Siapa #ibujuara?
Resign sebagai pengajar di salah satu tempat bimbel adalah keputusanku atas pertimbangan suami saat usia kehamilan pertamaku memasuki usia 7 bulan. Bagiku, puncak berkarir seorang wanita adalah di rumah. Jadi, tak masalah jika harus 'dasteran' sepanjang hari 7x24 jam. Aku bersyukur, meskipun penghasilan suami terbilang pas-pasan sebagai pegawai kontrak dan aku yang tidak punya lagi penghasilan tambahan, tapi Allah SWT memberikan rasa cukup kepada kami. Melihat anak kami yang bisa menyusu 'gratis' pun adalah rezeki yang tak ternilai. Akan tetapi muncul juga perasaan gagal sebagai anak, yang juga lulusan kampus ternama dengan gelar cumlaude. Kapan? Saat aku bersalancar di dunia Instagram. Melihat teman-temanku yang berbagi kebahagiaan sebagai wanita karir melalui foto dan caption yang membuka peluang orang lemah iman seperti aku menjadi iri. 'Ah, tentu mereka bahagia, bisa menjadi kebanggaan orang tuanya dan bisa memberi apapun untuk orang tuanya?'. Seketika kumatikan layar HP, kutatap lekat dua bola mata kecil yang bening itu. Tidak. Aku pun bahagia, menjadi seorang ibu rumah tangga yang bisa selalu berada di sisi anakku. Hanya 1,5 tahun aku bertahan dengan status tersebut. Aku mengikuti seleksi CPNS dengan dukungan penuh dari orang tua. Orang tuaku masih menaruh harapan besar kepadaku sebagai anak sulung untuk dapat membantu adikku yang sebentar lagi lulus SMA dan orang tuaku yang hanya sebagai pedagang makanan kecil. Lulus? Ya. Aku yakin itu karena do'a orang tuaku karena aku tidak pernah berdoa untuk lulus CPNS. Aku hanya meminta yang terbaik, menjadi apapun. Menjadi pegawai kantoran dengan 5 hari kerja tidak lantas membuatku bahagia juga, karena aku sekarang hanya memiliki waktu yang sedikit untuk anakku. Saat aku berselancar di instagram, tetap saja ada rasa iri yang menelusup di hati. Kali ini iri dengan teman-temanku yang membagikan foto dan caption yang mengisyaratkan betapa bahagianya menjadi ibu rumah tangga. Ah, dasar manusia. Tidak pernah puas. Capek? Tentu saja. Terutama karena aku memiliki dua tanggung jawab, di rumah dan di kantor. Terkadang aku merasa gagal sebagai ibu hanya karena waktu yang kumiliki dengan anak sangat terbatas. Bagaimana mungkin aku bisa menjadi #ibujuara? Melihat anakku yang belajar dan bertumbuh dengan baik membuat aku berpikir, apa iya keberhasilan ibu mendidik hanya ditentukan oleh seberapa banyak waktu yang dimilikinya untuk anak. Tidak. Sedikit atau banyaknya waktu, seorang ibu harus tetap ikut belajar dan bertumbuh agar dapat terus memberikan hal positif untuk anak dan pada akhirnya bisa menjadi #ibujuara di hati anak, dan suami tentunya. Hingga saat aku mengetik cerita ini, aku tetap dengan pemikiran, bahwa puncak karir tinggi seorang wanita adalah di rumah. Tapi, tidak berarti menjadi ibu yang tidak juara, jika harus bekerja di luar rumah. Semua tergantung, apakah kita terus belajar atau tidak. Let's learn together to be a great mother. Ciamis, 17-12-2020


