Pengkhianatan Bukan Hanya Perkara Perselingkuhan, Finansial Pun Termasuk
#KesehatanMentalTAP
Saya seorang ibu rumah tangga sekaligus wanita karier. Dulu, saya diberi pengertian suami, kalau sudah menikah semua harus saling tolong-menolong, saling membantu. Intinya suami meminta saya membantu perekonomian rumah tangga. Hingga pengkhianatan Finansial pun terjadi... Semenjak menikah, saya terkena gastristis. Saya tahu penyakit ini setelah hampir setahun lamanya, karena saya naif. Saya menepis jauh-jauh pengkhianatan Finansial, hingga saya pun sadar. Dan, penyakit gastristis saya pun perlahan tidak muncul. Saya berhasil memenangkan pikiran dan kesehatan mental saya.
Singkatnya, saya ikut membantu membayar beberapa anggaran rumahtangga. Saya membeli perlengkapan bayi, baju hamil, dan keperluan lainnya sendiri. Karena suami beralasan menabung biaya persalinan (non BPJS). Keputusan obgyn untuk SC. Biaya persalinan agak membengkak karena kelas yang akan dipilih penuh, jadi terpaksa masuk ke kelas Utama. Saya ikut menanggung biaya persalinan 1/4 dari biaya total belasan juta rupiah. Seminggu kemudian kontrol anak, bilirubin anak tinggi. Saat itu, RS tempat kontrol & lahiran, ruang NICU sedang penuh. Jadi, dengan sigap saya ke RS terdekat yang lebih mahal. Deposit pun pakai uang saya, nominalnya sebesar saya iuran untuk biaya persalinan. Suami mengaku tidak ada uang. Saya ikhlas membiayai hingga tabungan habis. Anak di inap sehari semalam untuk fisioterapi. Saat dirumah, saya cek rekening suami di mobile banking. Saya merasa terkhianati karena nominal saldonya sangat cukup untuk biaya fisioerapi. FYI, suami saya tidak tahu kalo saya mengetahui password mobile banking. Saya pendam itu semua karena saya tidak ingin suami ganti password mobile banking nya.
Jujur, uang bulanan suami kasih dua juta rupiah setelah ada anak. Sudah semuanya. Listrik, galon, gas, popok, minyak telon, perlengkapan bayi lainnya, makan, dan perlengkapan rumah tangga. Sebenarnya saya nombok dua juta rupiah juga setiap bulan, bahkan bisa lebih, supaya kebutuhan cukup. Yang membuat sakit hati, suami merasa sudah paling hebat kasih nafkah segitu. Makannya mau enak, saya beli frozen food supaya jaga2 kalau saya kecapekan. Tapi kadang suka dicemilin meskipun sudah ada lauk enak. Kalau teh, gula, shampoo dll habis haduh menghina nya minta ampun. Harus stock banyak lah. Minta merk yang mahal lah. Ya pokoknya mentang2 kasih uang jadi mikir itu uang dari dia semua. Bahkan menuduh saya menguntit uang belanja. Bilang mau audit pengeluaran saya. Sebenarnya masih ada cerita lainnya yang lebih pilu dalam pengorbanan saya membantu masalah Finansial. Tapi saya skip aja ya. Yang penting paham gambarannya seperti apa.
Oke, cerita sakit saya. Saya kena GERD dari hamil 4 bulan, kambuh kembali di TM 3. Saya pikir akan hilang setelah melahirkan. Ternyata salah, setelah melahirkan saya semakin parah. Sebulan dua kali kumat. Finansial plus baby blues. Polosnya saya, memberikan uang saya untuk membantu keuangan rumah tangga. Bukan terimakasih yang di dapat, hinaan yang saya terima. Dua bulan melahirkan, saya ikhtiar berobat kemana2. Akhirnya Endoskopi lambung ke dokter Spesialis KGEH. Vonisnya gastristis. Stress. Banyak pikiran. Banyak masalah. Sebelum ke dokter Spesialis lambung, saya ke klinik, dokter umum RS, dokter IGD RS pun bilang hal tsb karena pikiran. Bahkan saya pernah disuruh ke psikiater oleh seorang dokter di klinik dekat rumah. Dokter itu sampai memberikan alamat praktek salah seorang temannya yang menangani hal ini, karena kalau ke RS takut malu ke Spesialis kejiwaan dan takut ga bebas. Temannya itu praktek juga di RS tapi agak jauh, di Bogor. Sedangkan saya tinggal di pinggiran Jaksel. Entahlah, Saya selalu gagal buat janji dengan psikiater rekomendasi itu.
Apa yang menyadarkan Saya? Saat saya sakit, suami tidak mau berbagi tugas rumah atau momong anak dengan saya. Saya tidak mampu sewa ART karena uang habis terbagi, sedangkan saya sangat butuh bantuan tenaga selain dari diri saya sendiri. Saya sakit tidak dibiayai. Uang kesehatan kantor saya habis di ruangan IGD berkali2. Endoskopi saya meminjam kakak saya. Saya luntang-lantung akan nasib saya sendiri. Saya menjerit-jerit dalam hati. Pengkhianat! Pengkhianat! Pengkhianat! Teriak saya dalam hati. Mana eluk2an mu itu yang bilang saling membantu. Saya merasa terjebak. Uang habis, tenaga habis, kesehatan habis. Bobrok. Yang membuat bangkit adalah ibu saya yang sudah melihat keadaan rumah tangga dari sejak lama. Ternyata beliau sudah lebih dulu menangisi kenaifan saya. Ibu saya menangis ketika saya sadar. Sebenarnya ibu saya pernah menasehati saya perihal ini, tapi saya marah karena telah mencampuri urusan rumah tangga Saya. Ibu Saya memeluk Saya, dan berkata "tidak perlu ke psikiater nak... Sholawat saja sambil denger nasehat ibu." Sambil berobat fisik, ibu membuat jamu kunyit setiap hari untuk kesembuhan radang lambung saya. Fisik dan mental harus disehatkan.
Saya menantang bersedia di audit atas pengeluaran rumah tangga. Langsung saja saya bertengkar hebat. Saya merasa ini bukan alasan untuk bercerai. Masih bisa diperbaiki dan jangan lupa selamatkan diri sendiri. Saya kembalikan keuangan rumah tangga full suami yang pegang. Saya hanya minta dijatah belanja lauk pauk 30 ribu per hari. Saya sanggupi. Suami akhirnya pusing sendiri mencoba sebulan tapi pengeluaran bengkak. Ingin mengoper bola panas itu kembali ke saya. Tapi saya tegas menolak karena saya tidak mau membantu keuangan harian rumah tangga. Saya santai saja, kalau di rumah sering kehabisan stock. Belanja bulanan ke supermarket jadi hilang. Barang konsumsi pun sekarang merknya turun derajat semua. Kadang sesekali menyindir, paling pengeluaran sebulan sejuta kalau apa2 dirumah ga ada, merk jadi jelek, biasa stock numpuk jadi beli eceran di warung kelontong, bahkan beberapa barang dihilangkan. Saya tidak perlu sakit hati, uang saya melayang tapi mutasi rekening suami isinya beli perlengkapan hobby nya. Saya perlahan pulih kesehatannya. Empat bulan makan bubur + lauk rebusan, setiap hari minum kunyit. Banyak pantang makanan. Hasilnya tidak kumat lagi, dan bebas obat kimia. Perlahan pula saya bayar hutang atas pengobatan saya sebelumnya, baik di kakak saya ataupun kartu kredit. Saya bersyukur diberikan jalan keluar tanpa ada perselisihan atau perpisahan.
Tolong ambil sisi positif nya ya. Saya bukan mau menebar aib sendiri ataupun mengajari agar tidak membantu suami perihal keuangan. Saya tetap membantu, tapi tidak setiap saat dan tidak tertindas. Saat suami benar2 butuh dan terdesak, istri disarankan membantu ya... Tapi, sayangi diri kalian juga. Itu sebabnya saya sering komen kepada bunda2 lain agar uang istri tetap jadi cadangan istri, membantu hanya bersifat mendesak.
Terimakasih sudah meluangkan waktu untuk membaca. Salam sehat.
Anonymous