Orang tua zaman dulu memang sering berpesan, jika suami tidak KDRT, tidak selingkuh, serta mampu mencukupi kebutuhan istri, maka bertahanlah dalam rumah tangga.
Namun, siapa yang bisa benar-benar menjamin bahwa seorang suami tidak akan selingkuh? Bukankah secara kodrat, pria adalah makhluk visual yang cenderung mudah tertarik pada lawan jenis? Kadang istilah “tidak selingkuh” hanya berlaku karena belum ketahuan saja, atau memang belum saatnya terbongkar.
Pada akhirnya, bentuk perselingkuhan itu bermacam-macam ada selingkuh fisik, selingkuh batin, selingkuh finansial, hingga selingkuh dalam perhatian.
Karena itulah, ada konselor pernikahan yang menyarankan agar seorang istri menganggap pernikahan seperti sebuah bisnis. Tujuannya bukan untuk merendahkan, melainkan melindungi. Jika bisnis itu masih memberikan keuntungan baik berupa materi, dukungan, maupun kasih sayang maka pertahankanlah. Namun jika bisnis itu hanya membawa kerugian dan kezaliman, maka perlu dipikirkan kembali arah langkahnya.
Bahasa ini mungkin terdengar kejam, tetapi pola pikir semacam ini bisa menjadi tameng, agar seorang istri yang dizalimi tidak selalu menjadi pihak yang paling merugi.
Pernikahan idealnya adalah ruang tumbuh bersama, bukan hanya sekadar bertahan dengan dalih tradisi, tetapi memastikan ada keadilan, keseimbangan, dan kebahagiaan di dalamnya.
Read more