Tak selalu rugi, menyekolahkan anak di lembaga yang murah.
Menyekolahkan anak, dulunya saya kira menjadi hal yang sederhana. Kenyataannya tak sesederhana yang saya kira. Minggu lalu di sebuah cafe, saya bertemu teman lama. Ia bercerita bahwa anaknya sudah pindah sekolah 2 kali. Anaknya tidak betah dengan sekolah lama, dia selalu terlihat sedih setelah pulang sekolah. Katanya, sekolah yang baru ini beda dengan saat ia TK. Kotor, temannya rese', dan tidak ada AC nya. Sebagai seorang ayah ia tentu tak tega, lalu memindahkan anaknya ke sekolah yang mahal, ber-AC dan aneka tawaran kenyamanan belajar. Meskipun dia harus kehilangan uang daftar ulang di sekolah lama dan membayar lagi pendaftaran di sekolah baru. Apesnya lagi, dia ngutang bank untuk sekolah anaknya itu. Bagi saya, keputusan teman saya itu kacau. Menuruti anak, tanpa mengukur potensi diri dan ekonomi. Saya memprediksi dia akan kesulitan ekonomi kedepannya. Pendapatannya, saat saya tanya, menurut saya masih di bawah standar kemakmuran. Namun ia nekad menyekolahkan anaknya di tempat itu. Sekolah Dasar yang biaya perbulannya setara biaya kuliah satu semester. Bahkan bisa lebih jika ada saweran yang dilakukan oleh paguyuban Walimurid. Saya kemudian menanyakan alasannya mengambil keputusan (memindah sekolah) itu. Alasannya memang klasik, tak ingin anaknya sedih. Bagaimanapun sebagai orang tua, harus berjuang untuk masa depan anaknya. Dari kejadian tersebut saya kemudian berpikir bahwa saat pertama menyekolahkan anak di tempat pendidikan yang mahal, itu menuntut konsekuensi seterusnya harus sekolah di tempat mahal juga. Anak menjadi terbiasa hal-hal yang nyaman dan menyenangkan. Saat ditempatkan pada kondisi tidak nyaman, langsung tidak krasan, sedih dan seolah hidup bagai di neraka. Kondisi ini mengingatkan saya pada film keluarga Cemara saat ayahnya memutuskan pindah ke desa sebab bagkrut. Tergambar di film tersebut konflik antara ayah dan anak yang belum mampu mengerti tentang arti hidup susah. Kembali ke teman saya, dia bercerita tidak rugi dengan sekolah baru anaknya saat ini Terbukti seminggu di sekolah barunya, anaknya kembali ceria. Anak teman saya ini pun seringkali dapat piala. Lomba hafalan doa inilah, lomba itulah. Intinya dengan menyekolahkan di tempat tersebut anaknya senang dan bisa berprestasi. Tapi saya tahu, dia juga sambat masalah biaya. Dari ceritanya itu, saya kemudian merefleksikan dengan anak saya sendiri yang sekolah di tempat biasa. Sekolah dengan beragam masalah; murid nakal-nakal, gurunya bergaji rendah, biaya sekolah juga murah, kipas angin cuma 1 di kelas yang padat murid dan panas. Dan, masih banyak masalah lain. Bahkan, anak saya, beberapa bulan lalu, pernah pulang dengan mulut berdarah, jatuh dibanting oleh kakak kelas nya saat pelajaran mengaji. Pernah pula, sepatunya yang saya belikan dengan harga mahal, dengan pertimbangan agar awet dipakai, hilang saat selesai praktek ibadah. Saya Pun bertanya-tanya apakah saya, sebagai orang tua, tidak mau berjuang untuk anak? Saya sebenarnya mampu menyekolahkan di tempat yang lebih baik, secara fasilitas dan lingkungan belajarnya. Tapi mengapa saya pertahankan dia di sekolah tersebut? Apa saya kurang berkorban untuk anak saya? Apa saya pelit dan takut kehilangan uang untuk pendidikan anak? Mengapa teman saya itu kok ya mau mbelani hutang untuk biaya sekolah anak? Masih SD loh padahal. Apakah orang tua yang mampu harus menyekolahkan anak di tempat mahal? Baru kemudian disebut orang tua yang mau berkorban untuk anak? Mungkin jawabannya Iya, saya bukan orang tua yang rela berkorban untuk pendidikan anak. Tak salah jika Istri saya berkali-kali menawarkan opsi pindah sekolah. Tapi selalu saya tolak. Saya keukeuh, dia sekolah di tempat itu. Bagaimanapun kualitasnya tidak perlu dirisaukan. Kualitas sekolah itu memang perlu untuk pertimbangan mengambil keputusan. Banyak orang yang saya temui, seperti teman saya itu, bangga dengan pencapaian anak. Hafalan kitab suci, menang lomba A, B dan C dan banyak kebanggaan lainnya. Kemudian ada pula yang bangga dengan pencapaian anaknya bisa masuk ke sekolah dengan biaya mahal. Sah, sah saja sih seperti itu. Tapi menurut saya tidak seperti itu. Saya suka anak saya tumbuh dan terus tumbuh. Tidak perlu selalu berlomba, pinter-pinteran, cepet-cepetan ataupun hebat-hebatan. Seperti belajar naik sepeda, nanti setelah lama belajar, tentu akan bisa naik sepeda. Memang ada juga yang berjuang agar jadi atlet balap sepeda, namun itu hanya kelompok kecil. Bukan umumnya orang. Tak heran, jika anak saya sampai hari ini tidak pernah mendapat piala atau piagam. Bukan karena tidak ikut lomba, tapi lebih ke kualitas bimbingan dan drill di sekolahnya. Sebab lain mungkin gurunya capek mengurus anak-anak yang selalu bikin rese' dan susah diajari. Tapi tak apalah, itu resiko dari pilihan saya. Ada hal yang lebih berharga dari pada prestasi dan piala. Dulu sebelum mendaftarkan anak saya sekolah, saya sering berhenti dan mengamati di depan sekolah yang dikatakan favorit dan mahal. Saya membayangkan percakapan anak saya dengan temannya, kalau sekolah di sini, kira-kira begini, "apa kamu pernah makan burger King?" "Sarapanku dengan keju dan Salad kamu sarapan apa?" "Minggu kemarin aku ke Singapur liburanmu ke mana?" Percakapan itu tentu tidak akan pernah di dapat anak saya kalau sekolah di tempat biasa. Dan itu kenyataanya, karena tempat sekolah anak saya banyak keluarganya berasal dari kelas buruh, pegawai dan ada juga yang petani. Jadi, ketika anak saya pulang sekolah dengan mendapatkan masalah; diganggu teman, pensil hilang, mengeluh kelasnya panas dan lainnya, saya selalu menekankan untuk kuat dan kuat. Saya juga melarang anak saya bercerita apapun tentang liburan, makanan, ataupun kebiasaan keluarga kami ke temannya. Selalu saya tekankan itu ke anak saya. Tujuan saya, agar anak saya bisa bersikap seolah-olah sama dengan anak-anak di kelasnya. Belajar itu tidak selalu harus dapat piala. Yang terpenting berproses dengan sungguh-sungguh dan kuat menghadapi ketidaknyamanan dalam hidup. Toh, ke enam presiden kita kayaknya belum ada yang lulusan sekolah elit, favorit dengan biaya melangit. Itulah mengapa saya lebih mementingkan kuatnya hati bagi anak saya, daripada deretan piala. Saya mengambil semangat dalam lari maraton, (bukan lomba lari maraton), ketika menyekolahkan anak. Pelan-pelan namun terus-menerus dan tidak berhenti. Itu bayangan saya, jangan sampai energi keuangan saya tersedot di sekolah dasar anak. (Mungkin sekali akan berbeda jika aset saya tidak habis dimakan dalam 3 generasi). Sedangkan masih ada sekolah lanjutan yang perlu ditempuh anak saya. Saya tidak bisa memungkiri, memang sekolah dasar elit dan favorit secara kurikulum bagus. Guru-guru juga hebat. Murid-murid nya juga dari kalangan orang berduit dengan karakter lebih baik dari orang-orang kelas bawah. Namun apakah bisa menjamin karakter anak menjadi humanis, pekerja keras, sabar, kuat dalam menjalani proses belajar? Jawabnya tentu semua kembali ke anaknya. Meskipun sekolah bagus anaknya pemalas, manja dan lemah tentu dampaknya tak sebagus harapan orang tua. Sebaliknya, jika anak sudah punya bibit pekerja keras, semangat belajar dan kuat maka disekolahkan di manapun dia akan selalu tumbuh dan berproses. Karena itu saya yakin pada anak saya, maka saya tidak khawatir tentang pendidikannya, dimanapun berada dia akan selalu belajar. Dia selalu beradaptasi, sabar, kuat dan bekerja keras. #bantusharing
Mom of three 'Princes'