Menjadi #Ibujuara : melahirkan tanpa suami mendampingi
"Kalau lahiran aku mau di Tuban aja ya Mas" kataku ketika aku dan Mas sedang asyik menikmati tayangan TV. "Enggak disini aja? Nanti mas nggak bisa nemenin kalau di Tuban" katanya sambil menatapku. "Enggak papa Mas. Ada ibu sm bapak yang bisa nemenin nanti" jawabku sambil menggenggam tangan suamiku. Mas hanya menatap sebentar dan mengalihkan pandangan ke layar TV. Ya, aku tau sebenarnya Mas ingin aku lahiran disini supaya dia bisa menjadi suami siaga. Karena memang berat kalau lahiran tanpa kehadiran suami yang mendukung istri, tapi rasanya juga berat kalau harus lahiran di kota yang masih asing bagiku. Ini lahiran pertama, dan rasanya aku ingin dekat dengan rumah. Setelah berunding kapan waktu yang tepat untuk pulang, akhirnya kami memilih ketika kehamilanku 37 minggu supaya masih ada waktu mengurus suami disini, dan masih ada jeda waktu hingga nanti melahirkan sesuai HPL. Saat itu, Mas hanya 2 hari di rumah orang tuaku dan langsung pamit karena tidak bisa berlama-lama cuti. Aku cium tangannya dan minta doa supaya nanti ketika lahiran semuanya lancar. Tiba-tiba Mas berlutut dan mengelus perutku. "Adek, nanti kalau mau lahir nggak usah nunggu ayah ya sayang. Kalau mau keluar adek juga jangan nyusahin bunda. Yang pinter ya nak nanti. Bantu bunda supaya ngelahirin adek gampang. Nanti kita ketemu kalau adek udah lahir ya" katanya sambil mengelus perutku yang memang sudah membuncit. Rasanya terharu melihat kami yang sebentar lagi akan menjadi orang tua untuk sang buah hati, tapi juga sedih mengetahui suami nggak bisa nemenin proses melahirkan dari awal. "Iya ayah. Adek sm bunda pasti akan baik-baik aja" jawabku sambil mengelus pelan kepala Mas. Mas tersenyum dan mencium lembut keningku, lalu berpamitan kepada orang tuaku. Beberapa hari di rumah rasanya menenangkan, komunikasiku dan Mas juga lancar. HPL-ku masih 2 minggu lagi, tapi ketika cek rutin kehamilan, bidan sudah menyuruhku untuk rapid test sebagai syarat supaya bisa dibantu dalam persalinan. Selesai menjalankan rapid test, bagian bawah perutku keram luar biasa. Tapi aku yang masih awam dengan tanda-tanda persalinan masih merasa bahwa itu hanya keram biasa. Pukul 1 siang keram di perut bagian bawah makin terasa hingga susah untuk berjalan, sampai pukul 3 sore keringat dingin mulai keluar. Ibu panik luar biasa karena aku sudah merasa kesakitan dan berkeringat dingin. "Dek, panggil Bapak biar anter Mbak-mu ke bidan. Mbak mau lahiran" kata ibu kepada adekku. Ha? Lahiran? Saat itu aku baru tau bahwa yang kurasakan inilah yang namanya kontraksi. Karena sejak hamil aku belum merasakan kontraksi palsu sama sekali, jadi belum tau bagaimana rasanya kontraksi itu. Adek segera memanggil Bapak untuk segera mengantarku ke bidan. Mas berkali-kali telepon dan Whatsapp untuk menanyakan keadaanku. Jangankan untuk membalas chat atau mengangkat telepon, bernafas saja rasanya butuh sekuat tenaga. Akhirnya kami sudah sampai di rumah bidan desa dekat rumah. Bidan menyuruhku untuk kembali pulang karena belum ada tanda-tanda persalinan. Rasanya tidak ingin pulang lagi jika nanti juga harus kembali. Huh bete sekali. Sampai rumah aku langsung ke kamar kecil untuk BAK dan berwudhu, dan saat itu darah pertanda persalinan muncul dan Bapak segera mengantarku lagi ke bidan desa. Sehabis maghrib kami sampai di bidan desa dan aku sudah pembukaan 5-6. Bidan menyuruh untuk tidur miring agar pembukaan bisa berlangsung cepat. Rasanya sungguh nikmat luar biasa. Seperti kata orang kebanyakan, difase ini aku juga benar-benar merasakan antara hidup dan mati. Sakitnya kontraksi luar biasa sekali. Pantas saja surga dibawah telapak kaki ibu setelah apa yang dialami seorang ibu dari hamil hingga melahirkan. Setelah merasakan sakit yang bertubi'tubi akhirnya tepat pukul 22.05 WIB malaikat kecil kami lahir kedunia. "Alhamdulillah" kataku ketika mendengar suara tangisannya. Satu kata saat itu : bahagia. Dan seakan mengerti perkataan ayahnya, malaikat kecil ini membantu bundanya dan tidak menunggu kedatangan ayahnya. Ya, memang berat melahirkan tanpa dukungan suami, tapi walau raga suami tidak didekatku, tapi jiwanya selalu dihatiku. Inilah ceritaku menjadi #ibujuara bagi buah hati kami yang kami beri nama "Wara Janitra". Nb. Terlampir foto pertama Wara
Read more