Risma Maezurra profile icon
SilverSilver

Risma Maezurra, Indonesia

Kontributor

About Risma Maezurra

ibu of 1 tampan Pangeran

My Orders
Posts(6)
Replies(4)
Articles(0)

My support system

Menikah adalah akhir yang diinginkan setiap pasangan. Terapi kehidupan setelah menikah apa pernah terfikir? Saya adalah seseorang yang idealis kras kepala, tidak mau mengalah. Tp setelah menikah, sifat saya sedikit demi sedikit saya hilangkan untuk suami saya (takut dosa). Dulu saat pacaran, suami saya byk mengalah, sekarang justru sebaliknya. Orang yang sekarang nenjadi suami saya, bukanlah org yg saya kenal lg seperti saat kami pacaran. Saat saya hamil, dia adalah tipe yg cuek. Sama sekali tidak mau mencari tau tentang kehmilan dan sejenisnya. Smua saya yg mencari tau. Setiap sy menanyakan sesuatu dy hanya jwb "manut, aq gk ngerti masalag begituan". Ini kehamilan saya yang pertama, pernikahan pertama dan anak pertama. Apakah saya tau semuanya???? Saat hamil saya berada dkosan sendri, sakit sendiri, mgeflek sendiri, bahkan hamil besar gempa pun saya lari sendiri, muntah sendiri, sakit gk djenguk. Sedih aja gitu hamil 9 bulan gk ada suami. Gk ada sms atay tlfn yg menanyakan keadaan. Setiap saya habis marah, "hrsnya kan km tu peduli" dia baru wa, bbm, tlfn. Jd intinya. Harus saya memberitahu kalo org hamil tu gini gini gini, butuk ini ini ini. Dy sama sekali tidak mau mencari tau sendiri. Hingga saay anak saya lahir. Kelakuan suami saya masih seperti anak kecil. Saya mengalami baby blues parah, karena 5hari setelah kelahiran anak saya, asi blm kluar. Saya stress karena anak nangis trus haus, mertua (krn tgl sama mertua) tidak mengijinkan pk sufor. Suami???? TIDUR nyenyak. Sy hanya bisa menangis. Tidak ada org tua sy yg membntu mengurus anak saya, tidak ada suami yang katanya teorinya harus membantu istri, jahitan bekas lairan normal msh sakit. Setiap malam saya tidak bisa tdr karena Altha hanya menangis terus, pagi sy harus bangun subuh untuk mencuci, memandikan altha dan pekerjaan yang lain. Saya benar2 merasa sendiri. Pernah suatu malam, alergi saya kumat, dan si kecil menangis, dan saya ttp dtgl tidur dengan posisi alergi saya yg kumat sambil nyusuin si kecil. Saya merasa kenapa kehidupan saya setelah menikah justru lbh menyengsarakan sy. Bulan demi bulan berlalu, anak sy sdh terlalu rewel. Tp sifat suami saya bertmbah menjadi sesorang yang sangat tidak sata kenal. Dia suka membentak saya, tidak ada kata manis, tidak ada pujian, tidak ada pelukan, tidak ada kecupan, tidak ada senyum manis. Saya merasa pernikahan ini sama sekali seperti sayur tanpa garam. Saya berfikir, saya harus menambahkan garam supaya tdk terlalu hambar. Saya coba untuk nermanja2. Tetapi, ketika saya hanya memeluknya dia mendesis. Hati saya sakit. Kenapa saya harus menikah kalo ujung2nya hanya seperti ini. Bukankah lebih baik pacaran aja, kalo ujungnya dia menjadi pribadi yang sangat berbeda. Di dalam hubungan pernikahan, suami memang menjadi prioritas istri. Tetapi, istri juga butuh untuk dihargai. Saya, bukan istri yang hanya senang cuman dipenuhi kebutuhan lahirian. Uang belanja, jajan, kebutuhan baby. Smua dipenuhu. Trus, apakabar kebutuhan batin saya? Sampai saat ini saya hanya mengemis untuk disayang, tetapi sama sekali tidak ada feedback positif yg sy trima. Penguat saya adalah senyum sikecil. Yang selalu menenagkan. Mengingatkan saya masih ada hal positif dipernikahan ini. Berkah, anugrah, dan hadiah dari tuhan Althafaris Razqa Paramaarta. Anakku. Kesayanganku. Belahan jiwaku. #KarenaBundaBerharga

Read more
My support system
 profile icon
Write a reply

My baby husband

Menikah dan pacaran adalah suatu proses yg sangat berbeda. Saya rasa banyak bunda yang merasa suami berbeda/berubah saat sudah menikah dibandingkan dengan saat berpacaran. Itu juga yang saya alami. Saya adalah anak pertama dari 2 bersaudara. Bukan dari keluarga berada. Saya bekerja untuk membantu keuangan keluarga. Ini dikarenakan hanya ibu saya yang bekerja, sedangkan ayah saya menganggur dan mempunyai hutang yang tidak sedikit yang harus ibu saya tanggung tiap bulan. Hal inilah kenapa saya belum mau menikah, tetapi suami saya dulu sdh buru2 ngajak menikah. Saya pikir saat berpacaran dia yang sangat memanjakan saya, mengalah dan selalu sabar akan menjadi imam yg baik untuk saya. Tetapi kehidupan kami setelah menikah 180° berbeda dengan saat kami pacaran. Dy yang saya anggap sangat mandiri, ternyata benar2 berbeda. KEhidupan pernikahan saya jauh dari apa yang saya harapkan. Tapi tidak papa, ini jalan yang saya pilih sendiri. Tetapi, saat hamil. Saya merasa benar2 sendiri. Saya bekerja dluar kota, tinggal dsebuah kosan kecil. Sendirian. Jarak dari rumah kami dan kosan hanya 1 jam. Tetapi saya sangat jarang ditemani. Tidak ada teman cerita, tidak ada suami yang sekedar tlfn atau sms menanyakan keadaan kandungan saya. Dia benar2 cuek. Saya merasa saya hamil sendiri. Hingga usia kandungan saya 4 bulan. Saya mengalami flek. Entah karena tekanan pekerjaan, tekanan teman kerja, atau saya merasa sedih karena hanya saya yang antusis tentang kehamilan ini. Ketika saya bilang saya flek, suami saya sama sekali tidak panik, tidak khawatir, hanya bertanya "trus gimana?" Dengan wajah polosnya. Saya sedikit kecewa. Kenapa suami saya sama sekali tidak mencari tau tentang kehamilan, anak atau yg lain. Dia sama sekali tidak tau, bahaya flek, apa itu morning sick saat hamil, ngidam bumil yg harus diturutin. Yang dia tau hanya memeriksakan saya tiap bulan ke dokter kandungan. Saya yang harus mengajarinya, perut dielus, diajak ngobrol, dicium. Smua tentang kehamilan dy sama sekali gak tau. Alesannya "aq tu gak ngerti soal kehamilan". Sebenernya juga ingin marah. Ini juga anak pertama saya, kehamilan pertama saya, pernikahan pertama saya. Apa semua saya juga langsung tau? Kenapa sama sekali gak mau nyari tau di internet. Kenapa hanya saya yang selalu memikirkan kandungan ini. #KarenaBundaBerharga

Read more
 profile icon
Write a reply

Support system, Pengaruh sifat Partner kerja saat hamil

Hai bunda. Sedikit sharing. Dulu saat saya hamil baby altha posisi masih bekerja disalah satu perusahaan swasta di Jogja. Jelas, macam-macam teman kerjapun saya temui. Dari yang baik di depan tapi dibelakang bermuka dua. Ada juga yang benar-benar baik seperti keluarga. Stres kerjapun tentu saya alami selama masa kehamilan saya. Yang bikin saya stres adalah selalu mendengar omongan yang jelek-jelek tentang saya oleh salah satu teman kerja saya. Pernah saya berfikir, "ni orang gak nyadar apa ya kalo dia jg lagi hamil". Ya, orang yang selalu membicarakan saya jg sedang hamil. Ingin sekali rasanya menyumpahi janin yg ada didalam perutnya saat itu. Tapi saya pikir kasian juga bayinya, nanti doanya jg takut malah balik ke bayi saya. Sungguh saat itu rasanya lelah. Untung saya masih memiliki partner kerja walaupun tidak satu kantor, tp selalu menguatkan saya, mendukung saya dan menenangkan saya. Mereka selalu mengungatkan saya, bahwa ketika seorang teman hanya mendekatimu saat ia butuh. Maka kamu adalah "solusi" , dan mereka adalah "masalah" . Mereka, adalah teman yang mengiangatkan saya betapa tidak berharganya omongan yg berani diucapkan dibelakang, bukan di depan. Kenapa harus memikirkan orang lain, ketika seharusnya prioritas kita adalah bayi di dalem perut. Buat bunda, mommy, mama maupun ibu diluar sana yg mungkin memiliki pengalaman yg hampir sama dengan saya. Saran saya, gak perlu mikirin orang yang hanya bisa nyinyir. Prioritas utama kita adalah calon debay didalem perut. Gak perlu mikirin "masalah", karena yg harus kita pikir adalah "anugrah" yang bentar lagi lahir sehat, sempurna, ganteng/cantik, sholeh/sholehah. ???? #KarenaBundaBerharga

Read more
Support system, Pengaruh sifat Partner kerja saat hamil
 profile icon
Write a reply