Cinantya's Journey
Saya ingin berbagi pengalaman melahirkan putri pertama saya, yang tentunya tidak akan suami dan saya lupakan. Tanggal 15 Mei 2020 Hari itu usia kandungan saya 36 minggu, HPL saya 12 Juni 2020. Saya memutuskan untuk USG di dokter yang bukan langganan saya. Saya berangkat diantar suami, dan nanti pulang naik grab karna saya tidak berani naik motor. Saya rutin USG di trimester kedua dan ketiga setiap bulannya. Ketika saya USG, setiap dokter menempelkan alat keperut saya, belum ada 30 detik sudah pasti dijelaskan semuanya, dan alhamdulilah selalu sehat. Tapi hari itu tidak, dokter diam sekitar 1 menit sambil terus menggerakkan alat di perut saya. Saya sudah merasa 'pasti ada apa-apa', dan ternyata benar. Saya divonis Oligohidramnion, atau kehabisan air ketuban. Saya shock, lidah kelu, mata berkunang-kunang. Bagaimana bisa? Padahal, di usia kandungan 31 minggu dokter bilang air ketuban saya cukup banyak. Ditambah, saya rutin minum 2-3 liter air perhari. Saya juga tidak pernah merasa air ketuban rembes apalagi pecah. Pakain dalam selalu saya cek, hanya lendir keputihan normal. Dokter memberi saya surat rawat inap, hari itu juga saya dianjurkan untuk rawat inap dan bayi saya harus segera dilahirkan. Saya merinding, saya panik, bagaimana mungkin dilahirkan jika usianya masih 36 minggu. Saya takut organnya belum sempurna. Saya sudah minta second opinion, tapi jawabannya tidak ada karna ini menyangkut air ketuban yang habis, bukan sedikit lagi. Bahkan untuk bertanya tinggal berapa air ketubannyapun saya tidak sanggup, blank. Dokter tidak berani ambil resiko jika saya menolak rawat inap hari itu. Akhirnya, saya mengikuti saran dokter untuk melahirkan bayi saya hari itu juga. Saya ijin pulang, saya tidak sanggup jika hanya telfon ibu dan suami untuk menyusul saya di RS sambil membawa perlengkapan ibu dan bayi. Pandangan saya kosong. Selama diperjalanan pulang, saya menangis, tidak peduli bagaimana isi kepala supir grab. Saya kembali bersama ibu saya ke RS, suami saya menyusul di istirahat kerjanya. Saya langsung menuju ke ruang persalinan. Hal pertama yang dilakukan bidannya adalah rekam jantung bayi saya. Kemudian saya diberitahu akan disuntik pematangan paru-paru 2 kali, baru di induksi. Suami saya sudah datang, menguatkan saya. Suntik pematang paru-paru dilakukan 24 jam sekali. Jika 2 kali suntik, artinya besok saya masih disuntik pematang paru-paru kedua. Tepat pukul 1 siang, pematang paru-paru pertama masuk kebadan saya. Rasanya sungguh aneh, sakit kesemutan sekujur tubuh, terutama bagian vagina. Setelah itu, saya dipindah ke ruang rawat inap biasa untuk menunggu suntik pematang paru-paru kedua besok siang. 16 Mei 2020 Pukul 1 siang, saya sudah ada di ruang bersalin lagi. Kali ini suntik pematang paru-paru kedua, juga induksi. Kembali mengalami rasa sakit kesemutan itu, suami tidak pernah sekalipun melepaskan pandangannya dari saya. Ketika saya mulai menggelinjang menahan sakit, suami dengan sigap mengelus tangan saya. Dan itu cukup membuat saya tenang. Pukul 2 siang, cairan induksi mulai dimasukkan ketubuh saya melalui infus. Saya berharap, semoga induksi ini berhasil. Namun harapan tinggal harapan, Allah yang menentukan. Induksi pertama gagal. Sampai pukul 8 malam, tidak ada tanda-tanda persalinan. Induksi keduapun dilakukan. Terbukti, saya mulai merasakan kontraksi. Mulas seperti haid. Saya dan suami mulai optimis. Yaaa.. saya bisa lahiran normal. Dikamar kiri saya juga ada yang melahirkan. Dia berteriak-teriak kesakitan, meminta tolong dan berkata tidak kuat. Jujur, saya gemetar. Saya mulai menangis, dan suami saya kembali mengelus-elus punggung saya. Dia berkata, saya adalah wanita yang kuat dan hebat, saya pasti bisa melewati itu semua. Kembali, saya menemukan kekuatan saya. Namun ternyata, takdirNya berkata lain. Hingga pukul 11 malam, kontraksi saya tidak bertambah parah, juga tidak keluar lendir darah. Mulut saya tak henti-hentinya merapal surat Maryam, juga suami tak henti-hentinya berdzikir. Kami berdua mulai pasrah. Dan, yaaa... Tepat pukul 12 malam, bidan mencoba VT yang rasanya sakit sekali. Bukaan 2. Tidak bertambah. Mental saya sudah hancur. Bidan menghubungi dokter dan diputuskan besok saya harus di operasi caesar pukul 11 siang. Suami langsung mengiyakan, tidak tega melihat saya yang terus-terusan termakan harapan. Saya kembali keruang rawat inap saya. Diruang tersebut saya termenung, lalu menangis. Saya hanyalah manusia biasa, yang bisa menanyakan pada takdir. Ya Allah, salah saya apa? Ya Allah, kurang apa usaha dan doa saya? Saya menangis dipelukan suami. Semua yang ada dipikiran ini, saya keluarkan semuanya sambil histeris. Saya belum bisa terima. Suami hanya bisa memeluk dan mendengarkan, tidak ada sepatahkatapun yang keluar dari bibirnya. Usai saya menangis, suami menatap mata saya. Dia bilang, memangnya kenapa jika saya caesar? Apakah saya takut akan rasa sakitnya? Saya bilang tidak. Suami menasehati saya, caesar maupun normal, saya adalah seorang ibu. Caesar ataupun normal, itu bukan tolak ukur. Karna sebenarnya, itu hanyalah proses mengeluarkan bayi. Setelah proses itu, baru bisa dibilang saya seorang ibu. Saya sadar dan mulai menerima. Saya memohon ampun pada Allah karna sudah menanyakan takdirNya. 17 Mei 2020 Saya siap. Pukul 10.45, bidan dan perawat mengantar saya keruang operasi. Suami tentu saja membuntuti. Dia akan menunggu saya diluar. Saya tidak takut, yang ada dipikiran saya adalah lekas bertemu anak saya, senang rasanya. Alhamdulillah, tenaga medis juga sangat baik. Mereka menyuruh saya untuk tenang. Yang tidak akan pernah saya lupakan adalah prosedur anastesi. Saya sampai dipegangi 2 orang agar tidak terkejut dan merubah posisi saya yang seperti udang, saya pernah baca itu bahaya. Ternyata tidak semenyeramkan pikiran saya, sama sekali tidak sakit, seperti disuntik biasa hanya saja di punggung. Setelah itu, kaki saya terasa berat. Dokter menyuruh saya untuk rileks dan tenang, bahkan dokternya bernyanyi ceria dan menyuruh saya untuk ikutan bernyanyi. Bagaimana bisa? Dingin sekali disini. Operasi mulai dilakukan, yang terdengar hanya alat tensi otomatis yang beberapa menit sekali terdengar. Detak jantung saya di pantau. Perut saya rasanya seperti ditowel-towel. Saya sempat mutah, karna perut saya ditekan dengan keras hingga rasanya mau meledak. Namun dengan sigap, petugas medis yang memantau jantung saya mengurut pelan kepala saya. Tepat pukul 11.25 bayi saya diangkat keluar dari rahim. Kemudian, lewat ekor mata saya, saya melihat bayi saya diangkat keluar. Dia menendang-nendang perawat. Saya terharu, nikmat mana lagi yang saya dustakan. Sekitar 5 menit, perawat itu kembali membawa masuk bayi saya dan mengucapkan selamat. Bayi saya perempuan, sehat, normal, dengan berat 2.3 kg. Alhamdulillah Ya Allah. Semua petugas medis yang menangani saya pada waktu itu juga memberikan selamat, kemudian mengajak saya bernyanyi lagi. Tak henti-hentinya saya mengucap syukur. Tepat pukul 12.30, operasi saya selesai. Saya kembali keruang rawat inap saya. Ketika saya keluar ruang operasi, bibir saya kaku untuk tersenyum menyambut suami. Entahlah, mungkin karna dingin. Dan suami menangis, dia takut saya tidak baik-baik saja, karna menurutnya saya linglung. Dia trauma, dia kapok menghamili saya lagi. Dia bilang, cukup 1 anak saja. Dia tidak tega melihat saya seperti ini lagi. Kata suami saya, anak saya mirip saya, sudah dia adzani. Kami berdua menangis bahagia. Tepat pukul 17.00, anak kami dikembalikan pada kami. Suami saya terpaku pada anak kami, saya didiamkan. Saya merengek-rengek ingin lihat bayi kami. Tapi suami tidak berani mengangkat bayi saya, akhirnya dia foto bayi kami dan memberikan foto itu pada saya. Kami beri nama bayi saya Cinantya. Alhamdulillah, Cinantya kami sehat, tidak perlu inkubator. Tak hentinya suami mengecup kening saya dan berucap terimakasih. Terimakasih sudah membaca, maaf jika terlalu panjang.