Tentang Preeklamsiaku
Hi mommies ❤️ Setelah sharing tentang kehamilan kemarin, ternyata masih cukup banyak yang tanya tentang preeklamsiaku. Aku ada reply ke beberapa mommies, tapi memang ngga semuanya bisa kureply karena keterbatasan waktu dan tenaga. Mungkin aku akan sharing di post baru aja ya, supaya mommies yang ketinggalan masih bisa baca ☺️❤️ Jadi preeklamsia itu apa sih? Aku akan share dulu kutipan singkat dari SPOG-ku di Instagram (aku juga ada share di highlight IGku) : - Preeklamsia adalah kelainan yang terjadi pada ibu hamil diatas 20 minggu, ditandai dengan : • Peningkatan tekanan darah yang dapat disertai dengan perburukan hasil laboratorium darah • Perburukan gejala seperti sesak napas, pandangan kabur, kejang, penurunan kesadaran, dan bayi kecil - Terjadi kurang lebih pada 2-5% ibu hamil - Angka kejadian di negara berkembang bisa mencapai 10-18% - Yang beresiko terkena preeklamsia adalah pasien dengan : • Peningkatan tekanan darah / hipertensi sebelum hamil • Ada riwayat darah tinggi pada kehamilan sebelumnya • Memiliki riwayat diabetes, sakit ginjal, autoimun, obesitas • Hamil anak pertama, hamil anak kembar, dan hamil di usia tua ataupun sangat muda Perlu diingat bahwa tidak semua yang disebut diatas berarti akan mengalami preeklamsia. Contohnya banyak pasien dengan obesitas, hamil anak pertama, hamil kembar, ataupun hamil di usia tua/muda yang bisa mengalami kehamilan yang normal dan melahirkan cukup bulan (diatas 38 minggu). Nah ada beberapa pertanyaan dari mommies di postinganku sebelumnya, yakni : • Apakah selama hamil ngga pernah cek lab? • Gejalanya seperti apa sih? • Kenapa ngga bisa lagi untuk hamil? Nah aku akan coba jawab 1-1 ya.. Jadi apakah aku ngga pernah cek lab selama hamil? Kenapa baru bisa ketahuan preeklamsia? Aku dari awal hamil selalu rutin check up ke dokter kandungan tepat waktu, dan sudah cek lengkap semuanya di laboratorium, termasuk TORCH, gula darah, dan lainnya. Hasilnya selalu bagus. Perkembangan janin juga sangat bagus. Dan hasil tensi darah juga stabil di 100/70. Semuanya sangat bagus sampai di bulan ke-6 kehamilan. Waktu itu terdeteksi bahwa ukuran janinku cenderung lebih kecil 1-2 minggu dari usia kandungan. Dan untuk pemeriksaan lebih lanjut, aku dirujuk ke dokter Fetomaternal. Setelah diperiksa, beliau menduga ada insufisiensi plasenta dan abnormal blood flow yang menghambat sirkulasi makanan ke janin. Nah untuk gejala preeklamsia sendiri seperti apa sih? Ini hanya dugaanku, karena waktu di rumah sakit, aku berusaha mengingat kronologisnya. 2-3 hari sebelum aku diopname (tanggal 30 Agustus), pipisku kelihatan berbusa seperti bubble bath, tapi tidak berbau. Kalau aku cek di google, air seni berbusa adalah tanda adanya protein (which is menurut aku sangat relate). Tapi kalau memang sudah terjadi preeklamsia, tanggal 29 Agustus aku masih check up ke dokter kandungan, dan hasil tensinya masih normal di angka 100/70. Tapi karena hasil lab menunjukkan terjadi kekentalan darah, aku dirujuk ke dokter ahli darah untuk konsultasi perlu atau tidaknya suntikan heparin (pengencer darah) selama sisa kehamilan. Untuk pengencer darah ini biayanya lumayan ya. 1x suntik bisa mencapai Rp 500.000, dan diperlukan 2x suntikan/hari sampai H+3 setelah lahir (berarti kira2 harus disuntik selama 14-15 minggu). Jadi karena hari itu dokter tidak praktek, baru dijadwalkan keesokan harinya tanggal 30 Agustus. Nah disitulah waktu ditensi, tekanan darah ada di angka 190/100. Padahal sehari sebelumnya masih normal. Di hari itu, pagi-sore masih beraktivitas seperti biasa. Ngga ada rasa pusing juga, ataupun gejala2 preeklamsia seperti yang kusebutkan diatas. Nah karena dinilai cukup berbahaya untuk ukuran ibu hamil, jadi saat itu juga dokter langsung menghubungi dokter kandunganku untuk minta ijin rawat inap. Jadilah hari itu aku dirawat inap dan diobservasi. Total rawat inap 7 hari. 1 malam di ruang bersalin, 1 malam di Intermediate Care, 1 malam di ICU, dan 3 malam di ruang rawat inap biasa. Nah kenapa aku sampai masuk ICU? Karena tensiku meroket tinggi sampai 240/200 dan sudah masuk kategori preeklamsia berat dan dinilai sudah sangat kritis, karena sewaktu-waktu bisa saja berubah jadi eklamsia (kejang-kejang) dan resikonya bukan hanya keguguran, tapi juga mati batang otak. Nah mulai dari situ sampai setelah melahirkan, aku pun ngga ada rasa sakit kepala/pusing/kejang. Nah kenapa aku ngga bisa hamil lagi? Jadi untuk penderita preeklamsia, memang beresiko untuk mengalami preeklamsia lagi pada kehamilan berikutnya, walaupun tidak semua. Untuk kasusku, karena dinilai langka dan sudah masuk kategori yang sangat berat, jadi untuk kehamilan berikutnya resikonya sangat besar dan bahkan mungkin bisa jauh lebih parah. Kalaupun memang nanti ingin hamil lagi atau terlanjur hamil, berarti terapi pengobatannya harus dimulai sejak kehamilan terdeteksi, dan kisaran biayanya ngga murah. Bisa mencapai ratusan juta untuk pengobatannya sendiri. Misalkan untuk kasusku yang ada kekentalan darah, suntikan heparin yang diperlukan dosisnya adalah 2x1. Kalau 1 dosis seharga Rp 500.000 dan dalam sehari diperlukan 2 suntikan, maka diperlukan Rp 1.000.000 per hari. Dikali 40 minggu (-/+ 270 hari) = Rp 270.000.000. Itu hanya untuk suntikan saja, belum termasuk obat-obatan lainnya. Selain itu, yang jadi pertimbangan juga adalah keselamatan bayinya nanti. Pada kasus preeklamsia seperti aku, bukan tidak mungkin kehamilan berikutnya akan berujung dengan kelahiran prematur kembali. Untuk kehamilan yang pertama, aku melahirkan di usia kandungan 26 minggu dengan berat bayi 780 gram. Bayiku harus dirawat di NICU selama 73 hari, dan biaya yang dikeluarkan untuk perawatannya juga tidak sedikit, mencapai ratusan juta. Kalaupun memang rejekinya ada, rasanya aku ngga mampu lagi kalau harus kembali melihat anakku terbaring dengan ventilator dan selang infus sambil bertahan hidup di NICU. Dan pertimbangan terakhir dan paling riskan adalah setelah kehamilan pertama, aku menjadi penderita hipertensi kronik. Tekanan darahku sehari-hari bisa mencapai 250/200, dan tanpa ada rasa pusing atau rasa tidak nyaman sama sekali. Jadi sekarang aku harus minum obat tensi seumur hidup agar tekanan darahku bisa stabil di angka 130-140an. Penggunaan obat seumur hidup berarti masalah di kemudian hari, karena aku harus siap jika nantinya ginjalku akan bermasalah karena akumulasi obat-obatan yang kuminum. Dan resiko gagal ginjal serta gangguan jantung adalah hal yang menyertai hari-hariku saat ini. Kalau ditanya apakah ngga mau hamil lagi? Pastinya aku mau. Karena aku ngga sempat merasakan bagaimana rasanya hamil selama 9 bulan. Bagaimana rasanya melihat dan mendengar tangisan anak untuk pertama kalinya, serta mendekapnya dalam pelukan. Tapi kalau harus menempatkan anakku nanti kedalam masalah yang sama, lebih baik aku urungkan keinginanku untuk hamil lagi. Aku sudah sangat bahagia dengan keadaan yang sekarang. Bahagia bisa melihat anakku tumbuh dan berkembang dengan baik, walaupun dengan segala permasalahan yang sempat dia alami saat lahir dulu. Berusaha hidup sehat dan hidup selama mungkin untuk merawat anakku adalah prioritas utamaku saat ini. Mudah-mudahan bisa menjawab pertanyaan mommies sekalian yang kemarin belum sempat kujawab ya ❤️ Sekali lagi terima kasih banyak untuk doa dan supportnya☺️❤️ #CeritaHamilTAP