Aku hanya manusia biasa...
Sebisaku, aku berusaha untuk tidak membandingkan diriku dengan yang lainnya. Sebab, aku percaya, bahwa setiap insan tentu punya cerita di setiap perjuangan.
Juni 2023 lalu, aku melahirkan secara caesar.
Namun, pasca melahirkan, aku mengalami depresi berat, sehingga kami (aku & suami) memutuskan untuk bertemu dengan seorang psikiater.
Ya, benar saja. Seorang psikiater menyatakan, bahwa aku mengalami Post Partum Depression.
Tak ada yang menginginkan hal itu terjadi.
Sulit? Pasti.
Bagaimana mungkin, kebahagiaan yang seharusnya memenuhi ruang jiwaku, justru malah kesedihan mendalam yang menghadirinya.
Rasanya, luka itu terlalu menyakitkan.
•••
Semua butuh proses. Sebelum aku berada di titik ini, tentu ada perjuangan serta air mata yang mengiringinya.
Saat ini, putriku berusia 6 bulan 22 hari. Tentu saja, aku sudah berdamai dengan semua luka di masa itu.
Namun, orang-orang di sekitarku, bahkan mereka yang menjadi bagian dari keluargaku, tidak pernah benar-benar peduli akan hal itu.
Mereka hanya sekadar ingin tahu apa yang terjadi, kemudian menyebarkan cerita yang tidak benar adanya tentang diriku.
Mereka semua menganggap, bahwa aku tidak pernah merawat anakku dengan baik. Mereka semua menganggap, bahwa hanya suamiku yang merawat anakku.
Belum lagi kata-kata mereka yang dengan seenaknya menghakimi diriku, mengatakan bahwa aku tidak pernah berusaha menyusui serta tidak pernah memberikan asi untuk anakku. Bahkan yang lebih menyakitkan lagi, mereka mengatakan bahwa aku adalah ibu yang tidak menyayangi anaknya.
Pasca melahirkan, Alhamdulillaah asiku deras sekali, sehingga aku bisa memberikan asi untuk anakku selama beberapa bulan, walaupun tetap dibantu dengan sufor. Karena anakku menolak untuk dbf, dan hanya mau menyusu di botol, membuat banyak sekali orang yang menjatuhkanku.
Karena ada banyak faktor, satu dan hal lainnya, pada akhirnya aku dan suami memutuskan untuk memberikan full sufor untuk anakku.
Mengenai asi booster, tentu aku sudah mencobanya.
•••
Melewati dan berusaha untuk bertahan dalam menghadapi perkataan orang di sekitar kita, tentu tidak mudah.
Sekadar informasi, berat badan lahir anakku adalah 3050 gram dengan panjang 50 cm. Aku melahirkan secara caesar karena diketahui ada 1 lilitan kencang di bagian leher bayiku saat di dalam kandungan.
Sebetulnya, dokter mengatakan bahwa aku masih bisa berjuang untuk lahiran normal. Tapi, tentu ada resiko yang akan diterima. Karena kami tidak mau mengambil resiko yang ada, juga takut membahayakan kandunganku, pada akhirnya kami memutuskan untuk mengambil jalan caesar.
Dan saat ini, di usia anakku yang sudah hampir memasuki 7 bulan, berat badannya adalah 6,6 kg.
•••
Banyak sekali yang mengatakan...
"Anaknya kecil ya, pendek juga"
"Anak sufor mah biasanya gampang sakit, beda sama anak asi yang kebal sama penyakit"
"Kalo caesar mah asinya dikit, ga banyak dan deras kayak yang lahiran normal"
"Ga pernah ngasih asi ke anaknya ya"
"Pasti gamau dbf karena males"
"Dasar ya, ibu-ibu sekarang pada males, habis lahiran pasti langsung ngasih sufor, beda ngga kayak ibu-ibu jaman dulu"
"Kamu mah enak ya, gampang banget, apa-apa sama suamimu"
"Ga pernah ngurusin anak ya, semuanya sama suami"
"Anaknya item banget ya, kurus lagi"
"Ini mah anak bapak bukan anak ibunya, orang semua yang ngurus bapaknya"
Dan masih banyak lagi ucapan lainnya.
Orang bisa semudah itu menghakimi kita, mencemooh kita, tanpa pernah tahu bagaimana sulitnya perjuangan yang harus dilalui, hancurnya perasaan pasca melahirkan—yang semestinya bahagia sepenuh hati.
Jujur, semua itu membuatku merasa sedih dan sakit. Mengingat orang-orang di sekitarku bisa melahirkan secara normal, bisa menyusui dan memberikan asi eksklusif, dlsb.
Aku tahu, pasti ada banyak sekali ibu yang juga berjuang dalam melawan depresi pasca melahirkan tsb.
Tapi melalui tulisan ini, aku ingin mengatakan, bahwa aku bukanlah wanita yang memiliki kesabaran dan hati yang luas 😊
Untuk kita yang sama-sama berjuang, percayalah, kalian hebat ❤️
Read more