Tentang Prematuritas dan ASI
Sebenarnya ini bukan anak pertamaku. Ini kehamilan dan kelahiran keduaku. Namun anak pertamaku harus kembali ke sang Pencipta bahkan sebelum aku bisa mendengar suara tangisannya. Aku didiagnosa pre-eklampsia berat saat usia kehamilan menginjak usia 24 minggu. Dan anakku hanya bertahan hingga usia 28 minggu dengan segala gangguan pertumbuhannya. Betapa tidak saat ia lahir, beratnya hanya berkisar setengah kilo. Ia lahir dalam keadaan tak lagi bernyawa. Selang 10 bulan setelah kejadian itu, aku kembali diberi amanah untuk hamil. Kali ini aku bertekad untuk lebih waspada terhadap kondisiku, aku memutuskan mengambil cuti lebih awal. Aku sebenarnya seorang ibu pekerja, namun sedang menjalani tugas belajar sebagai seorang residen di salah satu universitas. Residen yang kumaksud adalah nama lain dari mahasiswa ppds, pendidikan lanjutan bagi dokter untuk mengambil gelar spesialis. Sekedar untuk wawasan, residensi ini berbasis praktik langsung di rumah sakit namun tetap dengan tugas-tugas layaknya mahasiswa, seperti membuat laporan, makalah, dan sebagainya. Alhasil aku memutuskan untuk Stop Out 1 semester, lebih awal, saat usia kehamilanku baru mencapai 12 minggu. Sebetulnya aku sudah siap dengan risiko kembali terkena preeklampsia. Dan ternyata benar, di usia kehamilan 31 minggu, aku kembali didiagnosa preeklampsia, masih ringan saat itu. Aku diberi tenggat sampai usia 37 minggu untuk melahirkan. Aku istirahat, konsumsi obat, mengurangi garam, dan makan banyak karbohidrat. Ternyata, di usia 34 minggu tekanan darahku naik tidak terkendali, mencapai 200/100 mmhg kalau aku tidak salah ingat. Dan hari itu juga aku melahirkan secara sesar. Bayiku lahir prematur, 34-35 minggu, dengan berat 2090gr, kecil tentu saja. BBLR istilah medisnya. Karena sempat sesak napas karena paru-paru belum matang, bayiku sempat dirawat di NICU selama beberapa hari. Muncullah drama baru, 24 jam ASI belum keluar juga. Saat itu bayiku masih puasa, semua kebutuhan cairan (dan gula) didapat dari infus. Keesokannya ku coba pumping, setetes dua tetes, paling banyak 5cc. Sementara bayiku mulai kelaparan, mulai menguning. Kebutuhan minumnya sudah tak sesuai dengan hasil pumpingku. Dan akhirnya dokter anak pun terpaksa memberi tambahan susu formula, susu formula khusus bayi berat badan rendah. Sedih. Tentu saja. Padahal aku sudah berniat ASI ekslusif. Namun apa boleh buat, aku sudah berusaha, hasil pumping masih tak lebih dari 5 cc per 3 jamnya. Dua hari kemudian kami diperbolehkan pulang, sambil menunggu pulang, aku kembali belajar menyusui. Aku dan bayiku sama-sama belajar. Aku belajar perlekatan, dia belajar menghisap. Dan alhamdulillah berhasil. Anakku juga langsung lepas susu formula hari itu juga. Satu bulan, dua bulan, tiga bulan. Di usia 3 bulan, berat badannya sudah mencapai 5kg, sudah tidak terlalu nampak bahwa dia lahir prematur dan berat badan rendah. Dan di usia 1 bulan aku kembali masuk residensi. Selama residensi aku pumping rutin tiap 3-4 jam. Kadang aku hampir tak peduli sedang ada dimana. Yang penting aku bawa tas asi dan apron kemana-mana. Saat ini anakku sudah 15 bulan, masih ASI dan tanpa susu formula. Pumping? Tentu saja. Selain untuk stok ASIP, juga agar produksi ASI tetap terjaga. Tumbuh kembang anakku juga sesuai usianya, sesuai target capaian rentang usianya. Aku bukan tipe yang memaksakan diri untuk memberi asi, atau tipe yang anti dengan susu formula. Namun apabila kita bisa mengASIhi, tentu itu lebih baik. Hanya saja mengASIhi butuh ilmu juga proses belajar. Saat diniatkan untuk bisa memberi yang terbaik, maka segala cara akan dilakukan. Meski itu dengan banyak pengorbanan waktu, pikiran, dan tenaga. MengASIhi butuh niat, tekad, dan nekad. Mari upayakan ASI untuk generASI yang lebih baik. #PentingnyaMengASIhiTAP Foto 1: usia 5 hari (2 kg) Foto 2: usia 2,5 bulan (kisaran 5 kg)
neurolog/ preemie baby's mom