segera menghubungi orang tua kami. Tak butuh waktu lama lagi bagi Ibu, Ayah, dan adik untuk segera menemuiku. Aku berlari menghambur dan memeluk Ibu. Air mataku tumpah seketika. Kami tenggelam dalam derasnya tangis. Tidak lama kemudian mertuaku datang. Terlihat sorot mata yang menyiratkan kesedihan. Setelah mengurus administrasi, aku dibawa ke UGD untuk diinfus. Selang beberapa saat kemudian aku dibawa ke ruang bersalin. Ruangan yang sangat asing bagiku. Di setiap bilik terdapat beberapa pasien yang akan melahirkan. Aku kini terbaring di sebuah bilik sempit dengan gorden hijau sebagai pembatas antara satu pasien dengan pasien lainnya. Aku menatap langit-langit kamar dan dinding yang putih. Semua itu lengkap menambah keresahan hati. Sesekali terdengar suara tangis bayi dalam keheningan malam. Aku tersadar, suara tangis bayi itu berasal dari ruangan bayi yang terletak di depan kamar bersalin tepat. Hatiku semakin tersayat. Sesekali aku mendengar alat USG yang didorong ke bilik lain, ke Ibu hamil yang sedang menunggu detik-detik kelahiran bayinya. “Bu ini saya nggak di-USG lagi ta bu? Barangkali ada keajaiban bayi saya masih hidup..,” tanyaku penuh harap ke perawat yang hendak memasukkan obat ke dalam infus. Aku berharap perawat mengambil alat USG seperti pasien lainnya. Namun perawat itu hanya tersenyum dan menggelengkan kepala, “Tidak bu..,” Jawabnya singkat. 27 Juli 2020 Pukul satu dini hari, perawat datang hendak memberi obat induksi yang akan dimasukkan ke bagian bawah tubuhku. Ini adalah obat induksiku yang kedua. Kata perawat, ada tiga obat induksi yang harus dimasukkan secara bertahap sebelum akhirnya aku benar-benar melahirkan bayi tersebut. Tujuannya agar perutku mengalami kontraksi kemudian dapat melahirkan bayi dengan mudah. Rasanya begitu sakit. Sakit secara fisik maupun psikis. Air mataku terus mengalir. Sungguh teramat menyakitkan. Salah satu perawat berbadan sedikit gemuk menghampiriku lagi. “Sakit ta bu?” “Sekarang nangis karena kehilangan bu..,” kataku di tengah isak air mata. Kenapa bayi itu harus dikeluarkan? Biar saja bayi itu bersama-sama dengan Ibunya di sini. Aku benar-benar tidak bisa tidur pulas seharian, merasakan perutku yang semakin nyeri. Hingga akhirnya waktu itu tiba. Pukul dua siang aku mulai mengalami pendarahan dan merasakan ada sesuatu yang akan keluar dari bagian tubuh bawahku. Bidan datang dan mengatakan bahwa ini sudah saatnya. Aku diminta mengejan, katanya sama seperti ketika buang air besar. Setiap tarikan dan hembusan nafas, aku berpikir harus bisa merelakan rasa sakitku agar bayi itu bisa segera disholatkan kemudian dimakamkan. Agar ia bisa lebih tenang di alam sana. “Pinter bu, terus bu, terus..,” ujar bidan menyemangati. Bayi itupun keluar. Aku tersenyum senang, akhirnya bisa melahirkan bayi secara normal. “Bayinya laki atau perempuan bu?” tanyaku antusias. “Bayinya laki-laki bu..,” aku tersenyum senang. Aku dan Arga saling bertatapan mata. Bayinya laki-laki, seperti yang kami harapkan sebelumnya. Namun senyumanku perlahan bergantikan dengan tangis pilu. Hati yang sudah kutata sedari awal rasanya runtuh begitu saja. Memang, aku bahagia seperti mama-mama lainnya yang melahirkan bayi. Tapi jika mama yang lain melahirkan bayi dengan tangisan, aku tidak. Aku tidak mendengar tangisnya, tidak mendengar desah nafasnya. Bayi itu dibersihkan. Aku dan Arga berpelukan. Air mataku mengalir deras membasahi bahunya. Arga tidak berucap sepatah katapun, tidak juga meneteskan air mata. Tapi aku tahu, dia berusaha menyembunyikan semua perihnya untuk menguatkanku. Kami memberi nama bayi itu Muhammad Avicenna. Avicenna adalah nama lain dari Ibnu Sina, tokoh Muslim yang merupakan dokter di zaman keemasan Peradaban Islam, dengan harapan kelak Avicenna yang mengobati hati Ayah Ibunya dengan mengajak kami ke Surga-Nya kelak. ***** 15 Desember 2020 Tak terasa lima bulan sudah anak kami pergi untuk selamanya. Aku dan Arga duduk di balkon rumah menikmati secangkir coklat hangat. “Pean tegar ya sayang..” pujiku memecah keheningan. “Tidak seperti yang kamu pikirkan. Sewaktu aku menggendong jenazah bayi dan mengantarnya hingga ke pemakaman.. Hatiku hancur, sedih. Itu adalah saat aku bisa melihat anak kita untuk yang terakhir kalinya. Perpisahan yang sesungguhnya..,” kata Arga. “Tapi anak kita nggak benar-benar pergi kok. Dia hanya berbeda alam saja dengan kita,” lanjutnya lagi. Ia menyeruput coklat hangat yang nikmat. Aku mengangguk, setuju. Begitu berat ikhlas melepas anak yang pergi untuk selamanya, apalagi mengingat usia kehamilan yang tinggal beberapa bulan lagi akan lahir ke dunia. Akupun menyadari bahwa jika ia masih ada, seminggu lagi ia akan lahir ke dunia tepat di peringatan hari Ibu, 22 Desember 2020 mendatang. Harusnya seminggu lagi aku bisa menggendongnya, melihat senyuman di wajahnya. Kedua bola mataku mengembun. Hatiku semakin teriris mengingatnya. “Sayang, padahal aku berharap berkah guru mengalir ke anak kita. Tapi kenapa anak kita malah pergi?” Aku menghela nafas. “Ya karena saking banyaknya berkah, saking lancarnya sampai ke Surga..,” Jawab Arga seakan tanpa beban. Aku terdiam sesaat. Benar juga. Justru harusnya aku bersyukur, tidak semua orang diberi kesempatan memiliki bayi meninggal seperti yang kualami. Bayi yang meninggal nantinya akan menjadi penolong bagi orang tuanya di akhirat kelak, tentu saja jika orang tuanya bisa bersabar dan ikhlas menerima. Aku tersadar. Man Jadda Wa Jada saja belumlah cukup. Bersungguh-sungguh dalam perencanaan belumlah lengkap jika tidak diiringi dengan kesabaran. Masih ada satu hal lagi yang penting dalam hidup, yakni Man Shobaro Dhofiro, barang siapa yang bersabar, maka beruntunglah ia. Semua yang terjadi adalah yang terbaik dari Allah, selalu ada hikmah di baliknya yang bisa kita ambil hari ini, esok, atau nanti. Semburat jingga terbias di langit barat dengan indahnya. Sang surya seolah hendak melambai, berucap sampai jumpa sebelum tenggelam. Angin bertiup menyegarkan. Mungkin begitulah cara Allah menciptakan senja yang indah sebagai penutup hari, untuk menghilangkan penat, juga mendamaikan hati yang lelah. #ibujuara #kisahnyata #firstbaby #pregnancy #iufd #bayimeninggaldalamkandungan #truestory #kisahsedih #Ikhlas #hariibu #lombahariibu #kompetisihariibu #asianparentsindonesia #AsianParents #SeputarBunda #seputarbunda
Read moreMy Orders