aku sudah tidak sempurna. rahimku diangkat.
Aku menikah dengan suamiku pada bulan Mei 2018 setelah berpacaran kurang lebih 4 tahun. 2 Minggu setelah menikah, aku merasa perut dibagian bawah agak nyeri dan sakit. Akhirnya aku memeriksakan diri ke dokter SPOG karena takut terkena ISK, tapi setelah di USG ternyata tidak terjadi apa2. Aku curhat ke sahabatku, katanya coba beli testpack, siapa tau aku hamil. Dan ternyata benar aku hamil pasca 2 Minggu menikah. Suamiku bukan main bahagianya. Setiap bulan aku dan suamiku tak pernah absen untuk USG ke dokter sekaligus melihat perkembangan buah hati kami. Dibulan keempat, kami tau bahwa aku sedang mengandung bayi laki-laki, sesuai dengan keinginanku dari dulu. Pada trisemester pertama, aku harus keluar masuk rumah sakit karena mual dan muntah hebat. Setelah trisemester kedua keadaanku sudah semakin membaik, malahan aku merasa fisik ku segar bugar. Di trisemester ketiga, aku sudah berencana untuk melahirkan secara normal, aku begitu percaya diri karena merasa sangat sehat. Aku rajin jalan kaki pagi atau sore agar fisik tetap kuat dan bayi cepat masuk ke panggul. Akan tetapi saat 32 Minggu bayiku berada dalam posisi oblique alias nyaris melintang. Aku bingung dan khawatir jangan2 aku harus sesar. Akhirnya aku ikut kelas senam hamil. 3 kali ikut senam, posisi bayi membaik, artinya kepala bayi sudah berada di bawah. 18 Januari, aku merasakan kontraksi palsu disertai dengan lendir kental. Keesokan harinya aku memeriksakan diri ke dokter kata beliau dalam 3-4 hari lagi aku akan melahirkan. 24 Januari aku ikut senam hamil terakhir, saat diperiksa bayiku sudah berada dipanggul. 25 Januari pukul 02.30 aku merasakan kontraksi lagi, tapi aku masih ragu. Aku tunggu hingga pukul 04.00 ternyata ini kontraksi asli dan aku memberitahukan suamiku, dia bahagia sekali dan tidak sabar untuk bergegas ke bidan, karena mmg dari awal aku berencana melahirkan di bidan. Pukul 9 pagi, kami berangkat ke klinik. Sesampainya di sana ternyata aku baru bukaan 3, aku harus menunggu sambil menahan kontraksi yang luar biasa nikmatnya. Saat menahan kontraksi, aku tidak menangis dan berteriak sama sekali karena aku takut tenagaku habis dan bayiku kekurangan oksigen. Pukul 16.30 aku masuk ruang bersalin, tetapi anehnya aku baru bukaan 7 dan disitu aku sudah disuruh untuk mengejan oleh Bu bidan. Bidan itu berkata kalau aku harus melahirkan sebelum pukul 6, karena beliau ada acara keluarga. Agak aneh memang. Akhirnya pukul 17.45 anakku lahir dengan 3 kali nafas dorongan. Dengan begitu banyak robekan dan jahitan tidak aku rasa lagi, karena begitu bahagia dengan kelahiran anakku. Bidan ini memang agak kasar dari gaya bicara dan cara dia menanganiku. Tiba-tiba pukul 18.30 jahitan ku terasa sangat sakit dan aku seperti merasa ingin BAB, aku nangis dan teriak menahan sakitnya. Disitu wajah Bu bidan cemas luar biasa. Tangannya masuk ke vaginaku, dan seketika darah menyembur keluar. Aku langsung di bawa ke rumah sakit. Sesampainya di IGD aku diperiksa dan ternyata banyak robekan dalam vagina yang tidak terjahit. Aku langsung di bawa keruang kuretasi, di sana aku di USG dan ternyata ada sisa plasenta di dalam rahim ku. Di situ kesadaran ku sudah mulai menurun, karena darah bukan lagi menetes melainkan mengucur deras dari vaginaku. Dengan cepat dokter memberitahukan kepada suamiku dan keluarga ku bahwa nyawaku terancam, satu-satunya jalan adalah rahimku harus diangkat. Katakan hidupku hanya 50% saja saat itu. Kesadaranku semakin menurun, detak jantungku meningkat tetapi tekanan darah ku sangat rendah. Aku mencoba untuk terus bernafas dan mengingat wajah buah hatiku. Aku ingin hidup untuk anakku. Aku harus bertahan. Suami dan keluargaku semuanya menangis melihat keadaan ku yang acara hidup dan mati. Aku masuk ke ruang operasi, dan proses operasi memakan waktu lebih dari 3 jam. Akhirnya rahimku diangkat. Sedih, marah, kecewa. Itulah yang aku rasakan hingga saat ini. Meskipun sudah 3 bulan berlalu. Keinginan aku dan suamiku untuk memiliki anak lagi sudah sirna. Aku sudah tidak sempurna lagi sebagai seorang wanita. Saat ini aku berhenti bekerja dan hanya fokus merawat buah hatiku. Trauma itu tidak pernah hilang sampai saat ini. Ikhlas? Belum bisa aku rasakan. Entah sampai kapan.